Bali Saleh yang 'Soleh'
Bahasa Indonesia mengenal kata ‘soleh’, kata bakunya ‘saleh’, berarti taat dan sungguh-sungguh melaksanakan ibadah dan ajaran agama. Saleh juga berarti suci dan beriman.
Orangtua mana pun, yang kaya atau miskin, ingin anak-anak mereka jadi manusia saleh atau soleh. Karena itu banyak bapak-ibu selain mendidik anak-anak mereka menjadi manusia cerdas, juga mengajarkan mereka untuk jadi sosok beriman, melalui pendidikan budi pekerti dan agama.
Bahasa Bali tak mau kalah, punya juga kata soleh yang berarti aneh, ganjil, atau tidak sesuai. Jika ada yang sangat aneh, ganjil luar biasa, orang Bali menyebutnya soleh-soleh, bisa diartikan aneh bin ajaib. Biasanya yang soleh-soleh itu dilakoni oleh orang yang memang suka bertindak aneh-aneh. Misalnya, sudah punya toilet bagus di rumah, tetap saja pipis sembarangan di depan dapur. Berulang diberitahu, tetap saja begitu, cuma tempat pipisnya berubah: di depan gudang. Bau pesing meruyak ke seluruh pekarangan. “Mula jelema soleh (Memang manusia aneh),” keluh seisi rumah.
Kian tua peradaban, semakin banyak orang bertindak aneh. Di zaman medsos aneka tingkah bisa dipergoki di internet: asyik narsis, melontarkan pujian juga caci maki, atau kecanduan main game. Orang menyebut sebagai “Liu anake jani soleh-soleh (Banyak orang kini aneh-aneh).”
Sekarang sehari-hari kian banyak orang soleh (Indonesia), juga orang soleh (Bali). Seseorang punya kebun kates, tomat, luas, tapi beli pepaya di pasar. Ini soleh, tapi orang ini menyebut dirinya saleh, karena ingin berbagi dengan para pedagang kecil di pasar.
Seorang istri masak enak, bermacam lauk dan sayur. Si suami berjanji akan makan malam bersama di rumah. Tapi, ia membeli lauk juga di pedagang langganannya. Ini namanya suami soleh, bukan laki-laki saleh.
Kenyataannya, yang soleh dan saleh itu tidak cuma menyangkut orang per orang, juga organisasi, institusi, lembaga, komunitas-komunitas, atau paguyuban. Kejadiannya tidak cuma ketika bumi lagi damai dan tenang, juga tatkala jagat raya dilanda pandemi covid seperti sekarang ini. Bali bisa dijadikan contoh pulau yang saleh, juga soleh.
Dunia mengenal Bali sebagai sumber kearifan lokal, yang mengajarkan agar manusia berpikir, berujar dan bertindak dengan baik. Banyak orang dari seantero jagat belajar dan menggali tentang kehidupan bersama, kemanusiaan, bagaimana menghargai alam, tenggang rasa, dari Bali. Makanya Bali dinilai tempat yang paling cocok untuk mengamalkan ajaran-ajaran yoga. Di pulau ini tempat tertinggi untuk memperoleh hidup saleh, terpuji, cinta dan damai.
Tapi, Bali juga sangat kaya dengan hal-hal yang soleh. Banyak kegiatan keagamaan, adat istiadat, yang soleh. Seni pertunjukan Bali juga banyak uniknya, banyak yang soleh, sehingga menarik minat dunia untuk menontonnya, karena unik dan ajaib. Pertunjukan Calonarang ribuan kali digelar, dengan cerita sama, tapi tetap digemari. Bahkan menjadi unik-ajaib karena ada adegan mengubur mayat sungguhan.
Tentu, perilaku sehari-hari orang Bali juga sering soleh. Mereka memuja harmoni lingkungan tapi masih suka buang sampah sembarangan. Para orangtua menilai pendidikan formal, bersekolah, itu penting, tapi mereka lebih suka mengeluarkan biaya besar buat upacara adat dan keagamaan tinimbang membiayai sekolah anak-anak mereka. Ini memang saleh, tapi juga soleh.
Saleh dan soleh yang paling anyar terjadi ketika Bali menghadapi dilema merebaknya pandemi Covid-19 yang menyebabkan dinamika pariwisata macet total. Banyak yang berharap akhir tahun pariwisata Bali bisa bangkit. Harapan itu nyaris nyata, banyak calon wisatawan berniat ke Bali karena promo hotel murah. Kapan lagi bisa tidur di hotel bintang lima dengan sewa bintang satu?
Kaum plesir mempersiapkan diri, hotel dan restoran sumringah menyambut rezeki akhir tahun. Tapi, tiba-tiba terbit surat edaran Gubernur Bali yang mengharuskan wisatawan melakukan tes PCR kalau mau piknik ke Bali. Pemberitahuan itu mendadak, menyebabkan banyak membatalkan perjalanan ke Bali.
Banyak yang kecewa, dan pasti tak sedikit yang menyumpah-nyumpah. Pemda Bali jadi sasaran. Kemudian aturan kitu diperlonggar, tapi banyak calon wisatawan terlanjur batal ke Bali. Muncul berkomentar, Bali yang saleh kenapa jadi soleh dengan surat edaran itu? Pelaku bisnis pariwisata menghitung-hitung untung yang lenyap tiba-tiba gara-gara peraturan yang soleh.
Masih adakah hal-hal saleh yang soleh di Bali? Tentu bisa banyak diperoleh kalau mau ditelusuri. Misalnya, masih berkaitan dengan pandemi, muncul wacana yang menyadarkan betapa keliru kalau semata-mata menggantungkan hidup dan masa depan pada pariwisata. Harus ada pilihan lain, itulah dia pertanian, yang disanjung-sanjung bisa menjadi penyelamat, sudah sejak dulu dibahas, setiap pariwisata terpuruk. Tapi, cuma dibabahas saja, kemudian dilupakan begitu turisme mulai mekar lagi.
Sekarang pun begitu. Tetap juga sama, cuma diomongin sejenak, lalu dilupakan. Belum pernah terpetik berita dana dialokasikan buat pertanian. Yang muncul justru duit buat membangun pusat kebudayaan sebesar Rp 2,5 triliun di lahan bekas timbunan lahar akibat amukan letusan Gunung Agung di Klungkung.
Entahlah, mungkin Bali memang ditakdirkan menjadi sebuah tempat berkumpulnya yang saleh-saleh, juga tempat bertimbunnya yang soleh-soleh. *
Aryantha Soethama
Komentar