Murid, Guru, dan Saraswati
Siapa ada lebih dulu, murid atau guru? Tentu ada yang berpendapat, “Ya murid lah. Kalau tidak ada murid, memangnya buat apa ada guru? Mau mengajar siapa?”
Mereka berpendapat semua orang itu murid, karena awalnya semua orang ada dalam kegelapan pengetahuan. Semula, umat manusia itu semua bodoh. Lalu muncul beberapa orang cerdas, menularkan yang mereka pahami. Jadilah mereka guru, menyulap mahluk dungu jadi brilian.
Pendapat sederhana ini mempertegas, bahwa guru itu sosok istimewa, karena sejatinya tak semua orang pantas jadi guru. Menjadi guru itu mulia, luhur. Kaum pendidik ini, bisa hadir di segala zaman dan pergolakan. Itu sebabnya Ki Hajar Dewantara menyebut para guru ini sebagai sosok yang bisa berada di belakang, di tengah, dan di depan. Hanya manusia-manusia hebat yang bisa berperan di tiga pembagian peradaban itu.
Tapi, tunggu dulu, ada yang ngotot, paling awal ada itu adalah guru. Mereka berteori, memang semua orang adalah murid, karena mereka sama bodoh untuk menuntut ilmu. Tapi sesungguhnya setiap orang adalah juga guru. Siapa pun dianugerahi bakat dan kemampuan, sehingga ia pun sanggup menjadi guru, mengajar dan mendidik orang lain. Bisa saja ia buta huruf, namun banyak orang bertanya dan berguru padanya. Dulu, di Bali banyak maestro seni rupa atau seni pertunjukan buta huruf, tapi banyak orang pintar dari mancanegara berguru pada mereka.
Yang yakin guru lebih dulu ada berpendapat, alam ini adalah guru, tempat siapapun belajar. Jadi, guru itu tidak harus manusia. Batu, bukit, pohon, danau, awan, hujan, bulan, bintang-bintang, desau angin, adalah guru. Manusia belajar pertama-tama pada lingkungan, pada alam. Bukankah alam lebih dulu ada dibanding manusia? Itu pertanda guru lebih awal ada, murid kemudian.
Sebelum alam menjadi guru, bukankah alam juga murid? Murid siapakah alam itu? Siapakah gurunya alam? Dua kelompok yang berbeda pendapat ini bisa jadi menuju satu titik kesepakatan, bahwa murid dan guru itu hadir bersamaan. Mereka diciptakan untuk bersama-sama. Begitu ada murid, dengan sendirinya ada guru. Begitu ada guru, segera saja hadir murid.
Rumah kaum brahmana (griya) ketika memiliki pendeta, juga dengan sendirinya memiliki murid. Pendeta itu disebut guru, karena dia mengajarkan banyak hal kepada murid-muridnya yang disebut sisya (siswa). Banyak yang percaya, hubungan pendeta dengan sisyanya adalah hubungan guru-murid yang bersahaja dan saling menghargai. Sang pendeta memiliki banyak sisya dari desa-desa sekitar. Ketika sisya-sisya itu menyebar ke kota-kota lain, hubungan guru-murid ini tetap terjaga, sehingga jika sisya menyelenggarakan upacara keagamaan, sang guru, pendeta, ini jualah yang muput menyelesaikan upacara itu. Para sisya tersebar ini sering menyebut diri mereka sebagai saudara seperguruan. Mirip saudara seperguruan kungfu di kuil-kuil di Tiongkok sana.
Namun selalu saja hadir orang-orang yang menelisik dan terus menerus mempertanyakan mana lebih dulu ada guru atau murid? Agar mereka ini tidak cerewet, mereka kemudian diyakinkan, Tuhan itu adalah Guru. Bukankah Tuhan pertama kali ada? Itu pertanda gurulah yang pertama hadir, bukan murid. Manifestasi Hyang Widhi pun dikenal sebagai Bhatara Guru. Mana ada Bhatara Murid?
Ilmu pengetahuan pun, di hari Saraswati, diturunkan oleh pancaran sinar Hyang Widhi menjadi seorang Dewi yang elok dan gemulai sebagai sumber keindahan. Kita mengenalnya juga sebagai Sanghyang Aji Saraswati. Orang-orang bangsawan di Bali akan dipanggil Aji ketika mereka sudah berkeluarga, menjadi ayah, memimpin keluarga. Jika mereka semakin uzur, akan kian berwibawa dan bijaksana, maka panggilan Aji akan semakin melekat dan nyata. Tak ada bujangan bangsawan dipanggil Aji.
Sebutan Aji sama dengan panggilan Guru bagi lelaki Bali bukan bangsawan, golongan rakyat biasa, yang sudah tua, berilmu, dan dikenal arif bijaksana. Panggilan Guru bagi seseorang adalah panggilan buat mereka yang berwibawa. Lingkungan sangat menghormatinya, dan dia menjadi sumber rujukan untuk bermacam persoalan, mulai cara bercocok tanam, mengajari dan mendidik anak, sampai menjadi tempat curhat ketika seseorang menghadapi konflik keluarga. Tak ada anak muda belum berumah tangga mendapat panggilan Guru di tengah komunitasnya.
Yang paling berbahagia orang Bali yang lahir persis di Hari Saraswati. Mereka dinilai kelak pasti menjadi anak pintar, karena lahir bersamaan dengan turunnya ilmu pengetahuan ke bumi. Orang Bali yang otonan di hari Saraswati lebih moncer tinimbang yang lahir di hari Galungan sekali pun. Jika ia perempuan, lengkaplah sekalian ia bernama Saraswati. Kalau ia laki-laki? Wah, belum ada yang bernama Saraswata. Apakah ia akan benar-benar jadi anak pintar atau biasa-biasa saja, itu urusan lain.
Hingga kini Bali belum punya catatan, apakah yang lahir di hari Saraswati memang kebanyakan tumbuh cerdas atau lebih banyak yang biasa-biasa saja, atau banyak yang asal-asalan, malah ugal-ugalan. Ilmu perbintangan tentu bisa menjelaskan. Tapi, perlu riset, karena banyak hal bisa berpengaruh. *
Aryantha Soethama
1
Komentar