'Move On' dari Pariwisata, Perkuat Pertanian dan UMKM
PROYEKSI 2021: Bidang EKONOMI
DENPASAR, NusaBali
MERRY Christmas and Happy New Year! Ucapan di pengujung tahun 2020 ini menjadi ungkapan kebahagiaan bagi umat Kristiani yang merayakan Natal sekaligus menyambut datangnya pergantian tahun.
Di Bali, biasanya ucapan kegembiraan ini seiring dengan membludaknya kunjungan wisatawan, baik wisatawan Nusantara ataupun mancanegara. Namun, tidak untuk tahun 2020 ini, meskipun suasana di pusat pariwisata Pulau Dewata menunjukkan geliat dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Jika dibandingkan dengan perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) sebelum masa pandemi Covid-19, kali ini sungguh jauh berbeda. Kali ini tidak ada warga negara asing yang datang ke Bali untuk kepentingan berwisata. Padahal, wisatawan mancanegara (wisman) adalah tulang punggung utama perekonomian Bali.
Sebelum pandemi, tiap bulan devisa pariwisata yang dihasilkan Bali rata-rata mencapai Rp 9,7 triliun! Kontribusi Bali terhadap devisa pariwisata nasional pun sangat besar. Dari total devisa yang diraih pada 2019 sebesar Rp 270 triliun, Bali memberi kontribusi sebesar 28,9 persen. Ini bisa dimengerti karena dari total 16,3 juta wisman ke Indonesia pada 2019, sebanyak 6,2 juta orang di antaranya datang ke Pulau Dewata.
Kini, sektor pariwisata yang mendongkrak perekonomian Bali itu menjadi faktor terpuruknya perekonomian Bali saat pandemi Covid-19 melanda dunia. Tak ada wisman yang datang ke Bali. Sejak Mei hingga November 2020, terdata hanya puluhan WNA yang mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai Tuban, Kecamatan Kuta, Badung, yang mana mereka bukan dalam rangka berwisata. Padahal, normalnya kedatangan wisman ke Bali mecapai ratusan ribu orang per bulan.
Ketergantungan yang sangat besar itu pun membuat perekonomian Bali paling terpukul secara nasional. Bahkan, dibandingkan nasional, PR untuk pemulihan eko-nomi di Bali lebih berat. Sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Triwulan III terjadi kontraksi pertumbuhan perekonomian Bali sebesar 12,28 persen di-bandingkan periode yang sama tahun 2019 (year-on-year). Data pada Triwulan III ini lebih rendah dari Triwulan II 2020 yang sudah mencatat pertumbuhan minus hingga 10,98 persen.
Sementara pertumbuhan ekonomi nasional pada Triwulan III 2020 hanya tercatat minus 3,49 persen atau sudah mengalami kemajuan dari data Triwulan II yang tercatat minus 5,32 persen. Perbandingan kontraksi yang terjadi antara data nasional dan Bali menunjukkan bahwa kondisi ini tidak lepas dari ketergantungan Bali yang sangat besar pada sektor pariwisata, khususnya kunjungan wisman.
Berkaitan dengan situasi pandemi Covid-19, mau tidak mau, harus ada grand design bagi perekonomian Bali ke depannya. Kurang elok jika menggunakan kalimat ‘meninggalkan pariwisata’, namun harus ada pilar-pilar perekonomian baru yang potensi dikembangkan di Bali, sembari menunggu ‘normalisasi’ sektor pariwisata dunia.
Hal ini bukan berarti meninggalkan dan pesimis dengan masa depan pariwisata. Tidak. Namun, di kala pandemi Covid-19 masih belum jelas ujung akhirnya, wajib bagi krama Bali untuk punya alternatif sumber perekonomian lain. Hadirnya vaksin memang sangat melegakan, namun di banyak negara masih memberlakukan larangan pelaku perjalanan transportasi secara ketat. Australia sebagai pemasok wisman terbesar ke Bali, kabarnya akan menutup pariwisata hingga akhir 2021. Belum lagi kabar munculnya varian baru virus Covid-19, seperti di Inggris hingga Malaysia.
Artinya apa? Kita semua harus siap segala risiko yang masih menghantui sektor pariwisata di tahun 2021. Dengan situasi yang demikian, tahun 2021 Bali sudah harus memberi perhatian besar pada sektor pertanian dan perdagangan, khususnya membantu Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) menjadi sektor andalan baru pada tahun-tahun mendatang.
Tahun 2021 bisa menjadi langkah awal bagi Bali untuk lebih menyeimbangkan antara sektor pariwisata, pertanian, dan perdagangan. Sektor pertanian sendiri sangat relevan dikembangkan, karena harkat Bali sejatinya adalah wilayah agraris. Hal ini relevan bukan hanya sebagai manfaat nilai keekonomian, melainkan juga sebagai sarana ketahanan pangan. Bali tidak boleh mengalami ketergantungan pangan dari wilayah lain, melainkan malah harus bisa memenuhi kebutuhan daerah lain dari sektor agraris.
Sektor pertanian ataupun perkebunan Bali sangat menjanjikan. Kualitas buah naga, buah manggis, mangga berhasil masuk pasar ekspor dan sejatinya memiliki permi-ntaan pasar yang sedemikian besar. Bahkan, di Bali harus dijalankan proyek food estate sebagaimana yang dicanangkan oleh pemerintah pusat dalam kaitan ketahan-an pangan.
Ada pun perhatian besar juga harus diberikan bagi sektor UMKM. Sektor inilah yang relatif tahan banting dalam segala kondisi perekonomian. Namun, UMKM ini tidak boleh dilepas begitu saja, melainkan harus terus distimulasi untuk pengembangan hingga fasilitasi-fasilitasi oleh pemerintah.
Berbagai kebijakan sudah dikeluarkan Gubernur Bali, Wayan Koster, pada masa pandemi Covid-19 untuk mendukung sektor UMKM. Hal itu, antara lain, meliputi relaksasi pajak, kemudahan regulasi bantuan modal, hingga bantuan teknologi. Langkah yang sudah baik ini harus dilanjutkan dan lebih ditingkatkan lagi pada 2021, karena UMKM inilah yang sejatinya menjadi penyangga perekonomian Bali saat pariwisata runtuh. UMKM-UMKM ini harus didorong semakin berdaya saing tinggi, utamanya membawa kekhasan produk-produk berkualitas dari Pulau Dewata agar bisa menjadi produk unggulan yang diminati bukan hanya di pasar lokal, melainkan pasar nasional hingga internasional.
Harapan pada sektor ekonomi kreatif ini juga ditujukan kepada Sandiaga Uno yang belum sepekan dipercaya Presiden Joko Widodo menjadi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Kekuatan ekonomi kreatif Bali yang termasuk papan atas nasional bersama DI Jogjakarta dan Jawa Barat harus mendapat dukungan dari Mas Menteri. *
Maolan
Wartawan NusaBali
Wartawan NusaBali
Komentar