Termenung Lesu Tanpa Pariwisata
Setiap industri turisme Bali terkapar, selalu orang sibuk melirik pertanian. Ketika Perang Teluk (1990), hotel-hotel merumahkan karyawan, lampu-lampu dipadamkan mengirit listrik, para pakar sibuk berdebat tentang mengapa kita melupakan pertanian.
Sederet angka disodorkan, optimisme digelar, dan teori-teori bertaburan. Mereka mengelu-elukan pertanian, dengan mengatakan, masa lalu kita pertanian, ciri khas Bali sawah berundak-undak, kita punya tradisi luhur subak, yang semua itu bisa menjadi tulang punggung sukses bercocok tanam.
Teori jalan tengah pun muncul. Bali jangan terlalu bergantung pada bisnis pariwisata yang rentan kondisi global. Sedikit saja turisme diterpa isu, bisa ambruk, gampang membuat Bali terkapar miskin. Ketika isu wabah kolera melanda Bali, wisatawan Jepang urung datang. Mereka ketakutan, seolah-olah Bali itu liang kubur, bukan lagi taman firdaus. Pelaku bisnis wisata kemudian menghitung-hitung betapa besar kerugian yang mereka derita. Dan para pakar kembali sibuk berteori: mengapa kita melupakan pertanian?
Ketika bahagia, hidup senang bergelimang uang, dibalut kejayaan, lazimnya orang lupa pada derita, lalai pada kesusahan. Ketika gembira orang lupa pada sedih.
Padahal saban hari di radio atau televisi, penyiar sering berucap di akhir acara: setiap pertemuan tentu ada perpisahan. Semua orang tahu, gembira punya ujung, tawa mustahil bergema selamanya.
Suku Indian Apache diajar leluhur mereka jangan terlampau menunjukkan kegembiraan ketika menerima keberhasilan. Jangan pula terlalu menampakkan kesedihan tatkala didera kegagalan karena segalanya tak abadi. Orang Bali, pemeluk Hindu teguh, juga diajarkan pada perjalanan nasib lingkaran waktu. Ujung itu tiada. Segalanya adalah awal, juga akhir. Leluhur Bali mengajarkan, jangan terlalu gegabah dan berjingkrak-jingkrak ketika menuai sukses, karena bencana sedang mengintip. Terima segalanya, apa pun, biasa-biasa saja, dengan syukur.
Orang Bali dididik jangan berhura-hura, tidak mabuk kepayang, ketika menuai sukses dari industri turisme. Mereka harus mawas diri, sebab derita sedang mengintai setiap saat mereka lalai.
Mawas diri itu juga berarti jangan lupakan apa pun yang membuat sukses berhasil direbut. Filosofi bulatan, tanpa awal dan akhir itu, mengisyaratkan agar orang Bali senantiasa menilik ke asal. Tak heran, jika setiap bisnis turisme terkapar, mereka kembali melirik pertanian. Subak, kehidupan bercocok tanam, kembali menjadi pertimbangan. Banyak yang berkomentar, pertanian itu bukan pilihan, tetapi sesuatu yang harus dilakoni. Sebab dari sana kebudayaan berbiak, menyemai jati diri manusia Bali.
Tapi seperti apakah pertanian Bali kini? Masihkah dia punya degup? Hampir setiap orang Bali mengeluh, kini tak ada lagi anak muda berniat jadi petani. Penghasilan bertani rendah, pekerjaan berat, melorotkan harga diri, tidak berwibawa. Mereka lebih suka merantau, bekerja di kapal pesiar, cepat punya bertimbun uang, ketemu banyak pesohor, dan bisa punya pacar bule.
Sungguh tak mudah memotivasi anak muda untuk tidak bekerja di industri turisme, saat pariwisata bisa menyulap hidup seseorang. Saat bisnis turisme tersungkur oleh gelegar bom Kuta (2002) sulit membayangkan Bali melangkah tanpa pariwisata.
Tanpa industri yang melayani orang bersenang-senang itu, Bali sulit membuat proyeksi. Segalanya gelap: pemutusan kerja, pengangguran, rendahnya pendapatan asli daerah, tak ada cukup uang untuk melangsungkan upacara adat dan agama yang berjejal sepanjang tahun.
Bali termenung lesu, lemas, lemah lunglai, tanpa pariwisata. Sementara pertanian yang menjadi anak tiri selama ini, nyaris tak berkutik. Virus menyerang tanaman pisang, jeruk, adalah mimpi gelap pertanian Bali masa depan. Virus penyakit jembrana yang menyerang sapi bali belum tuntas teratasi. Bibit sapi bali terbaik kini dihasilkan di Sumatera, Sulawesi, Sumbawa. Sapi bali terbaik bukan lagi milik Bali. Lalu, apa yang bisa diandalkan dari pertanian dalam tempo singkat? Berapa lama harus menata pertanian agar sanggup mengangkat harkat perekonomian Bali?
Sekarang pun, saat pandemi Covid-19, pariwisata Bali mati suri. Nyaris tak ada yang sanggup memberi kepastian kapan industri plesiran ini bangkit kembali. Harapan-harapan baru memang muncul, wisatawan domestik mulai berkunjung berlibur Natal dan Tahun Baru. Banyak yang menduga-duga, roda mulai berputar, posisi beringsut ke atas.
Pariwisata telah mengubah jauh gaya hidup dan filosofi manusia Bali. Desakralisasi terjadi setiap saat, di sembarang tempat. Pandangan orang Bali terhadap kesucian berubah cepat, acap kali jungkir balik. Penilaian tentang hakikat duniawi juga berkembang. Kesucian gampang dilabrak demi pariwisata. Dengan perolehan sangat besar dan berlipat ganda dari turisme, orang Bali cenderung menggampangkan persoalan, tidak awas, kian malas menimbang-nimbang.
Ini bukan kesan baru bagi orang Bali, sejalan menggelegaknya turisme. Ketika kepada mereka diajukan pertanyaan, seperti apa Bali tanpa pariwisata, mereka menjawab Bali akan ditimpa malapetaka. Mereka cemas, ngeri, kalut. Kebanyakan orang Bali menganggap pariwisata adalah segalanya. Tiga jam setelah bom di Kuta diledakkan, banyak orang yang berkerumun di sekitar ledakan mengeluh, mereka siap-siap menganggur, bersiap kelaparan untuk waktu lama.
Tak terdengar percakapan pekerjaan apa harus diambil ketika taksi tak lagi mendapat tumpangan turis. Mereka memilih mungkin pulang kampung, karena sewa rumah di Kuta, Denpasar dan sekitarnya, mahal. Sekarang pun, saat gering Covid, perbincangan seperti itu riuh kembali. Orang-orang mulai menimbang-nimbang kini, tanpa pariwisata Bali harus optimis hidup, dengan kesederhanaan, seperti sebelum 1980-an. Bukannya termenung lesu meratapi nasib. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Teori jalan tengah pun muncul. Bali jangan terlalu bergantung pada bisnis pariwisata yang rentan kondisi global. Sedikit saja turisme diterpa isu, bisa ambruk, gampang membuat Bali terkapar miskin. Ketika isu wabah kolera melanda Bali, wisatawan Jepang urung datang. Mereka ketakutan, seolah-olah Bali itu liang kubur, bukan lagi taman firdaus. Pelaku bisnis wisata kemudian menghitung-hitung betapa besar kerugian yang mereka derita. Dan para pakar kembali sibuk berteori: mengapa kita melupakan pertanian?
Ketika bahagia, hidup senang bergelimang uang, dibalut kejayaan, lazimnya orang lupa pada derita, lalai pada kesusahan. Ketika gembira orang lupa pada sedih.
Padahal saban hari di radio atau televisi, penyiar sering berucap di akhir acara: setiap pertemuan tentu ada perpisahan. Semua orang tahu, gembira punya ujung, tawa mustahil bergema selamanya.
Suku Indian Apache diajar leluhur mereka jangan terlampau menunjukkan kegembiraan ketika menerima keberhasilan. Jangan pula terlalu menampakkan kesedihan tatkala didera kegagalan karena segalanya tak abadi. Orang Bali, pemeluk Hindu teguh, juga diajarkan pada perjalanan nasib lingkaran waktu. Ujung itu tiada. Segalanya adalah awal, juga akhir. Leluhur Bali mengajarkan, jangan terlalu gegabah dan berjingkrak-jingkrak ketika menuai sukses, karena bencana sedang mengintip. Terima segalanya, apa pun, biasa-biasa saja, dengan syukur.
Orang Bali dididik jangan berhura-hura, tidak mabuk kepayang, ketika menuai sukses dari industri turisme. Mereka harus mawas diri, sebab derita sedang mengintai setiap saat mereka lalai.
Mawas diri itu juga berarti jangan lupakan apa pun yang membuat sukses berhasil direbut. Filosofi bulatan, tanpa awal dan akhir itu, mengisyaratkan agar orang Bali senantiasa menilik ke asal. Tak heran, jika setiap bisnis turisme terkapar, mereka kembali melirik pertanian. Subak, kehidupan bercocok tanam, kembali menjadi pertimbangan. Banyak yang berkomentar, pertanian itu bukan pilihan, tetapi sesuatu yang harus dilakoni. Sebab dari sana kebudayaan berbiak, menyemai jati diri manusia Bali.
Tapi seperti apakah pertanian Bali kini? Masihkah dia punya degup? Hampir setiap orang Bali mengeluh, kini tak ada lagi anak muda berniat jadi petani. Penghasilan bertani rendah, pekerjaan berat, melorotkan harga diri, tidak berwibawa. Mereka lebih suka merantau, bekerja di kapal pesiar, cepat punya bertimbun uang, ketemu banyak pesohor, dan bisa punya pacar bule.
Sungguh tak mudah memotivasi anak muda untuk tidak bekerja di industri turisme, saat pariwisata bisa menyulap hidup seseorang. Saat bisnis turisme tersungkur oleh gelegar bom Kuta (2002) sulit membayangkan Bali melangkah tanpa pariwisata.
Tanpa industri yang melayani orang bersenang-senang itu, Bali sulit membuat proyeksi. Segalanya gelap: pemutusan kerja, pengangguran, rendahnya pendapatan asli daerah, tak ada cukup uang untuk melangsungkan upacara adat dan agama yang berjejal sepanjang tahun.
Bali termenung lesu, lemas, lemah lunglai, tanpa pariwisata. Sementara pertanian yang menjadi anak tiri selama ini, nyaris tak berkutik. Virus menyerang tanaman pisang, jeruk, adalah mimpi gelap pertanian Bali masa depan. Virus penyakit jembrana yang menyerang sapi bali belum tuntas teratasi. Bibit sapi bali terbaik kini dihasilkan di Sumatera, Sulawesi, Sumbawa. Sapi bali terbaik bukan lagi milik Bali. Lalu, apa yang bisa diandalkan dari pertanian dalam tempo singkat? Berapa lama harus menata pertanian agar sanggup mengangkat harkat perekonomian Bali?
Sekarang pun, saat pandemi Covid-19, pariwisata Bali mati suri. Nyaris tak ada yang sanggup memberi kepastian kapan industri plesiran ini bangkit kembali. Harapan-harapan baru memang muncul, wisatawan domestik mulai berkunjung berlibur Natal dan Tahun Baru. Banyak yang menduga-duga, roda mulai berputar, posisi beringsut ke atas.
Pariwisata telah mengubah jauh gaya hidup dan filosofi manusia Bali. Desakralisasi terjadi setiap saat, di sembarang tempat. Pandangan orang Bali terhadap kesucian berubah cepat, acap kali jungkir balik. Penilaian tentang hakikat duniawi juga berkembang. Kesucian gampang dilabrak demi pariwisata. Dengan perolehan sangat besar dan berlipat ganda dari turisme, orang Bali cenderung menggampangkan persoalan, tidak awas, kian malas menimbang-nimbang.
Ini bukan kesan baru bagi orang Bali, sejalan menggelegaknya turisme. Ketika kepada mereka diajukan pertanyaan, seperti apa Bali tanpa pariwisata, mereka menjawab Bali akan ditimpa malapetaka. Mereka cemas, ngeri, kalut. Kebanyakan orang Bali menganggap pariwisata adalah segalanya. Tiga jam setelah bom di Kuta diledakkan, banyak orang yang berkerumun di sekitar ledakan mengeluh, mereka siap-siap menganggur, bersiap kelaparan untuk waktu lama.
Tak terdengar percakapan pekerjaan apa harus diambil ketika taksi tak lagi mendapat tumpangan turis. Mereka memilih mungkin pulang kampung, karena sewa rumah di Kuta, Denpasar dan sekitarnya, mahal. Sekarang pun, saat gering Covid, perbincangan seperti itu riuh kembali. Orang-orang mulai menimbang-nimbang kini, tanpa pariwisata Bali harus optimis hidup, dengan kesederhanaan, seperti sebelum 1980-an. Bukannya termenung lesu meratapi nasib. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar