Dewa Ayu Eka Putri Tarikan Puisi Karya Sapardi
KEMBALI20
Kembali 2020
Ubud Writers & Readers Festival
Sapardi Djoko Damono
Puisi
Tari Kreasi
Tari Kontemporer
GIANYAR, NusaBali
Musikalisasi puisi menjadi karya seni yang menarik. Seperti penampilan Dewa Ayu Eka Putri yang menari dengan backsound suara penyair Sapardi Djoko Damono.
Sebagai daerah yang begitu kental dengan seni budaya, Pulau Dewata Bali seringkali menyuguhkan berbagai penampilan kesenian budaya dari setiap komunitas terkait yang ada di daerah ini.
Pada event KEMBALI 2020: A Rebuild Bali Festival, Dewa Ayu Eka Putri diberikan kesempatan membawakan puisi ‘Namaku Sita’ karya Sapardi Djoko Damono. Puisi ‘Namaku Sita’ ini merupakan puisi terakhir yang dibacakan almarhum Sapardi untuk Ubud Writers & Readers Festival.
Uniknya, Dewa Ayu membawakan puisi ini ke dalam tarian yang koregrafinya ia ciptakan sendiri. Dan karya apik itu sudah tayang perdana di channel Youtube Ubud Writers and Readers Festival pada 2 November 2020. “Untuk bentuk konsep pementasan dengan puisi dan tari itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi saya,” ujarnya.
Ia mengungkapkan pernah bergabung dalam project Deklatari oleh Cok Sawitri pada tahun 2013-2014 lalu. “Bedanya waktu itu tanpa musik, hanya dengan ketukan kaki,” kenangnya.
Dewa Ayu sendiri memang mengagumi Sapardi dan karya-karya puisinya sehingga ketika dihubungi oleh panitia KEMBALI 2020 ia dengan senang hati langsung menerima tawaran tersebut. “Semua konsep pun dibebaskan dengan versi saya,” tuturnya antusias.
Dewa Ayu merespons puisi dengan tarian dirasa begitu menarik dan lebih mudah baginya karena tidak cuma sekadar bergerak, tetapi betul-betul menghayati setiap makna dari kata-kata serta irama ketika membacakan puisi itu. “Kadang-kadang menonton dengan teman-teman rasanya seperti ingin merespons dengan tarian, karena begitu familiar dengan saya,” ungkapnya.
Dewa Ayu Eka Putri sendiri adalah seorang seniman-antropolog dan saat ini merupakan instruktur tari di organisasi seni yang banyak mendapat pujian, Sanggar Cudamani. Ia juga merupakan figur terkemuka dalam ansambel gamelan wanita di seluruh Bali dan dikenal secara internasional karena kolaborasi karya tradisional dan kontemporernya dalam teater, musik, dan tari, sembari juga aktif bekerja sebagai asisten peneliti lepas.
Menariknya, Dewa Ayu memang sedang fokus ingin menggarap peran Sita dalam karya-karyanya di tahun ini. “Hanya saja dengan cara saya sendiri, maksudnya tidak terlalu terkaitlah dengan cerita Ramayana. Saya ingin membawakan sosok Sita yang memang independen, feminis, perempuan yang kuat bukan cuma sebagai korban situasi atau pemicu perang,” jelasnya.
Dewa Ayu pun menceritakan proses di balik layar pembuatan karyanya dalam menarikan puisi ini. Ia mengaku membuat naskah, memilih warna serta tema kostum, lokasi dan bahkan musik pengiringnya dengan idealismenya sendiri. “Saya sangat beruntung karena banyak dibantu dalam prosesnya,” cerita Dewa Ayu.
Setelah ditawarkan beberapa lokasi seperti sawah dan gunung Kawi, akhirnya ia memutuskan situs Candi Tebing di Bedugul, Tabanan, Bali. Latar belakangnya sebagai seorang antropolog dan penari membuatnya merasa cocok degan lokasi tersebut. “Sebagai seorang penari rasa kadang berjodoh dengan tempat itu sudah lumrah. Karena mau tidak mau stage juga membangun garapan itu, apalagi ini visual, beda dengan di panggung yang dibantu dengan lighting serta artifisial lainnya,” jelas Dewa Ayu.
Unsur megalithikum bebatuan pada Candi Tebing juga membuat Dewa Ayu merasa ini menjadikan tetap alami dan nuansa kekunoan yang klasik. Ini juga bisa menjadi daya tarik pariwisata. Pemilihan musik pun ia sesuaikan karena menurutnya ini adalah sebuah karya kontemporer.
“Sebelumnya saya coba eksperimen sendiri dengan memutar video Pak Sapardi ketika sedang membacakan puisinya. Akhirnya saya pilih dengan musik instrumen piano serta biola,” ceritanya lagi.
Dewa Ayu pun menyadari tidak bisa terlalu egois memaksakan keinginannya sehingga ia banyak berdiskusi dengan para musisinya. Total dua minggu seluruh waktu dan persiapkan untuk pembuatan video penampilan tarian Dewa Ayu ini. Event KEMBALI 2020 kali ini memang diadakan secara virtual sehingga video ini bisa dilihat dan diakses pada kanal Youtube Ubud Writers and Readers Festival.
Koreografi pada penampilan ini juga dibagi Dewa Ayu menjadi tiga tokoh seperti dalam puisi. “Di situ kan selain Sita sendiri ada Dalang serta Rakyat, jadi saya sesuaikan juga koreonya,” ungkap Dewa Ayu lagi.
