Berkebaya Nyerangcang ke Pura
Tahun 1970-an Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta menjadi kiblat berkesenian di Tanah Air.
Aryantha Soethama
Pengarang
Taman kesenian ini begitu angker dan berwibawa. Pentas seni pertunjukan di TIM akan diperbincangkan berhari-hari oleh para seniman, menjadi bahan renungan dan kritik di koran-koran dan majalah. Kelompok kesenian yang pentas di TIM terkatrol popularitas dan wibawanya. Penyair-penyair, para sastrawan, kaum dramawan, yang mengisi acara di TIM sangat disegani dan dihormati ketika mereka kembali ke daerah.
Banyak seniman panggung yang memulai karier mereka dari TIM. Atau, jika ingin dihargai sebagai seniman nasional, mereka harus tembus TIM, sosok ibu yang melahirkan seniman hebat. Ia menjadi pembaptis seniman. Pidato-pidato kebudayaan yang bernas dan elegan dikumandangkan dari TIM, sehingga tempat berkumpul kaum seniman ini selalu menjadi sorotan, dibanggakan dan diperbincangkan.
Suatu malam, dipentaskan Tari Pendet di TIM. Bagian atas dada para penari Bali itu tidak tertutup pakaian. Di Bali itu sesuatu yang biasa, dan menjadi aksentuasi eksotik kostum Tari Pendet. Apalagi ketika si penari menggoyangkan dan menggetarkan pundak mereka berulang-ulang mengikuti irama gamelan, Tari Pendet pun menyuguhkan gerakan yang sensual dan (bagi sebagian penonton) mendebarkan.
Keesokan harinya media pekabaran mewartakan bagian atas dada penari yang terbuka itu. Beberapa komentar muncul, betapa itu sesungguhnya tidak pantas dipertontonkan. Ketika itu belum ada istilah pornoaksi. Namun tak sedikit yang membela pertunjukan itu sebagai ekspresi berkesenian yang anggun dan kaya pesona. Sesuatu yang sensual dan tak harus disikapi dengan norma-norma tertentu yang terlalu jauh dari jangkauan kreativitas seni.
Para pengkritik Tari Pendet dengan penari tanpa penutup busana di bagian pundak itu tentu baru pertama kali menonton tari Bali. Mereka tidak pernah menonton Oleg Tamulilingan yang diperankan penari pria dan wanita, menyuguhkan adegan bercumbu sepasang kupu-kupu. Bagian pundak penari wanitanya juga terbuka, tidak ditutupi pakaian. Jika si penari mengangkat tangan tinggi-tinggi, dan gerakan itu terjadi berulang-ulang, tentu ketiaknya yang tidak tertutup busana leluasa diseruduk pandangan penonton. Di Bali itu sesuatu yang biasa, dinilai sebagai sajian wibawa keindahan.
Tapi, tidak selalu orang Bali tidak peduli pada busana. Belakangan busana justru menjadi perbincangan sangat menarik. Orang Bali itu adalah sosok-sosok yang fashionable, doyan banget kalau berurusan dengan peragaan busana. Mereka ternyata selalu berusaha menjaga penampilan. Kaum ibu mengeluarkan banyak duit untuk mengikuti tren busana berkebaya. Banyak butik yang menjual kebaya muncul di Bali, bisa dengan mudah ditemui di desa-desa, bahkan berkembang pesat menjadi industri rumahan.
Cobalah berkeliling melintasi jalan-jalan di seantero Bali, banyak butik bisa dijumpai. Toko-toko ini nyempil di sudut-sudut terminal, di sebelah penjual tipat santok, di gang-gang sempit, di pasar-pasar, menyuguhkan kebaya-kebaya model teranyar. Modelnya macam-macam, namun punya kecenderungan sama untuk busana ke pesta pernikahan dan yang ke pura. Cuma warnanya yang dibedakan, kalau ke pura putih, ke acara-acara pernikahan lebih semarak.
Wanita Bali, gadis remaja, dan ibu-ibu, tidak punya waktu khusus untuk menyuguhkan busana-busana itu. Karena mereka girang dan bahagia dalam fashion show, mereka pun menjadikan setiap kegiatan adat dan agama ajang pamer busana mode terbaru. Muncullah model kebaya lengan pendek di atas siku yang cocok untuk menghadiri pernikahan, dipakai juga untuk busana ke pura. Kebayanya menggunakan brokat tipis, transparan, mengundang decak, bukan decak kagum, tapi decak gairah, yang membuat mata lelaki jelalatan mengintip kutang.
Tapi, pengurus pura tidak mempermasalahkan kebaya nyerangcang ini. Yang dipersoalkan adalah gadis-gadis dan ibu-ibu yang mengenakan kebaya berlengan pendek tadi. Mereka akan ditegur halus, menyarankan agar kalau lain kali ngaturang bakti ke pura jangan lagi mengenakan kebaya lengan pendek. Tapi, si tukang tegur ini, biasanya para pecalang yang berbusana hitam mesaput poleng, tidak mempersoalkan kain yang dikenakan gadis dan ibu-ibu itu yang terbelah di tengah, yang membuat betis mulus pemakainya tampak sampai di atas lutut. Ada yang berkomentar, “Ah, kalau itu sih masih wajar, kita jangan melarang mereka yang menampilkan keindahan.”
Tidak ada aturan khusus busana ke pura, terutama untuk kaum wanita. Perempuan-perempuan yang senang gonta-ganti model busana sering bisa dijumpai di kalangan artis dan selebritis. Jangan-jangan semua wanita Bali, gadis-gadis dan ibu-ibu, memang punya darah artis, karena mereka suka tampil manis, sensual, seksi, penuh daya pikat mengenakan aksesori emas asli atau tiruan. Tak peduli di tempat suci sekalipun. *
1
Komentar