Tanpa Penonton, Seni Jadi Hambar
Dilema Pertunjukan Seni Virtual
DENPASAR, NusaBali
Masa pandemi Covid-19 sejak Februari 2020, menjadi tantangan berat bagi banyak profesi, terutama seniman.
Para seniman, tak terkecuali di Kota Denpasar, merasa terpuruk karena tanpa ada pementasan langsung. Karena wajib ikut mencegah merumunan, seniman hanya bisa berkarya melalui proses digitalisasi atau menggunakan teknologi virtual. Salah satu dampak yang tak lazim yakni tak ada ‘dialog’ langsung dengan penonton. Akibatnya, seniman virtual tidak bisa mengembangkan ide-ide segar yang didapat secara spontan di arena pentas.
Hampir untuk semua pentas seni. Terutama seniman yang kental dengan pemainan olah rasa, seperti pewayangan, bondres, arja, topeng dan seniman lainnya. Mereka nyaris tidak bisa mengembangkan lawakan karena tidak ada timbal balik dari penonton. Penonton bagi mereka merupakan satu hal paling penting dalam mengolah wirama kata, wiraga, dan wirasa di atas panggung. Karena amat sering, respon penonton sebagai audiens dalam pementasan, menjadi ide bahan lawakan baru agar mampu menghibur mereka. Berbeda halnya dengan virtual, mereka hanya pentas tanpa ada penonton yang merespon lawakan. Akibatnya, seniman olah rasa hanya mampu menampilkan pakem mereka saja. Seniman amat sulit mengembangkan ide di atas panggung untuk mencari respon penonton. Kondisi tersebut menjadi hal sangat tidak bagus bagi perkembangan seni olah rasa.
Salah seorang seniman sekaligus Ketua Sanggar Genta Wisesa, Agung Wisnawa saat dihubungi, Sabtu (16/1), mengakui hal itu. "Kami sebenarnya tidak setuju jika seni olah rasa itu dikembangkan dengan menggunakan virtual tanpa penonton,’’ ujarnya.
Seperti akhir-akhir ini, jelas dia, pandemi Covid-19 ini membuat semua acara yang menimbulkan kerumunan dilarang. ‘’Tetapi pementasan virtual bagi kami seniman olah rasa sangat tidak baik dalam perkembangan seni kedepan," ungkap salah
Menurut Wisnawa, dia dan sanggarnya pernah pentas melalui virtual. Namun pengembangan ide untuk penonton agar mampu menghibur, tidak ada. Sebab, dalam virtual, hanya bisa melihat kamera tanpa ada respon audiens. Hal itu membuat tampilan bagi seni olah rasa mati. Pementasan virtual, bagi dia, tidak cocok digunakan untuk seni olah rasa.
Pementasan secara virtual hanya bisa digunakan untuk pementasan yang menggunakan latar musik dan pakem pasti atau tidak bisa diganggugugat. Kalau virtual cocoknya itu tari Rejang, dan tarian lainnya yang memang pakemnya sudah tidak bisa diubah. Kalau pentas yang membutuhkan respon langsung penonton, jelas tidak bisa. ‘’Pementasan kami membutuhkan audiens dan respon penonton yang nantinya bisa kita jadikan bahan lawakan. Kalau tanpa penonton ya lurus-lurus saja penonton di rumah belum tentu tertawa," jelasnya.
Oleh karena itu, jika harus pentas secara virtual, setidaknya tetap harus ada penonton, meski dalam jumlah terbatas dalam ruang pentas. Jika ada penonton, maka lawakan akan jadi menarik. Dan, seni olah rasa juga tidak bisa diatur dengan waktu seperti pementasan virtual yang selama ini dilakukan. Jika ke depan terus diterapkan pentas virtual, maka dia memastikan tidak akan ikut terlibat.
Dia mengakui, seniman olah rasa selama ini mau menerima tawaran pementasan virtual di masa pandemi Covid-19. Karena kondisi ini mengharuskan seniman mencari bayaran pementasan demi untuk mengisi perut. "Kami terpaksa virtual karena demi isi perut di tengah pandemi Covid-19 ini. Jika dari hati nurani seorang seniman olah rasa, kami tidak nyaman pentas tanpa penonton," ujarnya. *mis
1
Komentar