Di Balik Film The Boy with Moving Image, Film Pertama untuk JAFF Bali
JAFF 2020
Jogja-NETPAC Asian Film Festival
Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF)
Sineas Bali
The Boy with Moving Image
TBWMI
DENPASAR, NusaBali
The Boy with Moving Image (TBWMI) merupakan salah satu film yang akan diputar pada gelaran Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) ke-15 yang diadakan di Bali. Film ini direncanakan akan diputar secara pada Jumat (27/11) di Mini Teater Taksu, Dharmanegara Alaya, Denpasar, Bali.
Film ini merupakan feature film pertama Roufy Nasution yang dibuat bersama beberapa sineas muda Bandung Raya di bawah payung Cinemora Pictures dan Aksa Bumi Langit. Selama 103 menit film, Roufy banyak mencurahkan kegelisahan yang tidak bisa ia tuangkan ke dalam film pendek.
Di sisi lain dirinya mencoba menangkap beberapa momen-momen di luar kebiasaan manusia yang berkemungkinan terjadi dalam hidup manusia. Film ini kemudian dikemas melalui potret sederhana kehidupan dengan pendekatan natural dan organik terangkum dalam interaksi yang dilakukan Vaiyang dan Ning dalam Film The Boy with Moving Image ini.
Menceritakan sosok Vaiyang yang diperankan oleh Bryan Cini, seorang sutradara yang ingin menyewa sebuah rumah untuk keperluan shooting yang kebetulan ditinggali oleh seorang perempuan bernama Ning, diperankan oleh Nithalie Louisza. Pertemuan cepat itu berujung kepada diperbolehkannya Vaiyang menggunakan rumah Ning, asalkan sutradara muda tersebut mau menemani Ning hingga hari di mana ajalnya tiba.
Melalui adegan-adegan film TBWMI dan visi artistiknya, sang sutradara ingin menambahkan keberagaman genre dan bentuk dalam khazanah perfilman Indonesia bahkan dunia.
Dzikri Maulana sebagai Produser film TBWMI berharap melalui film ini menjadi sebuah gerakan bahwa Bandung yang dikenal sebagai kota kreatif memiliki ekosistem perfilman yang masih eksis. Sama halnya seperti Dzikri, Anggi Frisca produser film TBWMI sekaligus sinematografer, melihat semangat yang sama seperti apa yang coba ia perjuangkan 10 tahun lalu dengan Aksa Bumi Langit.
Pada 2021 diharapkan film TBWMI sudah dapat dinikmati di beberapa bioskop Indonesia dan tentunya di berbagai ruang pemutaran alternatif komunitas film Indonesia. Alasan lebih lanjut, karya ini tidak bisa terwujud tanpa adanya bantuan komunitas-komunitas film Bandung Raya khususnya dan komunitas film di Indonesia pada umumnya.
Ada keunikan lain juga pada film The Boy with Moving Image yang kembali mengusung semangat ‘guerrilla filmmaking’. Hal itu dikarenakan selama beberapa tahun ini, belum ada lagi pergerakan sinema di kota Bandung yang berkolaborasi bersama dalam membuat fitur film. Akhirnya melalui film ini, para sineas Bandung yang berasal dari berbagai komunitas film di Bandung tergabung dalam Tim TBWMI memberanikan diri dan percaya untuk membuat sebuah gerakan dengan semangat independensi untuk berkarya dengan sepenuh hati.
Guerilla filmmaking sendiri merupakan pembuatan film dengan cara yang tidak konvensional. Pembuatannya mengacu pada film independen yang bercirikan anggaran, kru dan alat yang sederhana. Namun dengan segala keterbatasan, hal itu malah menjadi semangat bagi kru TBWMI untuk berkarya semaksimal mungkin dalam mewujudkan cita-cita bersama terhadap film ini.*cla
Di sisi lain dirinya mencoba menangkap beberapa momen-momen di luar kebiasaan manusia yang berkemungkinan terjadi dalam hidup manusia. Film ini kemudian dikemas melalui potret sederhana kehidupan dengan pendekatan natural dan organik terangkum dalam interaksi yang dilakukan Vaiyang dan Ning dalam Film The Boy with Moving Image ini.
Menceritakan sosok Vaiyang yang diperankan oleh Bryan Cini, seorang sutradara yang ingin menyewa sebuah rumah untuk keperluan shooting yang kebetulan ditinggali oleh seorang perempuan bernama Ning, diperankan oleh Nithalie Louisza. Pertemuan cepat itu berujung kepada diperbolehkannya Vaiyang menggunakan rumah Ning, asalkan sutradara muda tersebut mau menemani Ning hingga hari di mana ajalnya tiba.
Melalui adegan-adegan film TBWMI dan visi artistiknya, sang sutradara ingin menambahkan keberagaman genre dan bentuk dalam khazanah perfilman Indonesia bahkan dunia.
Dzikri Maulana sebagai Produser film TBWMI berharap melalui film ini menjadi sebuah gerakan bahwa Bandung yang dikenal sebagai kota kreatif memiliki ekosistem perfilman yang masih eksis. Sama halnya seperti Dzikri, Anggi Frisca produser film TBWMI sekaligus sinematografer, melihat semangat yang sama seperti apa yang coba ia perjuangkan 10 tahun lalu dengan Aksa Bumi Langit.
Pada 2021 diharapkan film TBWMI sudah dapat dinikmati di beberapa bioskop Indonesia dan tentunya di berbagai ruang pemutaran alternatif komunitas film Indonesia. Alasan lebih lanjut, karya ini tidak bisa terwujud tanpa adanya bantuan komunitas-komunitas film Bandung Raya khususnya dan komunitas film di Indonesia pada umumnya.
Ada keunikan lain juga pada film The Boy with Moving Image yang kembali mengusung semangat ‘guerrilla filmmaking’. Hal itu dikarenakan selama beberapa tahun ini, belum ada lagi pergerakan sinema di kota Bandung yang berkolaborasi bersama dalam membuat fitur film. Akhirnya melalui film ini, para sineas Bandung yang berasal dari berbagai komunitas film di Bandung tergabung dalam Tim TBWMI memberanikan diri dan percaya untuk membuat sebuah gerakan dengan semangat independensi untuk berkarya dengan sepenuh hati.
Guerilla filmmaking sendiri merupakan pembuatan film dengan cara yang tidak konvensional. Pembuatannya mengacu pada film independen yang bercirikan anggaran, kru dan alat yang sederhana. Namun dengan segala keterbatasan, hal itu malah menjadi semangat bagi kru TBWMI untuk berkarya semaksimal mungkin dalam mewujudkan cita-cita bersama terhadap film ini.*cla
Komentar