Mengenang 'Art and Peace' Made Wianta
Setelah 21 Tahun Diangkat untuk 'Mendamaikan' Dunia
DENPASAR, NusaBali
Pertunjukan ‘Art and Peace’ memang telah lama berlalu, namun aksi kolosal yang dilakukan 10 Desember 1999 tak akan bisa dilupakan pecinta seni.
Betapa tidak, acara yang digelar di Pantai Padanggalak Denpasar saat itu melibatkan 2.000 orang yang mempersembahkan seni gerak dengan membawa 2.000 meter kain bertuliskan kutipan pesan perdamaian dari tokoh-tokoh dunia dengan berbagai ragam bahasa.
Kini tepat 21 tahun berselang, Kamis (10/12), kain sepanjang 2.000 meter itu dibeber di Pantai Sanur. Mengenang aksi kolosal itu pun serasa pas setelah berpulangnya pencetus Art and Peace I Made Wianta. Sebagaimana diketahui sang maestro meninggal dunia pada 13 November 2020. “Apa yang telah dicetuskan Made Wianta adalah hal yang menginspirasi siapapun untuk membangun kesadaran kolektif menyuarakan perdamaian, kemanusiaan, dan lingkungan melalui jalur kesenian,” kata Putu Suasta, Ketua Alumni Panitia Art and Peace 1999.
Alumnus Cornell University AS itu pun sepakat melanjutkan cita-cita luhur Made Wianta dengan turut serta membumikan, menggelorakan, dan menebarkan semangat tersebut melalui berbagai kegiatan yang dapat berkontribusi bagi kebaikan bangsa. “Kami ingin melakukan renungan dan peringatan sekaligus memberikan penghormatan atas dedikasi Made Wianta yang telah mengajak ribuan orang menyuarakan perdamaian melalui seni,” kata Putu Suasta.
Karya Made Wianta berupa happening art itu sendiri sejatinya sebagai respons terhadap konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah dunia pada masa itu. Melihat situasi global saat ini, Jean Couteau, antropolog dan budayawan asal Prancis yang lama tinggal di Bali, menyebut Art and Peace sangat relevan digelorakan.
“Persaudaraan dengan orang berbeda diajarkan Wianta. Tidak ada jarak agama, rasial. Oleh karena itu kita wajib tetap perjuangkan cita-citanya,” kata Couteau yag mengaku berteman dengan Wianta sejak awal 1980an.
Dalam ‘reuni’ yang digagas Wianta Foundation bersama Yayasan Bali Purnati dan alumni panitia di Griya Santrian Resort Sanur, diputar video Art and Peace yang saat itu melibatkan dua helikopter. Pada acara kemarin juga dilakukan sembah bumi, pelepasan tukik, dan tabur bunga bagi almarhum Made Wianta. Hadir juga Restu Imansari yang di tahun 1999 pontang-panting memastikan penampilan apik ribuan penari. Untuk mengenang pertunjukan sekaligus menghormati sang maestro, Restu pun sempat menari diiringi sejumlah penari dari Peliatan, Ubud.
Sementara itu Intan Kirana dari Wianta Foundation mengatakan ingin mengembangkan lahan pengabdian di bidang seni budaya yang juga mencakup lingkungan dan kemanusiaan seperti yang telah dirintis suaminya, Made Wianta, melalui sejumlah pameran seni dan pertunjukan.
Kegiatan di Sanur itu pun merupakan langkah awal dari sejumlah program yang akan digelar berkala mulai 2021 mendatang. Koordinator Peringatan 21 Tahun Art and Peace Yudha Bantono mengatakan pemaknaan kembali ‘perdamaian’ adalah bagian upaya kesadaran berbangsa dan bernegara. “Maraknya kebencian dan kekasaran dalam dunia maya maupun dunia nyata saat ini telah menggugah banyak pihak melakukan penyikapan agar persatuan dan kesatuan bangsa tidak terusik,” sorot Yuda Bantono yang pernah mendampingi puluhan karya dari Made Wianta tersebut.
