Harga Daging Babi Melonjak
Peternak diimbau melakukan restocking secara mandiri karena menjadi peluang peternak untuk mengisi kandang dan meningkatkan piaraannya.
DENPASAR,NusaBali
Harga babi, baik babi hidup maupun dalam bentuk daging melonjak. Dari awalnya antara Rp 55.000 sampai Rp 60.000 perkilogram, kini harga daging babi tembus Rp 85.000 lebih perkilogram. Sedangkan babi hidup harganya Rp 50.000 – Rp 55.000 per kilogram.
Populasi yang menyusut akibat serangan virus flu babi atau African Swine Fever (ASF) diduga menjadi pemicu kelangkaan tersebut. Banyak ternak masyarakat yang mati. Baik induk maupun anak atau bibit babi. “Jika sudah mati tentu berpengaruh terhadap pembibitan,” ujar I Wayan Sukadana, peternak dari Bangli, Senin (14/12).
Sukadana mengatakan karena stok yang merosot itulah harga babi melonjak.Sebagai contoh harga bibit yang baru lepas sapih, pada usia 35 hari Rp 1,3 juta per ekor. “Itu harga minimal,” tambahnya. Padahal sebelumnya harga bibit bisa tak sampai Rp 1,3 juta.
Terpisah pedagang menu dengan sajian daging babi, seperti nasi be guling mengaku terdampak kelangkaan babi. “Karena harganya babi mahal, harga menu terpaksa kita angkat sedikit,” ujar Kadek Julianti, seorang pedagang nasi babi guling di kawasan Jalan Hayam Wuruk, Denpasar.
Misalnya jika sebelumnya per porsi nasi be guling Rp 25.000, kini menjadi Rp 35.000. “Ya terpaksa juga kita angkat,” ujar Julianti. Dia mengiyakan tidak sedikit para pelanggan yang menanyakan kenaikan tersebut. Setelah dijelaskan rata-rata pelanggan memahami kenaikan harga babi tersebut.
Namun tetap saja, lebih baik harga babi lebih murah atau seperti sebelumnya. Karena akan lebih gampang berjualan. Termasuk menerima pesanan guling ukudan atau pesanan per ekor. “Sekarang kan mahal bibitnya,” kata Julianti.
Kabid Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali (DPKP) I Ketut Gede Nata Kesuma mengiyakan berkurangnya stok babi. Data terakhir kata IKG Nata Kesuma, jumlah ternak babi di Bali sebanyak 690 ribu ekor. “Itu dulu kan ada wabah (flu babi) awal tahun,” ujarnya Nata Kesuma.
Wabah itulah menyebabkan kematian babi. Data yang dimiliki Nata Kesuma, sekitar 4.000an ekor yang mati. Tidak tertutup kemungkinan data kematian babi di masyarakat jumlah babi yang mati lebih dari 4.000. “Kami belum melakukan pencacahan (pendataan). Karena itu jumlah 690 ribu ekor kemungkinan besar berkurang. Selain mati karena diduga akibat wabah ASF, juga karena konsumsi yang meningkat. Apalagi belakangan beberapa kegiatan adat maupun upacara keagamaan sudah bisa dilaksanakan lebih longgar, yang kemungkinan mulai membutuhkan daging babi” ujar Nata Kesuma,pejabat asal Desa Tulikup Gianyar.
Pengurangan tersebut diperkirakan sampai 50 persen. Indikatornya menurut Nata Kesuma, adalah harga daging babi yang menanjak sampai 50 persen dari harga sebelumnya. Pemerintah dalam hal ini Pemprov mendorong peternak melakukan restocking secara mandiri. “Ini peluang peternak untuk mengisi kandang dan memproduksi,” ujar Nata Kesuma.
Peningkatan produksi diharapkan memperbanyak serapan daging lokal, sesuai dengan Pergub Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran Pemanfaatan Produk Pertanian Perikanan dan Industri Lokal Bali. “Kenaikan harga kan juga menguntungkan petani atau peternak,” tandas Nata Kesuma. *k17
Populasi yang menyusut akibat serangan virus flu babi atau African Swine Fever (ASF) diduga menjadi pemicu kelangkaan tersebut. Banyak ternak masyarakat yang mati. Baik induk maupun anak atau bibit babi. “Jika sudah mati tentu berpengaruh terhadap pembibitan,” ujar I Wayan Sukadana, peternak dari Bangli, Senin (14/12).
Sukadana mengatakan karena stok yang merosot itulah harga babi melonjak.Sebagai contoh harga bibit yang baru lepas sapih, pada usia 35 hari Rp 1,3 juta per ekor. “Itu harga minimal,” tambahnya. Padahal sebelumnya harga bibit bisa tak sampai Rp 1,3 juta.
Terpisah pedagang menu dengan sajian daging babi, seperti nasi be guling mengaku terdampak kelangkaan babi. “Karena harganya babi mahal, harga menu terpaksa kita angkat sedikit,” ujar Kadek Julianti, seorang pedagang nasi babi guling di kawasan Jalan Hayam Wuruk, Denpasar.
Misalnya jika sebelumnya per porsi nasi be guling Rp 25.000, kini menjadi Rp 35.000. “Ya terpaksa juga kita angkat,” ujar Julianti. Dia mengiyakan tidak sedikit para pelanggan yang menanyakan kenaikan tersebut. Setelah dijelaskan rata-rata pelanggan memahami kenaikan harga babi tersebut.
Namun tetap saja, lebih baik harga babi lebih murah atau seperti sebelumnya. Karena akan lebih gampang berjualan. Termasuk menerima pesanan guling ukudan atau pesanan per ekor. “Sekarang kan mahal bibitnya,” kata Julianti.
Kabid Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali (DPKP) I Ketut Gede Nata Kesuma mengiyakan berkurangnya stok babi. Data terakhir kata IKG Nata Kesuma, jumlah ternak babi di Bali sebanyak 690 ribu ekor. “Itu dulu kan ada wabah (flu babi) awal tahun,” ujarnya Nata Kesuma.
Wabah itulah menyebabkan kematian babi. Data yang dimiliki Nata Kesuma, sekitar 4.000an ekor yang mati. Tidak tertutup kemungkinan data kematian babi di masyarakat jumlah babi yang mati lebih dari 4.000. “Kami belum melakukan pencacahan (pendataan). Karena itu jumlah 690 ribu ekor kemungkinan besar berkurang. Selain mati karena diduga akibat wabah ASF, juga karena konsumsi yang meningkat. Apalagi belakangan beberapa kegiatan adat maupun upacara keagamaan sudah bisa dilaksanakan lebih longgar, yang kemungkinan mulai membutuhkan daging babi” ujar Nata Kesuma,pejabat asal Desa Tulikup Gianyar.
Pengurangan tersebut diperkirakan sampai 50 persen. Indikatornya menurut Nata Kesuma, adalah harga daging babi yang menanjak sampai 50 persen dari harga sebelumnya. Pemerintah dalam hal ini Pemprov mendorong peternak melakukan restocking secara mandiri. “Ini peluang peternak untuk mengisi kandang dan memproduksi,” ujar Nata Kesuma.
Peningkatan produksi diharapkan memperbanyak serapan daging lokal, sesuai dengan Pergub Nomor 99 Tahun 2018 tentang Pemasaran Pemanfaatan Produk Pertanian Perikanan dan Industri Lokal Bali. “Kenaikan harga kan juga menguntungkan petani atau peternak,” tandas Nata Kesuma. *k17
1
Komentar