Hakim Bayari Denda Penjual Arak
Sudah Ada Pergub yang Legalkan Arak, Penjualnya Ditangkap Juga
Ketua Majelis Hakim, Wawan Edi Prasetyo, berempati terhadap 5 terdakwa yang diseret ke sidang Tipiring di PN Gianyar gara-gara jualan arak
GIANYAR, NusaBali
Lima (5) orang penjual arak yang diringkus Sat Reskrim Polres Gianyar, menjalani sidang tindak pidana ringan (Tipiring) di Ruang Sidang Candra PN Gianyar, Rabu (18/11). Uniknya, hakim PN Gianyar rela rogoh kocek untuk bayarkan denda 5 penjual arak ini yang dijatuhkan dalam sidang kemarin, sebagai bentuk empati.
Penjual arak yang sidang Tipiring di PN Gianyar, Rabu kemarin, meliputi pertama, I Wayan Mudita, 46, sopir freelance pariwisata asal Banjar Buduk, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Gianyar. Dia digerebek di warungnya, Kamis (12/11) sore sekitar pukul 15.00 Wita, karena kedapatan menjual 4 botol arak masing-masing kemasan 500 ml.
Kedua, I Wayan Brena, 46, wiraswastawan asal Banjar Kucupin, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Wayan Brena dicegat saat membawa 3 liter arak yang dikemas dalam dua botol kemasan 1,5 liter, Kamis (12/11) pukul 13.00 Wita, di Kafe CS miliknya di kawasan Jalan Bypass Prof Dr IB Mantra wilayah Desa Ketewel.
Ketiga, Ida Bagus Suarbawa, 47, mantan pekerja pariwisata asal Banjar Kertawangsa, Desa Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Gianyar. Dia digerebek di warungnya, Kamis (12/11) pukul 13.00 Wita, karena kedapatan menjual 5 botol arak dalam kemasan 600 ml.
Keempat, I Wayan Sukartana, 26, mantan pekerja pariwisata asal Banjar Buruan, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh. Gianyar. Dia digerebek Kamis (12/11) sore pukul 16.00 Wita, karena kedapatan menjual 2,5 liter arak. Kelima, Ni Nyoman Lipet, 53, mantan pekerja pariwisata asal Desa/Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Dia kepergok menjual 3 botol arak kemasan 600 ml, Sabtu (7/11) siang pukul 13.30 Wita.
Kelima orang ini diperkarakan, karena menjual minuman beralkohol jenis arak tanpa dilengkapi dengan SIUP-MB, sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat 1 Perda Kabupaten Gianyar Nomor 13 Tahun 2012 tentang surat izin usaha perdagangan minuman beralkohol (SIUP-MB) dan izin tempat penjualan minuman beralkohol tanpa izin.
Dalam sidang Tipiring kemarin, kelima penjual arak ini dihadirkan langsung lengkap dengan barang bukti berupa minuman arak yang dikemas dalam botol air mineral ukuran besar dan tanggung. Di hadapan Ketua Majelis Hakim Wawan Edi Prastiyo, kelima terdakwa mengaku pilih jualan arak karena kena PHK di masa pandemi Covid-19. Mereka awalnya bekerja di bidang pariwisata.
“Karena turis sepi lantaran pariwisata terpuruk akibat pandemi Covid-19, saya pilih jual minuman arak untuk menyambung nafkah,” tutur salah satu terdakwa, Wayan Sukartana, menjawab majelis hakim.
Dalam persidangan Tipiring kemarin, kelima terdakwa mengakui kesalahan mereka. Oleh majelis hakim, mereka dikenakan sanksi denda masing-masing Rp 15.000 dan biaya perkara sebesar Rp 5.000 per orang.
Setelah itu, hakim Wawan Edi Prasetyo meminta salah satu terdakwa untuk menunjukkan uang dalam dompetnya. Ternyata, isinya hanya 3 lembar uang pecahan Rp 100.000. Dengan jumlah uang itu, menurut Wawan Edi, tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, terlebih terdakwa memiliki anak yang masih kecil dan istri.
Hakim Wawan Edi menyebut kejadian ini ironis. Padahal, Gubernur Bali Wayan Koster sudah menerbitkan Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi khas Bali. Pergub ini sekaligus melegalkan minuman arak Bali. “Ini masyarakat sudah susah menyambung hidup, Gubernur telah melegalisasi arak, kenapa rakyat mesti ditangkap?” sesal hakim Wawan Edi dengan nada heran.
