'Nang Ning Nung Kung Serrr…'
Nama kota Klungkung itu bermula dari ‘kung’, yang bermakna cinta dan keindahan.
Begitu menurut Umbu Landu Paranggi, ketika memberi kata pengantar dalam antologi puisi Buku Harian Ibu Belum Selesai karya Wayan Suartha. Banyak karya sastra tinggi klasik lahir di Klungkung. Umbu punya catatan rapi untuk itu, karena di tahun 1980-an, ia getol menggarami kehidupan berpuisi di Klungkung dari banjar ke banjar, rajin mengunjungi sekolah-sekolah untuk menjaga api berpuisi tetap berkobar. Ia punya banyak kerabat dan murid di kota ini.
Antologi Suartha itu diluncurkan berbarengan dengan kumpulan puisi Luka Purnama karya Ida Bagus Gde Parwita, Senin 30/11 lalu, di Desa Kemoning, di batas kota Klungkung, bertepatan dengan hari purnama. Maka, kian nyata kalau Klungkung itu sungguh-sungguh ‘kung’, kaya akan semangat keindahan.
Peluncuran karya dua penyair ini mengingatkan kita pada duo nyoman yang dimiliki Klungkung: Nyoman Gunarsa (1944-2017) dan Nyoman Mandra (1946-2018). Duo Nyoman ini berkarib sejak duduk di SMP, kemudian masyhur di dunia sebagai perupa.
Gunarsa dan Mandra punya keterkaitan yang kuat. Mereka mengabdikan hidup buat seni wayang klasik. Gunarsa lebih piawai, menyuguhkan adonan klasik dengan seni lukis masa kini, sehingga ia menjadi sebuah mercusuar seni rupa Indonesia modern. Nyoman Mandra tetap melangkah kalem, mengabdikan hidup sungguh-sungguh di pusat seni lukis wayang Desa Kamasan, Klungkung.
Ia lahir, tumbuh, dewasa, berkembang, di sentra seni lukis klasik itu. Ia sosok agung di situ. Siapa saja yang hendak mengkaji seni rupa Bali, semestinya menelusuri jejak duo Nyoman dari Klungkung ini. Jangan sekali-sekali mengabaikan mereka, catat dan simak.
Tentu Klungkung menjadi semakin penting karena punya duo penyair: Parwita dan Suartha itu. Mereka juga berkarib, sama-sama guru, menjaga dinamika bersastra di Sekolah SMA Pariwisata PGRI Klungkung, sejak mereka menjadi guru belia hingga pensiun. Dan mereka sungguh-sungguh duo, dua sosok penyair yang saling melengkapi. Ibarat duo penyanyi Simon dan Garfunkel atau The Everly Brothers.
Parwita dan Suartha punya obyek eksplorasi nyaris sama. Mereka suka menggali asal-usul, tempat-tempat keramat, gagasan-gagasan, penjajalan ke dalam diri, yang sangat mirip, sehingga membaca karya dalam antologi mereka seperti mendengarkan sebuah lagu yang dinyanyikan duo. Sekali tempo Parwita suara satu, Suartha suara dua, atau mereka dengan mudah bertukar tempat. Jadilah nyanyian mereka merdu, indah, dan khas. Ya seperti legenda duo Simon-Garfunkel dan Everly Brothers yang ngetop di era 1960-1980-an itu tadi. Kelak, siapa pun harus tetap mengingat kehadiran duo penyair Klungkung ini.
Puisi-puisi ‘kung’ mereka memang membutuhkan waktu dan ruang tersendiri agar bisa bagus dibaca, seperti lazimnya ciri puisi-puisi renungan. Dua antologi itu pun menyuguhkan karya-karya ‘nung’, puisi-puisi buat merenung.
Semua orang paham, puisi-puisi renungan semakin kuat mendekam di hati pembacanya karena karya-karya itu hening dan bening. Juga mengalir. Karya-karya Parwita dan Suartha memiliki kekuatan itu, sehingga karya-karya mereka menjadi puisi-puisi ‘ning’. Sampai di sini, karya duo penyair ini mewujud sebagai puisi ‘ning nung kung’. Ada sekian frase kuat yang tampil jelas benderang, yang membuat karya mereka padu dan kian merasuk ke dalam batin.
Suartha dan Parwita dihargai dan dihormati di Bali karena mereka terus menerus berpuisi, diam-diam. Suartha sudah 40 tahun berpuisi, mengumpulkan 78 karyanya di buku ini, dalam rentang waktu 1979 hingga 2020. Parwita bahkan mengumpulkan 108 puisi, yang ia tulis sejak awal kepenyairannya tahun 1982 sampai 2020. Wajar juga kalau ada yang berkomentar, duo ini adalah penyair gaek: Suartha 64, Parwita 60. Tapi banyak sekali yang menobatkan mereka sebagai penyair senior, penyajak yang kian berminyak.
Semakin tua mereka, kian klimis dalam berpuisi, sehingga mereka digolongkan sebagai kaum Nang. Nang adalah panggilan buat orang Bali yang sudah uzur, bapak-bapak tua, atau kakek-kakek, tapi masih kuat tegap dan selalu penuh semangat. Orang Bali mengenal banyak Nang, seperti Nang Lecir, Nang Kocong, Nang Eblong atau Nang Lenju. Mereka dipanggil Nang, pertanda mereka sosok bijaksana dan berisi. Senang berpetuah dan menyodorkan renungan.
Duo penyair ini juga Nang, laki-laki Bali uzur, sudah purnabakti. Karya-karya mereka adalah sajak-sajak “nang”, puisi-puisi bijak dan berminyak. Sampai di sini antologi duo penyair ini adalah puisi-puisi “nang ning nung kung”.
Ketika dua antologi itu diluncurkan, langit pagi berawan penuh, siap mengirim gerimis ke bumi. Semua yang hadir, selain memberi selamat, sembari membenahi masker yang nakal karena sering tergelincir turun ke bawah hidung atau dagu, juga berharap, agar dua Nang ini terus berpuisi. Ada yang berharap mereka menulis puisi-puisi kuliner, karena Klungkung punya makanan lezat serombotan, yang sangat terkenal. Serombotan, adonan sayur mayur dan kacang-kacangan diurap ini adalah masakan khas Klungkung. Menyebut Klungkung orang pasti terngiang semangat Bumi Serombotan.
Seseorang pagi itu mendekati duo penyair Nang ini, membisikkan agar puisi-puisi serombotan bisa hadir kelak dari batin mereka. Jika ini sungguh terwujud, bakalan bertambah makna puisi-puisi “nang ning nung kung” dengan sajak-sajak “ser”. Kelak kita punya sekian puisi “nang ning nung kung serrr...”, puisi-puisi khas dari Bumi Serombotan Klungkung, karya duo penyair uzur berminyak. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar