Kebal
ADA banyak cara bagi orang Bali untuk menjadi manusia kebal, agar tahan dari serangan musuh, dan melumpuhkan senjata yang berniat menusuk tubuh.
Ada banyak kisah untuk itu, menceritakan seseorang digebuk ramai-ramai karena mencuri helm, babak belur, darah mengucur, tapi tidak jua mati. Ia bahkan berlari, menembus kerumunan, ditabrak mobil, berlari lagi, lalu menghilang entah ke mana. Seperti kisah fiksi dalam film-film hiburan, tidak masuk akal, namun terus menjadi mitos, bahwa manusia kebal itu nyata, memang ada.
Manusia-manusia kebal itu, yang suka menyatroni rumah-rumah, menggarong perhiasan, mencuri ternak, selain kebal, dikabarkan juga punya ilmu menghilangkan raga. Para pengejarnya celingak-celinguk tidak paham buruan mereka raib seperti ditelan bumi. Para pencuri pratima di tempat-tempat suci acap dikabarkan punya ilmu menghilang, dan menguasai ilmu sesirep.
Memiliki kekebalan tidak hanya diinginkan oleh mereka yang penakut, tapi juga kaum pemberani. Mereka yang terdidik pun doyan dengan azimat agar bisa kebal senjata. Mereka berharap tak sanggup dicelakai, apalagi dibunuh, oleh siapa pun. Azimat itu selalu dibawa ke mana pun pergi. Jika seseorang hendak meracuni lewat racikan kopi, cangkir akan terbelah sebelum kopi diminum. Orang-orang yang takluk pada kekuatan azimat seakan sosok yang tak mungkin mati.
Ketika ribuan serdadu dikirim ke Timor Timur untuk menumpas gerilyawan Fretilin di zaman Orde Baru, tak sedikit prajurit yang mengaku berbekal azimat agar tak kuasa peluru menembus tubuh, cukup menggores baju atau merobek saku. Azimat itu, bisa berupa permata, lempengan metal, atau gulungan sesuatu benda yang tak jelas asal-usulnya, dilesakkan ke ransel atau disimpan di dompet, bisa membuat pelor berbelok arah, tak sanggup menyentuh dada atau melubangi kepala. Ada sekian serdadu yang kembali selamat, kemudian gelisah, pikiran-pikiran mereka terganggu, karena begitu lama di hutan memburu Fretilin yang menguasai medan tempur.
Mereka mencoba mencabut dan membuang azimat-azimat itu, agar terbebas dari sakit. Tapi, tidak mudah untuk sepenuhnya bebas dari bayang-bayang diburu dan memburu dalam hutan, kendati azimat kebal sudah dicopot. Seperti kebingungan serdadu Amerika yang pulang dari perang Vietnam. Film Platoon atau Deer Hunter menyodorkan dengan bagus dan indah tentang stres kaum serdadu itu.
Orang Bali menyebut azimat yang membuat tubuh kebal itu sebagai gegemet, melindungi pemiliknya, digunakan sebagai penangkal penyakit, juga agar terhindar dari tenung dan teluh serta ilmu hitam. Biar desti, leak, tak sanggup mengganggu. Orang Bali meyakini, gegemet itu benda sakti, bisa diwariskan turun temurun, membuat pemiliknya kebal, selalu aman, dan selamat.
Ada banyak orang pintar yang menjadi penyedia gegemet. Orang-orang datang menyerahkan sejumlah uang, atau demi tujuan-tujuan politik. Tahun 1965, zaman gelegak orang-orang partai ingin saling tebas, banyak kisah orang Bali ingin menjadi kebal. Mereka membeli gegemet atau diberi kerabat. Mereka diuji lewat sempalan dengan parang atau sabetan arit. Tatkala orang-orang komunis kalah, banyak yang dirajam dan tak kunjung mati. Karena tak tahan, ia membuka rahasia, bagaimana ia harus diperlakukan agar mati. Itu lebih baik daripada badan rusak, hancur, namun tak kunjung binasa.
Maka di tahun 1965-1966 yang sangat memilukan itu, banyak cerita tentang manusia kebal yang baru bisa dibunuh dengan pukulan batang kelor atau kayu dadap. Ada yang baru terbunuh setelah menyerahkan gegemet berupa lempengan logam yang diikat benang tridatu, diambil dari bawah tikar di dipan.
Akhirnya orang-orang tahu, kekebalan itu adalah sepotong rahasia. Rahasia itu juga yang menjadi mitos ketika mahapatih Kebo Iwa hendak dibinasakan oleh Gajah Mada yang berniat menaklukkan Bali. Kebo Iwa dibujuk bertandang ke Majapahit, di sana ia dihabisi, namun tak kunjung binasa. Kebo Iwa mengungkapkan sepotong rahasia apa yang harus dilakukan Gajah Mada untuk menuntaskan kekebalannya. Hingga kini cerita ini dipandang sebagai ketulusan Kebo Iwa untuk cita-cita Gajah Mada menyatukan Nusantara. NKRI berhutang besar pada Kebo Iwa yang rela melepas kekebalan tubuhnya.
Menjadi kebal ternyata tidak cuma sekedar alat, tapi juga tujuan. Seorang dukun penyedia gegemet menjejali bermacam benda kepada seorang puteranya sejak kanak-kanak. “Agar dia kelak jadi orang sakti, tak sanggup dilukai, apalagi dibinasakan,” alasan dukun itu. Si anak memang digjaya, kebal, tersohor sebagai preman. Dia dikenal sebagai pimpinan gangster yang suka memalak pedagang di pasar-pasar.
Dukun itu dengan sadar telah keliru mengartikan makna gegemet, yang sesungguhnya tidak semata berarti benda-benda. Gegemet juga bermakna nasehat, ilmu, pendidikan, yang bisa dijadikan pegangan seseorang untuk menjadi manusia pintar dan arif bijaksana, agar mereka tumbuh menjadi manusia-manusia kebal dari bujuk rayu melakukan tindakan tercela.
Sepanjang zaman orang-orang meyakini menjadi manusia kebal itu penting, sehingga mereka harus diimunisasi agar terbebas dari ancaman pandemi. Konon, tidak mudah melakukan vaksinasi bagi orang-orang kebal yang berbekal gegemet. Bisa-bisa jarum suntik patah atau tertekuk ketika dilesakkan ke lengan. Agar orang-orang kebal bisa disuntik, mereka harus melepas gegemet dari tubuhnya. Ini juga pertanda, agar orang-orang yang menolak diimunisasi sudi divaksin, mereka harus membuang semua kebimbangan tentang khasiat vaksin. *
Aryantha Soethama
Pengarang
1
Komentar