Harmonisasi Adat serta Budaya Bali di Tengah Pandemi
Tatanan kehidupan masyarakat adat di Bali yang penuh dengan kehidupan sosial, adat dan budaya, di tengah pandemi Covid-19 saat ini benar – benar sedang di uji.
Penulis : Ni Putu Arix Nirmala
Mahasiswi Pascasarjana Ilmu Manajemen Undiksha
Bali yang sebelumnya dikenal dengan istilah banyak libur karena kegiatan ritual, budaya dan adat yang dilakukan oleh masyarakatnya, kini harus berhadapan dengan pembatasan – pembatasan prilaku yang dirubah guna tidak menjadi klaster penyebar virus Covid-19.
Sebelum adanya pandemi Covid-19, adat serta budaya Bali yang hampir setiap saat digelar selalu melibatkan banyak orang karena keterikatan adat atau gotong royong yang kuat. Namun keramaian yang menimbulkan kerumunan seperti itu meyebabkan kekhawatiran akan menjadi salah satu tempat potensi klaster baru Covid-19.
Oleh sebab itu pada September 2020 Pemprov Bali bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali menghasilkan sebuah pesan edaran yang berkaitan dengan pelaksanaan protokol kesehatan dikala melaksanakan aktivitas ritual adat serta budaya tersebut. Di Bali, desa adat mempunyai hak otonom dalam mengatur kehidupan masyarakatnya. Oleh karena itu harapan pemerintah, keterlibatan desa adat di dalam menekan angka penyebaran penularan Covid-19 di Bali.
Pesan edaran tersebut intinya adalah menghalangi atau membatasi aktivitas adat serta budaya yang dapat menimbulkan keramaian dalam upacara. Dalam penerapannya, pecalang yang selaku satuan pengamanan adat bersama tokoh - tokoh desa adat menjadi garda terdepan dalam mengendalikan suatu pelaksanaan protokol kesehatan. Kepatuhan setiap masyarakat terhadap ketentuan adat serta tokoh adatnya jadi kunci dalam menanggulangi wabah virus mematikan itu.
Secara umum, kebiasaan yang ada di tengah kehidupan masyarakat adat di Bali, kegiatan ritual tersebut tentu dilaksanakan dengan melibatkan seluruh krama adat. Namun disebabkan pandemi Covid-19, pemerintah desa adat setempat harus bekerja keras melakukan ubah laku kebiasaan masyarakat dan mengharmonisasikan sejumlah pelaksanaan kegiatan upacara atau ritual sehingga tidak sampai melanggar dari protocol kesehatan yang dianjurkan oleh pemerintah.
Misalnya saat persembahyangan di Pura, dengan membawa ‘thermo gun’ pecalang memantau temperatur badan umat yang muncul. Pengawasan pula dalam perihal pemakaian masker ataupun perlengkapan pelindung wajah, cuci tangan serta jumlah umat yang dapat mengikuti kegiatan upacara atau ritual optimal 25 orang di tiap termin persembahyangan. Tanpa mengurangi makna dari kegiatan ritual yang dilaksanakan, pelaksanaann upacara berlangsung hanya melibatkan prajuru atau pengurus adat saja. Mulai dari persiapan, pelaksanaan dan pakemitan dilakukan oleh prajuru saja.
Senyuman para penari Bali tidak lagi tampak mengiringi kelenturan gerakan tangan dan tubuhnya. Ekspresi wajah yang mencerminkan karakter tari Bali yang dibawakannya sirna dikarenakan harus ditutupi masker. Begitu pula dengan pemuka agama Hindu harus malantunkan doa – doa dari balik masker dan alat pelindung wajah ‘face shield’ saat memimpin sebuah upacara persembahyangan di Pura. Adat dan budaya Bali yang dikenal dengan keunikan, kental dengan kebersamaan dan gotong royong seketika harus berubah karena harus menerapkan tahapan – tahapan adaptasi kebiasaan baru dalam upaya mengatasi penularan wabah virus Covid-19.
Semenjak wabah virus tersebut merenggut dua korban yaitu korban asal Negara Inggris dan Prancis di Bali sekitar Maret 2020, Bali sempat seakan menjadi kawasan wisata yang menakutkan. Kasus demi kasus virus Covid-19 mengalami peningkatan melalui transmisi lokal atau penularan antar warga. Hal tersebutlah yang menyebabkan Bali harus jengah dalam membentengi diri guna menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Selain kegiatan ritual keagamaan, dikala prosesi upacara Ngaben yang tidak lagi diwarnai arak - arakan jenazah. Prosesi Ngaben dikala ini diiringi oleh keluarga ini serta saudara terdekat saja. Apalagi dalam permasalahan kematian akibat virus Covid-19, prosesi Ngaben dicoba oleh anggota Regu Gugus Tugas Percepatan Penanganan (GTPP) virus Covid-19 dengan menggunakan perlengkapan Alat Pelindung Diri (APD). Keluarga hanya dapat melihat prosesi kremasi dari jarak jauh dengan kelengkapan upacara yang sederhana. Dalam hal upacara Ngaben yang umumnya dilakukan oleh masyarakat adat dengan melibatkan petedunan krama adat dengan membunyikan kentongan atau kulkul, kini ditengah pandemic virus Covid-19, pelaksanaan disesuaikan.
Demikian pula halnya dalam kegiatan upacara perkawinan yang biasanya dilaksanakan dengan sangat meriah dan dengan banyaknya tamu undangan yang hadir kini harus dipangkas dan harus memenuhi protokol kesehatan yang diberlakukan oleh pemerintah guna memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Harmonisasi pelaksanaan upacaranya disesuaikan dengan kondisi Covid-19, dengan sejumlah pembatasan – pembatasan keterlibatan masyarakat adat, namun tidak mengurangi arti dan makna dari upacara berdasarkan ajaran agama Hindu.
Banyak perubahan adat dan budaya Bali yang terjadi akibat virus Covid-19, selain perihal diatas perubahan juga nampak pada tradisi mengarak ogoh – ogoh atau patung raksasa yang biasa dilakukan sehari menjelang Nyepi ditiadakan. Tradisi mengarak ogoh – ogoh, seperti yang selalu dilakukan setiap tahun, selalu menjadi peristiwa yang sangat dinanti oleh masyarakat, baik umat Hindu maupun pemeluk agama lain. Namun balik lagi, ini semua guna memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Perubahan yang tidak mudah namun harus tetap dijalani adat dan budaya Bali di tengah pandemic Covid-19.
Perubahan ini diharapkan dapat memutus mata rantai penularan dan penyebaran virus Covid-19 di Bali. Perubahan di dalam adat dan budaya Bali awalnya sulit diterapkan oleh masyarakat sesuai dengan protokol kesehatan yang dianjurkan, namun demi kenyamanan dan keamanan bersama perubahan dalam persembahyangan yang menimbulkan kerumunan dalam melaksanakan upacara tersebut tetap harus dilaksanakan tanpa menghilangkan makna setiap adat dan budaya Bali.
Dampak positif adanya virus Covid-19 di tengah – tengah masayarakat adalah, dapat memberikan perubahan sehingga mampu menyadari masyarakat bahwa kebersihan adalah hal yang selalu menjadi sangat penting baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang seperti slogan yang sering kita jumpai yaitu ‘sehat itu mahal’. Masyarakat yang dulunya abai akan kebersihan diri dan lingkungan, kini menjadi sangat memperhatikan kebersihan sekitarnya. Menjaga imunitas atau daya tahan tubuh merupakan salah satu cara untuk membentengi diri agar tidak mudah terpapar virus Covid-19.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar