'Tak Ada Alasan Revisi Perda Desa Adat karena Politik'
Mantan Ketua Pansus Perda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, mengatakan revisi belum perlu, karena harus ada ruang untuk menguji Perda Desa Adat apakah efektif atau tidak.
DENPASAR, NusaBali
Wacana revisi/perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2019 Provinsi Bali tentang Desa Adat yang diwacanakan Partai Golkar Bali membuat heboh. Tokoh masyarakat yang mantan Ketua Pansus Otonomi Khusus DPRD Bali, I Made Arimbawa di Denpasar, Minggu (3/1) mengatakan Perda Desa Adat saat ini belum relevan direvisi.
"Saya rasa ini keliru kalau Partai Golkar usulkan revisi sekarang, " ujar Arimbawa. Arimbawa yang juga Ketua Depercab PDIP Tabanan ini mengatakan usulan revisi Perda Desa Adat dikaitkan dengan adanya intervensi politik dan eksploitasi Desa Adat yang diungkapkan dalam refleksi Partai Golkar Bali 2020 terlalu jauh menyimpang. "Revisi Perda Desa Adat dikaitkan dengan Desa Adat diintervensi politik saat Pilkada terlalu jauh itu. Pak Sugawa Korry berpikir jauh sekali," ujar Arimbawa.
Mantan Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali periode 2004- 2009 ini mengatakan semestinya Golkar Bali di bawah pimpinan Sugawa Korry bisa memberikan pandangan lain agar tidak tendensius terhadap Desa Adat. "Bagaimanapun Desa Adat itu punya kemandirian. Dalam Desa Adat itu ada masyarakat yang secara nasional juga punya hak politik. Termasuk dalam Pilkada, rakyat desa dinas juga adalah krama adat," ujar politisi senior PDIP yang juga Anggota Kelompok Ahli Bidang Hukum Pemprov Bali ini.
Arimbawa mengatakan unsur krama Adat yang masuk kelompok warga dinas punya hak politik, seperti yowana (pemuda) desa adat juga masuk Karang Taruna (organisasi pemuda). Sehingga tidak bisa dikategorikan dia diintervensi politik. "Seolah-olah ada kekuatan politik yang intervensi. Mereka ini rakyat. Bisa rakyat itu anggota Karang Taruna, warga banjar dinas, jangan dikaitkan intervensi," ujar Arimbawa.
"Lagi pula saudara Sugawa Korry kan pimpinan dewan yang duduk di DPRD Bali dan ikut membahas Perda Desa Adat. Jadi nggak ada dasar. Kelihatan dong tidak konsisten, karena Sugawa Korry juga ikut menetapkan Perda Desa Adat," ujar mantan Ketua DPRD Tabanan 1999-2004 ini. Menurut Arimbawa , pendapat pakar Hukum Adat Prof Dr Wayan Windia yang lebih tepat. Tidak boleh ada revisi dulu. Tapi lebih kepada konteks pasal-pasal saja dibahas berikut peraturan turunannya. "Bukan peraturan daerahnya yang diubah. Tidak bisa begitu. Kalau soal pilkada ada intervensi, saya rasa masyarakat sudah cerdas dan sudah bisa tahu hak pilihnya, dengan kecerdasan dan kemandirian menggunakan hak pilihnya," tegas Arimbawa.
Sementara mantan Ketua Pansus Perda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, mengatakan revisi Perda Desa Adat terlalu dini. "Perda Desa Adat baru setahun berlaku. Masak baru setahun sudah revisi," ujar Anggota Fraksi PDIP DPR RI ini.
Kata Parta revisi belum perlu. Karena harus ada ruang untuk menguji Perda Desa Adat apakah efektif atau tidak. "Kita harus dapatkan gambaran lebih luas tentang seberapa efektif ketika diberlakukan," ujar politisi asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar ini.
Sementara Wakil Ketua DPRD Bali, Nyoman Suyasa, dari Fraksi Gerindra mendukung adanya upaya menjaga independensi Desa Adat lebih terjaga. "Dalam hajatan Pilkada 2020 kemarin memang membuat masyarakat terbelah karena ada kesan desa adat ditarik-tarik ke persoalan politik. Tidak hanya di Pilkada Karangasem, tapi seluruh Pilkada di Bali," ujar Suyasa.
Menurut politisi asal Desa Pertima, Kecamatan/Kabupaten Karangasem ini sebaiknya Desa Adat harus independen dan berdiri sendiri. "Desa Adat jangan ditarik-tarik ke ranah politik. Biarkan Desa Adat mandiri. Karena Desa Adat itu garda terdepan dalam mempertahankan Adat dan Budaya Bali," ujar Ketua DPC Gerindra Karangasem ini.
Kalau soal revisi menurut Suyasa tidak usah sekarang. Yang penting pelaksanaannya diwujudkan dengan benar. "Biarkan dulu berjalan, nanti kalau di dalam perjalanan ada yang perlu dievaluasi barulah dipertimbangkan ada revisi. Kan baru setahun ini berjalan," ujar Ketua DPC Gerindra Karangasem ini. Sebelumnya Ketua DPD I Golkar Bali dalam refleksi akhir tahun di Kantor Golkar Bali mengatakan Desa Adat belakangan ini mengalami intervensi karena kepentingan politik.
Sehingga Desa Adat perlu dikuatkan dengan posisinya untuk lebih independen. Kata Sugawa Korry perlu dilakukan revisi/perubahan atau apalah namanya agar ada pasal yang mengatur desa adat lebih kuat dan independen agar tidak diintervensi politik.
Gubernur Bali, I Wayan Koster sendiri mengesahkan Ranperda tentang Desa Adat menjadi Perda Provinsi Bali No 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali melalui paruman Pencanangan Perda Desa Adat di Bali, di Wantilan Pura Samuantiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Anggara Kliwon Kulantir, Selasa (4/6), bertepatan Hari Suci Kajeng Kliwon. Pengesahan Perda dengan penandatanganan oleh Gubernur Koster pada prasasti yang dinamai ‘Prasasti Samuhan Tiga’. *nat
Wacana revisi/perubahan Perda Nomor 4 Tahun 2019 Provinsi Bali tentang Desa Adat yang diwacanakan Partai Golkar Bali membuat heboh. Tokoh masyarakat yang mantan Ketua Pansus Otonomi Khusus DPRD Bali, I Made Arimbawa di Denpasar, Minggu (3/1) mengatakan Perda Desa Adat saat ini belum relevan direvisi.
"Saya rasa ini keliru kalau Partai Golkar usulkan revisi sekarang, " ujar Arimbawa. Arimbawa yang juga Ketua Depercab PDIP Tabanan ini mengatakan usulan revisi Perda Desa Adat dikaitkan dengan adanya intervensi politik dan eksploitasi Desa Adat yang diungkapkan dalam refleksi Partai Golkar Bali 2020 terlalu jauh menyimpang. "Revisi Perda Desa Adat dikaitkan dengan Desa Adat diintervensi politik saat Pilkada terlalu jauh itu. Pak Sugawa Korry berpikir jauh sekali," ujar Arimbawa.
Mantan Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali periode 2004- 2009 ini mengatakan semestinya Golkar Bali di bawah pimpinan Sugawa Korry bisa memberikan pandangan lain agar tidak tendensius terhadap Desa Adat. "Bagaimanapun Desa Adat itu punya kemandirian. Dalam Desa Adat itu ada masyarakat yang secara nasional juga punya hak politik. Termasuk dalam Pilkada, rakyat desa dinas juga adalah krama adat," ujar politisi senior PDIP yang juga Anggota Kelompok Ahli Bidang Hukum Pemprov Bali ini.
Arimbawa mengatakan unsur krama Adat yang masuk kelompok warga dinas punya hak politik, seperti yowana (pemuda) desa adat juga masuk Karang Taruna (organisasi pemuda). Sehingga tidak bisa dikategorikan dia diintervensi politik. "Seolah-olah ada kekuatan politik yang intervensi. Mereka ini rakyat. Bisa rakyat itu anggota Karang Taruna, warga banjar dinas, jangan dikaitkan intervensi," ujar Arimbawa.
"Lagi pula saudara Sugawa Korry kan pimpinan dewan yang duduk di DPRD Bali dan ikut membahas Perda Desa Adat. Jadi nggak ada dasar. Kelihatan dong tidak konsisten, karena Sugawa Korry juga ikut menetapkan Perda Desa Adat," ujar mantan Ketua DPRD Tabanan 1999-2004 ini. Menurut Arimbawa , pendapat pakar Hukum Adat Prof Dr Wayan Windia yang lebih tepat. Tidak boleh ada revisi dulu. Tapi lebih kepada konteks pasal-pasal saja dibahas berikut peraturan turunannya. "Bukan peraturan daerahnya yang diubah. Tidak bisa begitu. Kalau soal pilkada ada intervensi, saya rasa masyarakat sudah cerdas dan sudah bisa tahu hak pilihnya, dengan kecerdasan dan kemandirian menggunakan hak pilihnya," tegas Arimbawa.
Sementara mantan Ketua Pansus Perda Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta, mengatakan revisi Perda Desa Adat terlalu dini. "Perda Desa Adat baru setahun berlaku. Masak baru setahun sudah revisi," ujar Anggota Fraksi PDIP DPR RI ini.
Kata Parta revisi belum perlu. Karena harus ada ruang untuk menguji Perda Desa Adat apakah efektif atau tidak. "Kita harus dapatkan gambaran lebih luas tentang seberapa efektif ketika diberlakukan," ujar politisi asal Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar ini.
Sementara Wakil Ketua DPRD Bali, Nyoman Suyasa, dari Fraksi Gerindra mendukung adanya upaya menjaga independensi Desa Adat lebih terjaga. "Dalam hajatan Pilkada 2020 kemarin memang membuat masyarakat terbelah karena ada kesan desa adat ditarik-tarik ke persoalan politik. Tidak hanya di Pilkada Karangasem, tapi seluruh Pilkada di Bali," ujar Suyasa.
Menurut politisi asal Desa Pertima, Kecamatan/Kabupaten Karangasem ini sebaiknya Desa Adat harus independen dan berdiri sendiri. "Desa Adat jangan ditarik-tarik ke ranah politik. Biarkan Desa Adat mandiri. Karena Desa Adat itu garda terdepan dalam mempertahankan Adat dan Budaya Bali," ujar Ketua DPC Gerindra Karangasem ini.
Kalau soal revisi menurut Suyasa tidak usah sekarang. Yang penting pelaksanaannya diwujudkan dengan benar. "Biarkan dulu berjalan, nanti kalau di dalam perjalanan ada yang perlu dievaluasi barulah dipertimbangkan ada revisi. Kan baru setahun ini berjalan," ujar Ketua DPC Gerindra Karangasem ini. Sebelumnya Ketua DPD I Golkar Bali dalam refleksi akhir tahun di Kantor Golkar Bali mengatakan Desa Adat belakangan ini mengalami intervensi karena kepentingan politik.
Sehingga Desa Adat perlu dikuatkan dengan posisinya untuk lebih independen. Kata Sugawa Korry perlu dilakukan revisi/perubahan atau apalah namanya agar ada pasal yang mengatur desa adat lebih kuat dan independen agar tidak diintervensi politik.
Gubernur Bali, I Wayan Koster sendiri mengesahkan Ranperda tentang Desa Adat menjadi Perda Provinsi Bali No 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali melalui paruman Pencanangan Perda Desa Adat di Bali, di Wantilan Pura Samuantiga, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Anggara Kliwon Kulantir, Selasa (4/6), bertepatan Hari Suci Kajeng Kliwon. Pengesahan Perda dengan penandatanganan oleh Gubernur Koster pada prasasti yang dinamai ‘Prasasti Samuhan Tiga’. *nat
1
Komentar