Orang Bali Berkelahi
Tahun 1972 Ketut Pangus siswa SMA di Denpasar. Kala itu Pasar Badung di jantung kota masih disebut Peken Payuk (Pasar Periuk).
Sungai yang membelah pasar itu dialiri air nan jernih. Sedikit sekali ada sepeda motor, angkutan publik adalah bemo roda tiga. Pohon flamboyan masih tumbuh rindang dan sumringah di sepanjang Jalan Sudirman, pasti berbunga merah terang di akhir tahun.
Di kelas Ketut Pangus menuntut ilmu cuma ada dua gadis yang segar dan periang. Dua siswa, Agung dari Denpasar dan Kayun dari Desa Banyuatis, Buleleng, mencoba merebut Teni, salah seorang dari dua gadis itu. Karena cuma seorang jejaka yang mesti jadi pemenang, Agung dan Kayun pun berseteru sengit untuk menarik hati Teni. Keduanya sering adu pandang, atau saling sikut jika digelar main basket di halaman sekolah.
Mereka tak cukup saling pandang dan saling jegal dalam kegiatan olahraga, tapi juga sering nyaris adu jotos. Akhirnya mereka sepakat berkelahi.
“Mereka satria untuk duel,” ujar Ketut Pangus, kini 60 tahun. “Kami ramai-ramai hampir seisi kelas mengantar mereka ke sebuah tanah kosong di Banjar Kaliungu, selepas tengah hari, pulang sekolah. Di sudut tanah kosong itu ada pohon bambu, di tepi barat ada kandang babi.”
Mereka sepakat duel dengan tangan kosong. Beberapa teman menjadi wasit, memeriksa Agung dan Kayun, memastikan mereka tidak membawa senjata tajam. Agung berdiri dengan gagah, tubuhnya lebih tinggi dan lebih besar dibanding Kayun. Teman-teman sangat yakin Agung akan jadi pemenang, karena tubuh Kayun kecil, gempal, jangkauan tangannya pendek. Mungkin itu sebabnya ia mengambil inisiatif untuk langsung menggebrak. Agung memiringkan badan, menghindar ke kiri, tapi Kayun sudah menduga gelagat itu, sehingga ia tidak melakukan serangan lurus, namun mengarahkannya menyilang. Pukulan itu telak menghantam dada kanan Agung.
Agung terhuyung, terjungkal ke belakang, Kayun segera memburunya, menendang sehingga Agung terguling. Berkali-kali Kayun menendang, debu dan sampah beterbangan, sampai Agung mengangkat kedua tangannya pertanda menyerah. Kayun berdiri sambil manggut-manggut menikmati kemenangan.
Teman-teman bersorak, memeluk kedua petarung itu, dan meminta mereka bersalaman. Keduanya mendapat pujian sebagai pemberani, seperti pahlawan yang barusan berlaga dengan gagah di medan perang.
“Perkelahian itu singkat, tapi dilakukan dengan satria untuk menunjukkan siapa yang lebih perkasa. Di zaman itu tak ada teman yang berkelahi main keroyok seperti orang Bali berkelahi zaman sekarang. Tidak pakai senjata tajam, tidak saling bunuh,” ujar Ketut Pangus. “Hanya orang Bali pemberani yang berkelahi di zaman itu. Berkelahi untuk harga diri, karena seseorang telah menghina dan menistakan diri kita atau leluhur kita, tidak untuk memperoleh duit atau dibayar.”
Laki-laki berkelahi, saling tinju, saling tikam, tentu dialami oleh etnik mana pun. Di negeri maju orang memegang senjata api untuk bela diri. Tapi, ada bangsa-bangsa yang mengembangkan bela diri tangan kosong untuk berkelahi dan berjaga-jaga.
Di Tanah Air, ada etnik yang duel sampai mati karena martabatnya dirusak, istrinya diselingkuhi, misalnya. Mereka membunuh demi kehormatan, tidak untuk uang. Di Eropa atau Amerika di abad silam, sering terpetik berita dua lelaki duel pedang atau pistol. Mereka satria, pemberani, saling bunuh, tidak melibatkan kelompok.
Jika orang Bali berkelahi mengandalkan kelompok, apakah bisa disebut mereka pemberani? Jika kemudian mereka berkelahi ramai-ramai main keroyok, apakah mereka satria?
Orang Bali dikenal etnik yang senang berkelompok. Berbagai kegiatan mereka lakoni bersama-sama. Seseorang mencari pengakuan melalui kelompok, sebelum ia dikenal sebagai sosok yang mandiri. Tapi, lambat laun peran kelompok berubah. Mereka masuk kelompok untuk menundukkan kelompok lain. Perkelahian antar-kelompok pun sering muncul, bukan duel seperti yang dilakukan Agung dengan Kayun di sebuah tanah kosong di Banjar Kaliungu.
Muncul kesan, belakangan orang Bali berkelompok tidak semata untuk meringankan pekerjaan dalam suasana guyub, tapi juga agar punya peluang untuk menundukkan orang lain. Kalau begitu, bisakah diartikan jika orang Bali berkelahi beraninya cuma main keroyok? Karena berkelahi ramai-ramai, pertarungan pun menjadi sengit, mematikan, dan berproses panjang. Yang dendam adalah kelompok, sekian orang, bukan orang per orang. Omong-omong, bagaimana akhir dari kisah Agung dan Kayun?
“Tak seorang pun berhasil menundukkan hati Teni,” ujar Ketut Pangus, kini kakek tiga cucu. “Kayun jadi pengusaha, Agung jadi dosen, profesor, dan Teni menikah dengan guide yang kemudian punya biro perjalanan. Mereka sering berhubungan di Facebook, bahkan membentuk grup di WhatsApp bersama teman sekelas dulu. Setahun lalu kami reuni, makan ikan bakar di Jimbaran. Tak ada dendam di antara mereka. Mungkin karena dulu Agung duel melawan Kayun dengan tangan kosong. Kalau pakai senjata tajam, salah seorang terbunuh, tak bakalan mereka bisa chatting di internet seperti sekarang.”
Perkelahian itu memang bisa sangat mengerikan, menyimpan dendam, tapi juga bisa jadi ganjil, seperti perkelahian dua jejaka Bali di Kaliungu itu, antara Agung dengan Kayun. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar