Berwisata ke Bali Harus (kah) Swab
Surat Edaran Gubernur Bali menuai polemik, tidak hanya dari pelaku wisata tetapi juga dari pelancong. Bagaimana tidak syarat tes usap (swab test) bagi pengunjung yang akan ke Bali melalui udara, dirasa memberatkan bagi wisatawan yang akan datang ke Bali.
Penulis : Ni Putu Widyati Listyari, SP., MM
Statistisi pada Badan Pusat Statistik Kota Denpasar
Akibatnya banyak wisatawan yang membatalkan untuk berkunjung ke Bali. Hal ini tentu saja mengecewakan sebagian besar masyarakat Bali terutama pelaku usaha pariwisata yang sangat bergantung pada pariwisata. Harapan akan menggeliatnya pariwisata diakhir tahun ini ibarat menanti hujan di kemarau yang panjang. Namun harapan itu pupus dengan surat edaran ini.
SE Gubernur Bali terkait pelaksanaan kegiatan masyarakat selama libur Nataru menuai kekecewaan banyak pihak terutama pelaku pariwisata dan wisatawan yang ingin ke Bali. Di samping dinilai terlalu mendadak, persyaratan swab test untuk masuk ke Bali melalui jalur udara dianggap mempersulit masuknya wisatawan, salah satunya karena akan menambah beban pengeluaran bagi wisatawan. Ditengarai ratusan ribu wisatawan yang berencana berkunjung ke Bali akhir tahun ini terpaksa membatalkan liburannya dan mengalihkan liburan ke tempat lain yang persyaratannya lebih mudah seperti Yogyakarta. Dari pembatalan ini banyak kerugian yang dirasakan oleh pelaku pariwisata. PHRI mengklaim terdapat 133 ribu orang yang membatalkan kunjungan ke Bali. Akibatnya nilai transaksi yang hilang cukup fantastis yakni sebesar 317 miliar rupiah. Belum lagi dampak ekonomi bali yang juga terkena imbasnya akibat hal tersebut. Pemberlakuan swab test bagi wisatawan yang menempuh jalur udara juga dinilai tidak efektif, karena di satu sisi ada kelonggaran pada pintu masuk wisatawan yang menempuh jalur darat. Untuk menyiasati SE ini, sebagian wisatawan mungkin akan mengalihkan moda transportasi dari jalur udara ke jalur darat.
Memang disadari bahwa pemberlakuan SE ini bertujuan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 terutama yang berasal dari kluster pelancong. Hal ini dilakukan karena pada 3 periode libur panjang sebelumnya terjadi lonjakan kasus Covid-19. Pasca libur panjang 28 Oktober - 1 November 2020, misalnya, kasus Covid-19 di Yogyakarta meningkat 3 kali lipatnya. Demikian juga di Bali, kasus Covid-19 juga meningkat pada 2 pekan pasca libur panjang. Namun kondisi ini dikonfirmasi oleh gugus tugas Covid Bali bahwa lonjakan berasal dari kluster upacara adat, dimana banyak hari baik untuk melakukan upacara di akhir November 2020. Perkembangan kasus Covid-19 yang fluktuatif dan belum menunjukkan perbaikan membuat pemerintah mengeluarkan keputusan untuk memangkas cuti di akhir tahun 2020. Namun demikian minat wisatawan yang berkunjung ke Bali masih tinggi, ditambah lagi adanya promo, baik dari tiket pesawat, akomodasi, maupun paket wisata lainnya diperkirakan tetap akan membuat kunjungan ke Bali melonjak. Belum membaiknya kasus Covid-19 di wilayah asal wisatawan seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat dikawatirkan akan membuat rantai baru penularan sehingga Pemerintah Provinsi Bali memandang perlu menyaring secara ketat wisatawan yang berkunjung ke Bali dengan mengeluarkan SE. Potensi lonjakan kasus Covid-19 dari kluster pelancong ini dikhawatirkan merusak citra yang sedang dibangun dalam rangka meyakinkan dunia bahwa Bali siap dikunjungi.