Sosok Made Wianta pun memberi kesan mendalam bagi GM Griya Santrian Resort Ida Bagus Gde Sidharta Putra (Gusde). Made Wianta baginya adalah mentor dan patron yang memberikan khazanah berpikir dalam program seni dan kebudayaan. “Saya menyambut baik peringatan Art and Peace ini dan menjadikannya kegiatan moral yang dapat merangkul generasi muda ikut peduli persoalan bangsanya,” kata Ketua PHRI Kota Denpasar yang juga Konsul Kehormatan Republik Czech untuk Bali dan Nusa Tenggara ini. *mao
Kini tepat 21 tahun berselang, Kamis (10/12), kain sepanjang 2.000 meter itu dibeber di Pantai Sanur. Mengenang aksi kolosal itu pun serasa pas setelah berpulangnya pencetus Art and Peace I Made Wianta. Sebagaimana diketahui sang maestro meninggal dunia pada 13 November 2020. “Apa yang telah dicetuskan Made Wianta adalah hal yang menginspirasi siapapun untuk membangun kesadaran kolektif menyuarakan perdamaian, kemanusiaan, dan lingkungan melalui jalur kesenian,” kata Putu Suasta, Ketua Alumni Panitia Art and Peace 1999.
Alumnus Cornell University AS itu pun sepakat melanjutkan cita-cita luhur Made Wianta dengan turut serta membumikan, menggelorakan, dan menebarkan semangat tersebut melalui berbagai kegiatan yang dapat berkontribusi bagi kebaikan bangsa. “Kami ingin melakukan renungan dan peringatan sekaligus memberikan penghormatan atas dedikasi Made Wianta yang telah mengajak ribuan orang menyuarakan perdamaian melalui seni,” kata Putu Suasta.
Karya Made Wianta berupa happening art itu sendiri sejatinya sebagai respons terhadap konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai wilayah dunia pada masa itu. Melihat situasi global saat ini, Jean Couteau, antropolog dan budayawan asal Prancis yang lama tinggal di Bali, menyebut Art and Peace sangat relevan digelorakan.
“Persaudaraan dengan orang berbeda diajarkan Wianta. Tidak ada jarak agama, rasial. Oleh karena itu kita wajib tetap perjuangkan cita-citanya,” kata Couteau yag mengaku berteman dengan Wianta sejak awal 1980an.
Dalam ‘reuni’ yang digagas Wianta Foundation bersama Yayasan Bali Purnati dan alumni panitia di Griya Santrian Resort Sanur, diputar video Art and Peace yang saat itu melibatkan dua helikopter. Pada acara kemarin juga dilakukan sembah bumi, pelepasan tukik, dan tabur bunga bagi almarhum Made Wianta. Hadir juga Restu Imansari yang di tahun 1999 pontang-panting memastikan penampilan apik ribuan penari. Untuk mengenang pertunjukan sekaligus menghormati sang maestro, Restu pun sempat menari diiringi sejumlah penari dari Peliatan, Ubud.
Sementara itu Intan Kirana dari Wianta Foundation mengatakan ingin mengembangkan lahan pengabdian di bidang seni budaya yang juga mencakup lingkungan dan kemanusiaan seperti yang telah dirintis suaminya, Made Wianta, melalui sejumlah pameran seni dan pertunjukan.
Kegiatan di Sanur itu pun merupakan langkah awal dari sejumlah program yang akan digelar berkala mulai 2021 mendatang. Koordinator Peringatan 21 Tahun Art and Peace Yudha Bantono mengatakan pemaknaan kembali ‘perdamaian’ adalah bagian upaya kesadaran berbangsa dan bernegara. “Maraknya kebencian dan kekasaran dalam dunia maya maupun dunia nyata saat ini telah menggugah banyak pihak melakukan penyikapan agar persatuan dan kesatuan bangsa tidak terusik,” sorot Yuda Bantono yang pernah mendampingi puluhan karya dari Made Wianta tersebut.
Sosok Made Wianta pun memberi kesan mendalam bagi GM Griya Santrian Resort Ida Bagus Gde Sidharta Putra (Gusde). Made Wianta baginya adalah mentor dan patron yang memberikan khazanah berpikir dalam program seni dan kebudayaan. “Saya menyambut baik peringatan Art and Peace ini dan menjadikannya kegiatan moral yang dapat merangkul generasi muda ikut peduli persoalan bangsanya,” kata Ketua PHRI Kota Denpasar yang juga Konsul Kehormatan Republik Czech untuk Bali dan Nusa Tenggara ini. *mao
1
Komentar