Sebagai bentuk empati, hakim Wawan Edi pun langsung merogoh kocek Rp 100.000 untuk membayarkan denda 5 terdakwa tersebut. Hakim ini juga membayarkan biaya perkara persidangan.
"Kasihan masyarakat kecil yang sedang terhimpit secara ekonomi. Padahal, Gubernur Bali dalam setiap kesempatan menerima tamu, selalu menyodori tamunya minuman arak. Tapi, ketika rakyat kecil jualan arak, kenapa harus ditangkap? Kita wajib mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat,” katanya.
Ditemui seusai sidang Tipiring kemarin, hakim Wawan Edi kembali geleng-geleng kepala atas kasus ditangkapnya 5 penjual arak ini. "Kalau setiap hari menangkap 100 orang hanya karena jualan arak, kelihatannya tidak apa. Tapi, ini justru akan menjadi bom waktu, karena Gubernur Bali saja membebaskan minum arak untuk cegah virus. Masa rakyat kecil yang belum tahu kebijakan, malah ditangkap?” tandas Wawan Edi yang juga Humas PN Gianyar.
Sebagai penegak hukum, hakim Wawan Edi berharap adanya sebuah sosialisasi Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi khas Bali, yang melegalkan minuman arak tersebut. Masalahnya, warga yang lugu dan tidak mengetahui hukum, akan nurut-nurut saja ketika berhadapan dengan kasus serupa. “Ini semestinya dilakukan pembinaan, pengawasan, dan pendampingan terlebih dulu. Penegak hukum harus bisa menjaga kepantasan dan kea-dilan dalam sidang.”
Menurut Wawan Edi, meskipun para terdakwa memang salah dalam penjualan arak, namun semestinya ada pendampingan maupun sosialisasi terlebih dulu. Sebab, masyarakat tahunya arak Bali sudah dilegalkan sesuai arahan Gubernur.
“Memang dalam Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tersebut ada batasan-batasan. Salah satunya, dilarang dijualbelikan kepada anak-anak, di tempat olahraga, tempat acara keagamaan, dan harus berlabel. Tapi, semestinya ada sosialisasi ke masyarakat agar tidak terjadi kebuntuan,” tandas Doktor Ilmu Hukum jebolan Fakultas Hukum Unud ini. *nvi
Lima (5) orang penjual arak yang diringkus Sat Reskrim Polres Gianyar, menjalani sidang tindak pidana ringan (Tipiring) di Ruang Sidang Candra PN Gianyar, Rabu (18/11). Uniknya, hakim PN Gianyar rela rogoh kocek untuk bayarkan denda 5 penjual arak ini yang dijatuhkan dalam sidang kemarin, sebagai bentuk empati.
Penjual arak yang sidang Tipiring di PN Gianyar, Rabu kemarin, meliputi pertama, I Wayan Mudita, 46, sopir freelance pariwisata asal Banjar Buduk, Desa Singakerta, Kecamatan Ubud, Gianyar. Dia digerebek di warungnya, Kamis (12/11) sore sekitar pukul 15.00 Wita, karena kedapatan menjual 4 botol arak masing-masing kemasan 500 ml.
Kedua, I Wayan Brena, 46, wiraswastawan asal Banjar Kucupin, Desa Ketewel, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Wayan Brena dicegat saat membawa 3 liter arak yang dikemas dalam dua botol kemasan 1,5 liter, Kamis (12/11) pukul 13.00 Wita, di Kafe CS miliknya di kawasan Jalan Bypass Prof Dr IB Mantra wilayah Desa Ketewel.
Ketiga, Ida Bagus Suarbawa, 47, mantan pekerja pariwisata asal Banjar Kertawangsa, Desa Lodtunduh, Kecamatan Ubud, Gianyar. Dia digerebek di warungnya, Kamis (12/11) pukul 13.00 Wita, karena kedapatan menjual 5 botol arak dalam kemasan 600 ml.
Keempat, I Wayan Sukartana, 26, mantan pekerja pariwisata asal Banjar Buruan, Desa Buruan, Kecamatan Blahbatuh. Gianyar. Dia digerebek Kamis (12/11) sore pukul 16.00 Wita, karena kedapatan menjual 2,5 liter arak. Kelima, Ni Nyoman Lipet, 53, mantan pekerja pariwisata asal Desa/Kecamatan Tegallalang, Gianyar. Dia kepergok menjual 3 botol arak kemasan 600 ml, Sabtu (7/11) siang pukul 13.30 Wita.
Kelima orang ini diperkarakan, karena menjual minuman beralkohol jenis arak tanpa dilengkapi dengan SIUP-MB, sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat 1 Perda Kabupaten Gianyar Nomor 13 Tahun 2012 tentang surat izin usaha perdagangan minuman beralkohol (SIUP-MB) dan izin tempat penjualan minuman beralkohol tanpa izin.
Dalam sidang Tipiring kemarin, kelima penjual arak ini dihadirkan langsung lengkap dengan barang bukti berupa minuman arak yang dikemas dalam botol air mineral ukuran besar dan tanggung. Di hadapan Ketua Majelis Hakim Wawan Edi Prastiyo, kelima terdakwa mengaku pilih jualan arak karena kena PHK di masa pandemi Covid-19. Mereka awalnya bekerja di bidang pariwisata.
“Karena turis sepi lantaran pariwisata terpuruk akibat pandemi Covid-19, saya pilih jual minuman arak untuk menyambung nafkah,” tutur salah satu terdakwa, Wayan Sukartana, menjawab majelis hakim.
Dalam persidangan Tipiring kemarin, kelima terdakwa mengakui kesalahan mereka. Oleh majelis hakim, mereka dikenakan sanksi denda masing-masing Rp 15.000 dan biaya perkara sebesar Rp 5.000 per orang.
Setelah itu, hakim Wawan Edi Prasetyo meminta salah satu terdakwa untuk menunjukkan uang dalam dompetnya. Ternyata, isinya hanya 3 lembar uang pecahan Rp 100.000. Dengan jumlah uang itu, menurut Wawan Edi, tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, terlebih terdakwa memiliki anak yang masih kecil dan istri.
Hakim Wawan Edi menyebut kejadian ini ironis. Padahal, Gubernur Bali Wayan Koster sudah menerbitkan Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi khas Bali. Pergub ini sekaligus melegalkan minuman arak Bali. “Ini masyarakat sudah susah menyambung hidup, Gubernur telah melegalisasi arak, kenapa rakyat mesti ditangkap?” sesal hakim Wawan Edi dengan nada heran.
Sebagai bentuk empati, hakim Wawan Edi pun langsung merogoh kocek Rp 100.000 untuk membayarkan denda 5 terdakwa tersebut. Hakim ini juga membayarkan biaya perkara persidangan.
"Kasihan masyarakat kecil yang sedang terhimpit secara ekonomi. Padahal, Gubernur Bali dalam setiap kesempatan menerima tamu, selalu menyodori tamunya minuman arak. Tapi, ketika rakyat kecil jualan arak, kenapa harus ditangkap? Kita wajib mencerahkan dan mencerdaskan masyarakat,” katanya.
Ditemui seusai sidang Tipiring kemarin, hakim Wawan Edi kembali geleng-geleng kepala atas kasus ditangkapnya 5 penjual arak ini. "Kalau setiap hari menangkap 100 orang hanya karena jualan arak, kelihatannya tidak apa. Tapi, ini justru akan menjadi bom waktu, karena Gubernur Bali saja membebaskan minum arak untuk cegah virus. Masa rakyat kecil yang belum tahu kebijakan, malah ditangkap?” tandas Wawan Edi yang juga Humas PN Gianyar.
Sebagai penegak hukum, hakim Wawan Edi berharap adanya sebuah sosialisasi Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Destilasi khas Bali, yang melegalkan minuman arak tersebut. Masalahnya, warga yang lugu dan tidak mengetahui hukum, akan nurut-nurut saja ketika berhadapan dengan kasus serupa. “Ini semestinya dilakukan pembinaan, pengawasan, dan pendampingan terlebih dulu. Penegak hukum harus bisa menjaga kepantasan dan kea-dilan dalam sidang.”
Menurut Wawan Edi, meskipun para terdakwa memang salah dalam penjualan arak, namun semestinya ada pendampingan maupun sosialisasi terlebih dulu. Sebab, masyarakat tahunya arak Bali sudah dilegalkan sesuai arahan Gubernur.
“Memang dalam Pergub Nomor 1 Tahun 2020 tersebut ada batasan-batasan. Salah satunya, dilarang dijualbelikan kepada anak-anak, di tempat olahraga, tempat acara keagamaan, dan harus berlabel. Tapi, semestinya ada sosialisasi ke masyarakat agar tidak terjadi kebuntuan,” tandas Doktor Ilmu Hukum jebolan Fakultas Hukum Unud ini. *nvi
1
Komentar