Memang disadari dihadapkan dengan pandemi saat ini, pemerintah harus berhati-hati memilih antara mengutamakan kesehatan atau ekonomi. Pemberlakuan SE ini dianggap sebagai jalan tengah untuk bisa menumbuhkan ekonomi dengan tetap memberlakukan protokol kesehatan yang ketat. Namun bagi pelaku pariwisata kondisi ini dirasa sangat merugikan. Harapan membangunkan industri pariwisata dari mati suri seakan sirna, setelah beberapa kali rencana membuka pariwisata Bali urung dilaksanakan. Memang saat ini pemerintah Pusat maupun pemerintah Provinsi Bali sedang berupaya keras mendongkrak citra Bali sebagai destinasi wisata yang bersih, indah, sehat dan aman, apalagi Bali merupakan salah satu pintu masuk utama bagi wisatawan mancanegara. Berbagai gerakan-gerakan yang mendukung bangkitnya pariwisata Bali digencarkan. Gerakan Bali kemBali, We Love Bali dipercaya akan mampu menghidupkan kembali pariwisata Bali yang seperti mati suri. Sasarannya tentunya meningkatkan kepercayaan dunia internasional bahwa Bali telah layak untuk dikunjungi. Dengan kondisi ini tentu langkah ini bisa dimaklumi. Semua negara telah bersiap membuka kembali pintunya. Hampir semua negara menerapkan kebijakan yang ketat bagi pengunjung yang datang baik dengan persyaratan hasil swab test saat kedatangan maupun kewajiban karantina pada kurun waktu tertentu. Pengkondisian ini dipandang perlu dilakukan mengingat devisa yang dihasilkan dari sektor pariwisata cukup tinggi. Berdasarkan data dari Kementrian Pariwisata, pada tahun 2018, Pariwisata Bali menyumbang 40 persen dari devisa pariwisata nasional yang sebesar 7,6 miliar dollar AS atau setara dengan 100 triliun rupiah. Jadi wajar jika memang hal ini dilakukan untuk mematangkan persiapan pembukaan pintu wisatawan yang lebih besar.
Namun demikian, setelah dibatalkan beberapa kali, dibukanya pintu bagi wisatawan belum mendapat kepastian. Kasus Covid belum juga menunjukkan perbaikan dan grafiknya masih fluktuatif. Negara-negara asal wisman belum banyak yang berancang-ancang untuk memberi ijin warganya untuk bepergian. Jika ada, pembatasan pun diberlakukan ketat untuk warganya agar tidak membawa pulang kembali virus dari tempat yang ditujunya. Bisa dikatakan situasi ketidakpastian masih ada. Dengan ketidakpastian ini wajar kiranya pelaku pariwisata berharap pada wisatawan nusantara. Seperti halnya pada libur-libur panjang sebelumnya yang telah terbukti mengangkat tingkat hunian, libur akhir tahun ini juga diharapkan memberi dampak yang sama bahkan mungkin bisa lebih besar. Wisatawan nusantara juga memiliki dampak yang tidak kalah dengan wisatawan mancanegara. Selama tahun 2018 saja misalnya, menurut Badan Pusat Statistik Provinsi Bali jumlah wisatawan nusantara ke Bali hampir mencapai 10 juta orang. Dengan pengeluaran per kunjungan sebesar 1 juta rupiah per orang saja, maka ada sekitar 10 triliun rupiah uang yang masuk dari wisatawan ke Bali. Apalagi bulan Desember termasuk bulan favorit bagi wisatawan nusantara. Pada Desember 2018 kunjungan wisatawan nusantara yang datang ke Bali lebih dari 900 ribu orang. Dengan hitungan yang sama, potensi pengeluaran wisatawan bisa mencapai 90 miliar rupiah. Wajar jika kekecewan muncul karena potensi ini berkurang dengan diterbitkannya Surat Edaran tersebut, apalagi di tengah pandemi ini sektor pariwisata nyaris mati.
Memang tidak mudah mengambil kebijakan dalam situasi ini. SE Gubernur dinilai menjadi jalan tengahnya. Berkaca dari polemik yang ada, kiranya ada beberapa hal yang perlu di perhatikan. Pertama, terkait protokol kesehatan mestinya tidak ada perbedaan perlakuan persyaratan bagi wisatawan dengan mode transportasi udara maupun darat, karena sama-sama berpeluang sebagai sumber penyebaran Covid-19. Kedua, SE dinilai sangat mendadak, sehingga berpotensi menimbulkan kerugian karena berbagai persiapan sudah dilakukan. Ketiga, perlu kepastian kapan dan syarat apa yang dibutuhkan untuk pariwisata Bali bisa dibuka kembali. Dan yang kempat, melihat situasi global yang belum benar-benar pulih, potensi wisatawan nusantara masih cukup besar untuk menggerakkan pariwisata Bali. Semoga Pariwisata Bali ke depan segera bangkit kemBali.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar