Incenerator Pembangkit Listrik Tenaga Sampah di Denpasar Diprotes Walhi
WALHI Bali
DLHK Denpasar
Analisa Dampak Lingkungan (Andal)
TPA Regional Sarbagita Denpasar
Pembangkit Listrik Tenaga Sampah
DENPASAR, NusaBali.com
Pembahasan Analisa Dampak Lingkungan (Andal) rencana proyek Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di TPA Regional Sarbagita Denpasar diprotes Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) Bali. Pasalnya agenda yang diinisiasi Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Denpasar ini dinilai sangat urgen.
Sebaliknya pertemuan yang digelar di Kantor Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali, Senin (11/1/2021) secara offline terbatas dan virtual melalui aplikasi Zoom, mengundang beberapa perwakilan akademisi Universitas Udayana, Dinas Kesehatan, dan Perhimpunan Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Hadir dalam rapat tersebut Kepala DKLH Provinsi Bali, Made Teja dan Eko Wiyono selaku Ketua Tim Amdal Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dengan Incinerator.
Walhi yang bergabung dalam pertemuan secara virtual melalui Made Krisna ‘Bokis’ Dinata menyampaikan dengan tidak melibatkan Walhi dalam pertemuan itu adalah tindakan yang melanggar asas partisipasi sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Apakah saudara ingin meloloskan proyek PSEL ini dengan cara tidak mengundang Walhi Bali?” tanyanya.
Bokis juga menyampaikan bahwa dalam Rencana Tata Kota dan Ruang Warga (RTRW) Kota Denpasar tidak ada yang mengatur tentang PSEL dan RTRW Provinsi Bali. Kawasan yang direncanakan proyek PSEL tersebut berada di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dan rencana pembangunan proyek pembakaran sampah dengan incinerator ini dinilai bertentangan dengan RTRW Bali. Selain itu, Bokis juga menjelaskan bahwa saat ini kawasan hutan Bali belum bisa memenuhi ketentuan minimal perundang-undangan, yakni 30 persen. “Lebih bermanfaat apabila kawasan tersebut direhabilitasi,” tegas pria yang dulunya juga menjabat sebagai Sekjen organisasi gerakan mahasiswa Frontier Bali.
Dokumen Andal sendiri menyatakan bahwa manfaat dari proyek PSEL adalah meningkatkan kesehatan dan kualitas lingkungan. Dokumen ini mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Pelaksanaan proyek PSEL ini sendiri sudah diterapkan di kota Surabaya dan akan diterapkan di kota lainnya seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Makassar, Palembang, Manado dan termasuk juga Denpasar.
Namun, Bokis menyampaikan bahwa penggunaan incinerator untuk pembakaran sampah justru menghasilkan dioksin, polutan serta fly ash dan bottom ash (FABA), yang merusak lingkungan serta dapat memicu penyakit kanker pada manusia yang berada pada radius hingga 5 kilometer di wilayah perkotaan dari lokasi incinerator, sehingga rencana tersebut berpotensi merusak lingkungan dan merugikan kesehatan masyarakat. Selain itu, ia menambahkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 27 P/HUM/2016 pada intinya menyatakan bahwa pembangunan listrik berbasis sampah dengan incinerator dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang ditimbulkan residu dan sisa pembakaran. “Ditambah lagi saat ini belum ada laboratorium yang dapat menganalisa dioksin dalam sampel emisi maupun FABA dari incinerator, sepanjang pengetahuan kami, saat ini belum ada,” sorotnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya Bali telah memiliki aturan terkait pengelolaan sampah yang cukup baik, yakni pada Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, tetapi perda ini belum secara serius untuk dilakukan. Contohnya kewajiban setiap badan untuk menarik kembali sampah sampah dari produksi dan/atau kemasan yang dihasilkannya dinilai tidak serius dilakukan oleh Pemprov Bali sehingga badan usaha masih secara bebas memproduksi sampah plastik.
Sebagai perwakilan Walhi, Bokis pun mengusulkan agar Pemprov Bali lebih serius melaksanakan Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber dan tidak memilih incinerator untuk membakar sampah. “Sehingga pengelolaan sampah bisa dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak kesehatan dan merugikan kesehatan masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, terdapat tanggapan beragam dari peserta rapat yang hadir. Perwakilan dari forum PHDI menyatakan persetujuannya terhadap proyek ini. “Selama mendatangkan kebaikan untuk masyarakat desa adat, tidak masalah,” ujar Made Arka, selaku perwakilan bidang hubungan masyarakat dari PHDI.
Di sisi lain, Utami Dwipayanti dari perwakilan akademisi bidang kesehatan masyarakat Universitas Udayana cukup mengkritisi pertemuan ini. “Saya mengerti karena seolah-olah pihak Walhi tidak dianggap dalam rencana proyek ini, untuk itu pemerintah sebaiknya bisa lebih pro-aktif jika memang ini baik untuk dilaksanakan,” ujarnya.*cla
Walhi yang bergabung dalam pertemuan secara virtual melalui Made Krisna ‘Bokis’ Dinata menyampaikan dengan tidak melibatkan Walhi dalam pertemuan itu adalah tindakan yang melanggar asas partisipasi sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. “Apakah saudara ingin meloloskan proyek PSEL ini dengan cara tidak mengundang Walhi Bali?” tanyanya.
Bokis juga menyampaikan bahwa dalam Rencana Tata Kota dan Ruang Warga (RTRW) Kota Denpasar tidak ada yang mengatur tentang PSEL dan RTRW Provinsi Bali. Kawasan yang direncanakan proyek PSEL tersebut berada di kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai dan rencana pembangunan proyek pembakaran sampah dengan incinerator ini dinilai bertentangan dengan RTRW Bali. Selain itu, Bokis juga menjelaskan bahwa saat ini kawasan hutan Bali belum bisa memenuhi ketentuan minimal perundang-undangan, yakni 30 persen. “Lebih bermanfaat apabila kawasan tersebut direhabilitasi,” tegas pria yang dulunya juga menjabat sebagai Sekjen organisasi gerakan mahasiswa Frontier Bali.
Dokumen Andal sendiri menyatakan bahwa manfaat dari proyek PSEL adalah meningkatkan kesehatan dan kualitas lingkungan. Dokumen ini mengacu pada Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Pelaksanaan proyek PSEL ini sendiri sudah diterapkan di kota Surabaya dan akan diterapkan di kota lainnya seperti Tangerang, Tangerang Selatan, Bekasi, Bandung, Semarang, Surakarta, Makassar, Palembang, Manado dan termasuk juga Denpasar.
Namun, Bokis menyampaikan bahwa penggunaan incinerator untuk pembakaran sampah justru menghasilkan dioksin, polutan serta fly ash dan bottom ash (FABA), yang merusak lingkungan serta dapat memicu penyakit kanker pada manusia yang berada pada radius hingga 5 kilometer di wilayah perkotaan dari lokasi incinerator, sehingga rencana tersebut berpotensi merusak lingkungan dan merugikan kesehatan masyarakat. Selain itu, ia menambahkan bahwa Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 27 P/HUM/2016 pada intinya menyatakan bahwa pembangunan listrik berbasis sampah dengan incinerator dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang ditimbulkan residu dan sisa pembakaran. “Ditambah lagi saat ini belum ada laboratorium yang dapat menganalisa dioksin dalam sampel emisi maupun FABA dari incinerator, sepanjang pengetahuan kami, saat ini belum ada,” sorotnya.
Ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya Bali telah memiliki aturan terkait pengelolaan sampah yang cukup baik, yakni pada Perda Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Sampah, tetapi perda ini belum secara serius untuk dilakukan. Contohnya kewajiban setiap badan untuk menarik kembali sampah sampah dari produksi dan/atau kemasan yang dihasilkannya dinilai tidak serius dilakukan oleh Pemprov Bali sehingga badan usaha masih secara bebas memproduksi sampah plastik.
Sebagai perwakilan Walhi, Bokis pun mengusulkan agar Pemprov Bali lebih serius melaksanakan Peraturan Gubernur Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber dan tidak memilih incinerator untuk membakar sampah. “Sehingga pengelolaan sampah bisa dilakukan dengan cara-cara yang tidak merusak kesehatan dan merugikan kesehatan masyarakat,” jelasnya.
Sementara itu, terdapat tanggapan beragam dari peserta rapat yang hadir. Perwakilan dari forum PHDI menyatakan persetujuannya terhadap proyek ini. “Selama mendatangkan kebaikan untuk masyarakat desa adat, tidak masalah,” ujar Made Arka, selaku perwakilan bidang hubungan masyarakat dari PHDI.
Di sisi lain, Utami Dwipayanti dari perwakilan akademisi bidang kesehatan masyarakat Universitas Udayana cukup mengkritisi pertemuan ini. “Saya mengerti karena seolah-olah pihak Walhi tidak dianggap dalam rencana proyek ini, untuk itu pemerintah sebaiknya bisa lebih pro-aktif jika memang ini baik untuk dilaksanakan,” ujarnya.*cla
1
Komentar