Obsesi Mengemban Manifestasi Narayana
Mengenali Sanggar Hung Bali di Kota Denpasar
‘hung’ berasal dari kata ‘ung’, aksara dari Dewa Wisnu dalam manifestasi narayana/krisna. Manifes ini untuk ngempu (menjaga dan merawat) anak-anak.
DENPASAR, NusaBali
Sanggar Hung Bali beralamat di Jalan Plawa, Desa Sumerta Kauh, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar. Di sanggar ini tersemai tunas-tunas seni Bali hingga tumbuh jadi seniman yang diperhitungkan khalayak seni khususnya di Bali. Bahkan, mereka berobsesi menjaga dan mengemban kalanguan (pancaran kesukacitaan) dari manifestasi Dewa Wisnu.
Bagaimana kisah sanggar yang menjadi wadah anak-anak berlatih kesenian Bali ini? Sanggar ini pada 29 November 2020 lalu, menginjak usianya yang ketujuh tahun. Sanggar ini didirikan tahun 2013, awalnya, bernama Siwer Art yang berarti ‘ikatan seni’. Dalam perjalanannya, nama ini kemudian berubah menjadi ‘Hung Siwer’, dan pada akhirnya menjadi Hung Bali.
Ketua Sanggar Hung Bali I Gede Arya Swastika memaparkan, ‘hung’ berasal dari kata ‘ung’, aksara dari Dewa Wisnu dalam manifestasi narayana/krisna. Manifes ini untuk ngempu (menjaga dan merawat) anak-anak. Dari sana lah muncul ide nama sanggar ini menjadi Hung Bali. Huruf ‘H’ adalah huruf kiasan untuk menambahkan tekanan ‘ung’ itu menjdi ‘hung’. Dan, Bali adalah wilayah atau tempat kelahiran kami.
Bagaimana kisah sanggar yang menjadi wadah anak-anak berlatih kesenian Bali ini? Sanggar ini pada 29 November 2020 lalu, menginjak usianya yang ketujuh tahun. Sanggar ini didirikan tahun 2013, awalnya, bernama Siwer Art yang berarti ‘ikatan seni’. Dalam perjalanannya, nama ini kemudian berubah menjadi ‘Hung Siwer’, dan pada akhirnya menjadi Hung Bali.
Ketua Sanggar Hung Bali I Gede Arya Swastika memaparkan, ‘hung’ berasal dari kata ‘ung’, aksara dari Dewa Wisnu dalam manifestasi narayana/krisna. Manifes ini untuk ngempu (menjaga dan merawat) anak-anak. Dari sana lah muncul ide nama sanggar ini menjadi Hung Bali. Huruf ‘H’ adalah huruf kiasan untuk menambahkan tekanan ‘ung’ itu menjdi ‘hung’. Dan, Bali adalah wilayah atau tempat kelahiran kami.
Foto: Ketua Sanggar Hung Bali, I Gede Arya Swastika. -ARIEF
“Dulu, Sanggar Siwer Art ini ada bermula dari saya diberikan kepercayaan oleh kakak untuk membuat sanggar. Kakak saya mempunyai sanggar juga, namanya ‘Siwer Nadi Swara’. Beliau yang mensupport saya untuk membuat sanggar ini,” ungkap Arya Swastika.
Nama ‘Hung Bali’ sendiri baru disandang sejak tahun 2017 hingga kini. Di sanggar ini, anak-anak mempelajari kesenian menabuh kendang Bali. Meski kendang menjadi fokus utama di sanggar ini, namun ada pula belajar ekstra atau di luar jam regular yakni mempelajari permainan tradisional dan gamelan Bali. Dalam permainan tradisional, ada gamel-gamelan Bali agar anak-anak mengetahui nada-nada gamelan. Anak-anak tidak cukup bisa makendang, namun wajib tahu nada. Karena akan berbahaya nanti jika anak-anak ke depannya bisa makendang, tapi tidak tahu nada dan tempo. ‘’Jadinya sia-sia anak-anak belajar makendang kalau tidak tahu tempo dan nada,” lanjut Arya Swastika.
Tak muluk-muluk, Arya Swastika ingin mencetak bibit atau generasi baru dalam kesenian dengan melatih anak-anak. Anak-anak yang belajar di sini pun, tidak terbatas pada anak-anak yang berasal dari Denpasar saja. Banyak juga dari wilayah lain, seperti Kecamatan Blahbatuh, Gianyar; Kecamatan Blahkiuh dan Abiansemal, Badung, dan lainnya.
Untuk mendidik generasi muda dalam melestarikan kesenian Bali, lanjut Arya Swastika, poin yang penting yaitu mencari atau menumbuhkan rasa suka anak tersebut pada seni. “Karena anak-anak harus suka dulu, harus nyaman dengan apa yang akan dilakukannya. Contohnya, makendang, kita mencari nyamannya anak-anak dulu, mencari sukanya. Karena, masing-masing anak itu kan, karakternya berbeda,” lanjut seniman yang juga pelatih kendang di Sanggar Hung Bali ini.
Foto : Suasana latihan di Sanggar Hung Bali. -ARIEF
Dia menceritakan, jumlah anak-anak yang belajar seni kendang Bali di sanggar ini mencapai 70 orang lebih. Mereka efektif belajar menabuh mulai Senin – Sabtu. Jadwal latihan diatur sedemikian rupa sehingga anak-anak bisa berlatih dua kali seminggu dengan berkelompok-kelompok. Biasanya, satu kelompok anak-anak berlatih dalam durasi selama sejam. Pengecualian jadwal ini dilakukan jika Hung Bali tengah mempersiapkan anak didiknya untuk tampil dalam acara tertentu.
Sebagai pelatih nabuh kendang sejak 2013, Arya Swastika paham bagaimana pola belajar anak-anak. Seperti pada latihan yang dilakukan di Hung Bali pada Minggu (29/11), Arya Swastika tampak jeli dalam memantau proses latihan anak didiknya dan memberi koreksi. “Saya berikan anak-anak latihan dengan pola satu-satu atau menabuh kendang sendiri. Setelah semua bisa satu-satu, saya lanjut ke pola dua atau berpasangan, dan selanjutnya,” paparnya. *yulia
Komentar