Seimbangkan Alam dengan Ritual Ngadeblag
Warga Desa Pakraman Kemenuh, Desa Kemenuh Kecamatan Sukawati, Gianyar, menggelar tradisi ritual Ngadeblag, Buda Kliwon Matal, Rabu (16/11) siang
GIANYAR, NusaBali
Bentuknya, hampir ribuan krama membawa kulkul (kentongan) dan sarana lainnya, dibunyikan hingga riuh di jalan raya desa setempat.
Ritual diawali dari Pura Dalem Kemenuh, lanjut mengelilingi wilayah desa hingga menjadi perhatian para warga dan para wisatawan yang melintas di jalan desa setempat. Krama yang terlibat mulai dari anak-anak dan dewasa. Masing-masing ada yang membawa pelepah dauh enau, kulkul dan beberapa alat yang bisa menimbulkan suara keras. Suara-suara itu simbol dari nyanyian untuk para roh jahat atau bhuta kala. Krama merias diri agar terlihat seram, identik wong samara. Karena ada keyakinan, para wong samar dan krama berbaur pada ritual itu. Krama dari 475 KK itu beriringan mengelilingi desa sekitar 3 kilometer, diawali di Pura Dalem dan berakhir juga di Pura Dalem. Krama berjalan mengelilingi desa sambil mengusung air suci, serta mengiringi Sasuhunan Ratu Sakti Barong Landung Lanang-Istri dan Rangda. Setiap melewati ujung desa Ida Batara Sasuhunan katuran upacara.
Bendesa Pakraman Kemenuh Ida Bagus Rai Artha menjelaskan, Ngadebag dari asal kata ‘ngeblag’ yang artinya membuka lembaran baru. Ngadeblag dilaksanakan pada sasih kalima, sasih kaenem, dan kapitu, atau sebelum menyambut Tahun Baru Saka. Ritual ini dilaksanakan secara turun-temurun untuk menyeimbangkan buwana agung (alam semesta) dan buwana alit (diri manusia). Selain itu, untuk menjaga kerukunan krama. Desa Pakaraman Kemenuh terdiri dari tiga banjar yakni Banjar Kemenuh, Kemenuh Kangin dan Kemenuh Kelod. Ritual ini diawali ngaturang banten Pejati di Pura Dalem, lanjut di pekarangan masing-masing krama menghaturkan Segehan. “Krama diwajibkan untuk mengikuti tradisi Ngadeblag, namun tidak ada paksaan,” jelas Bendesa Bagus Rai.
Beberapa wisatawan asing juga ikut membawa kulkul dan mengikuti setiap prosesinya dan mereka terlihat antusias. cr62
Bentuknya, hampir ribuan krama membawa kulkul (kentongan) dan sarana lainnya, dibunyikan hingga riuh di jalan raya desa setempat.
Ritual diawali dari Pura Dalem Kemenuh, lanjut mengelilingi wilayah desa hingga menjadi perhatian para warga dan para wisatawan yang melintas di jalan desa setempat. Krama yang terlibat mulai dari anak-anak dan dewasa. Masing-masing ada yang membawa pelepah dauh enau, kulkul dan beberapa alat yang bisa menimbulkan suara keras. Suara-suara itu simbol dari nyanyian untuk para roh jahat atau bhuta kala. Krama merias diri agar terlihat seram, identik wong samara. Karena ada keyakinan, para wong samar dan krama berbaur pada ritual itu. Krama dari 475 KK itu beriringan mengelilingi desa sekitar 3 kilometer, diawali di Pura Dalem dan berakhir juga di Pura Dalem. Krama berjalan mengelilingi desa sambil mengusung air suci, serta mengiringi Sasuhunan Ratu Sakti Barong Landung Lanang-Istri dan Rangda. Setiap melewati ujung desa Ida Batara Sasuhunan katuran upacara.
Bendesa Pakraman Kemenuh Ida Bagus Rai Artha menjelaskan, Ngadebag dari asal kata ‘ngeblag’ yang artinya membuka lembaran baru. Ngadeblag dilaksanakan pada sasih kalima, sasih kaenem, dan kapitu, atau sebelum menyambut Tahun Baru Saka. Ritual ini dilaksanakan secara turun-temurun untuk menyeimbangkan buwana agung (alam semesta) dan buwana alit (diri manusia). Selain itu, untuk menjaga kerukunan krama. Desa Pakaraman Kemenuh terdiri dari tiga banjar yakni Banjar Kemenuh, Kemenuh Kangin dan Kemenuh Kelod. Ritual ini diawali ngaturang banten Pejati di Pura Dalem, lanjut di pekarangan masing-masing krama menghaturkan Segehan. “Krama diwajibkan untuk mengikuti tradisi Ngadeblag, namun tidak ada paksaan,” jelas Bendesa Bagus Rai.
Beberapa wisatawan asing juga ikut membawa kulkul dan mengikuti setiap prosesinya dan mereka terlihat antusias. cr62
1
Komentar