Karya ini disebut Dewa Ayu sebagai sebuah dream come true baginya. Ia pun berharap ke depannya ia dapat membuat pertunjukan sendiri dengan mengajak teman-temannya di Sanggar Cudamani. Namun, Dewa Ayu juga terus mengingatkan bahwa yang penting adalah cara membangun narasi serta nuansa dalam menarikan puisi tersebut. “Karena saya suka yang jenis eksperimental dan bisa menuangkan imajinasi saya dengan bebas,” pungkasnya.*cla.
Pada event KEMBALI 2020: A Rebuild Bali Festival, Dewa Ayu Eka Putri diberikan kesempatan membawakan puisi ‘Namaku Sita’ karya Sapardi Djoko Damono. Puisi ‘Namaku Sita’ ini merupakan puisi terakhir yang dibacakan almarhum Sapardi untuk Ubud Writers & Readers Festival.
Uniknya, Dewa Ayu membawakan puisi ini ke dalam tarian yang koregrafinya ia ciptakan sendiri. Dan karya apik itu sudah tayang perdana di channel Youtube Ubud Writers and Readers Festival pada 2 November 2020. “Untuk bentuk konsep pementasan dengan puisi dan tari itu sebenarnya bukan sesuatu yang baru bagi saya,” ujarnya.
Ia mengungkapkan pernah bergabung dalam project Deklatari oleh Cok Sawitri pada tahun 2013-2014 lalu. “Bedanya waktu itu tanpa musik, hanya dengan ketukan kaki,” kenangnya.
Dewa Ayu sendiri memang mengagumi Sapardi dan karya-karya puisinya sehingga ketika dihubungi oleh panitia KEMBALI 2020 ia dengan senang hati langsung menerima tawaran tersebut. “Semua konsep pun dibebaskan dengan versi saya,” tuturnya antusias.
Dewa Ayu merespons puisi dengan tarian dirasa begitu menarik dan lebih mudah baginya karena tidak cuma sekadar bergerak, tetapi betul-betul menghayati setiap makna dari kata-kata serta irama ketika membacakan puisi itu. “Kadang-kadang menonton dengan teman-teman rasanya seperti ingin merespons dengan tarian, karena begitu familiar dengan saya,” ungkapnya.
Dewa Ayu Eka Putri sendiri adalah seorang seniman-antropolog dan saat ini merupakan instruktur tari di organisasi seni yang banyak mendapat pujian, Sanggar Cudamani. Ia juga merupakan figur terkemuka dalam ansambel gamelan wanita di seluruh Bali dan dikenal secara internasional karena kolaborasi karya tradisional dan kontemporernya dalam teater, musik, dan tari, sembari juga aktif bekerja sebagai asisten peneliti lepas.
Menariknya, Dewa Ayu memang sedang fokus ingin menggarap peran Sita dalam karya-karyanya di tahun ini. “Hanya saja dengan cara saya sendiri, maksudnya tidak terlalu terkaitlah dengan cerita Ramayana. Saya ingin membawakan sosok Sita yang memang independen, feminis, perempuan yang kuat bukan cuma sebagai korban situasi atau pemicu perang,” jelasnya.
Dewa Ayu pun menceritakan proses di balik layar pembuatan karyanya dalam menarikan puisi ini. Ia mengaku membuat naskah, memilih warna serta tema kostum, lokasi dan bahkan musik pengiringnya dengan idealismenya sendiri. “Saya sangat beruntung karena banyak dibantu dalam prosesnya,” cerita Dewa Ayu.
Setelah ditawarkan beberapa lokasi seperti sawah dan gunung Kawi, akhirnya ia memutuskan situs Candi Tebing di Bedugul, Tabanan, Bali. Latar belakangnya sebagai seorang antropolog dan penari membuatnya merasa cocok degan lokasi tersebut. “Sebagai seorang penari rasa kadang berjodoh dengan tempat itu sudah lumrah. Karena mau tidak mau stage juga membangun garapan itu, apalagi ini visual, beda dengan di panggung yang dibantu dengan lighting serta artifisial lainnya,” jelas Dewa Ayu.
Unsur megalithikum bebatuan pada Candi Tebing juga membuat Dewa Ayu merasa ini menjadikan tetap alami dan nuansa kekunoan yang klasik. Ini juga bisa menjadi daya tarik pariwisata. Pemilihan musik pun ia sesuaikan karena menurutnya ini adalah sebuah karya kontemporer.
“Sebelumnya saya coba eksperimen sendiri dengan memutar video Pak Sapardi ketika sedang membacakan puisinya. Akhirnya saya pilih dengan musik instrumen piano serta biola,” ceritanya lagi.
Dewa Ayu pun menyadari tidak bisa terlalu egois memaksakan keinginannya sehingga ia banyak berdiskusi dengan para musisinya. Total dua minggu seluruh waktu dan persiapkan untuk pembuatan video penampilan tarian Dewa Ayu ini. Event KEMBALI 2020 kali ini memang diadakan secara virtual sehingga video ini bisa dilihat dan diakses pada kanal Youtube Ubud Writers and Readers Festival.
Koreografi pada penampilan ini juga dibagi Dewa Ayu menjadi tiga tokoh seperti dalam puisi. “Di situ kan selain Sita sendiri ada Dalang serta Rakyat, jadi saya sesuaikan juga koreonya,” ungkap Dewa Ayu lagi.
Karya ini disebut Dewa Ayu sebagai sebuah dream come true baginya. Ia pun berharap ke depannya ia dapat membuat pertunjukan sendiri dengan mengajak teman-temannya di Sanggar Cudamani. Namun, Dewa Ayu juga terus mengingatkan bahwa yang penting adalah cara membangun narasi serta nuansa dalam menarikan puisi tersebut. “Karena saya suka yang jenis eksperimental dan bisa menuangkan imajinasi saya dengan bebas,” pungkasnya.*cla.
1
Komentar