Menjadikan Rumah sebagai Sekolah di Masa Pandemi Covid-19
Wabah Pandemi Covid-19 yang melanda dunia, telah menghentak kesadaran kita tentang banyak hal yang selama ini telah berjalan secara mapan. Hampir seluruh sendi kehidupan nyaris lumpuh akibat terkena imbas dari Covid-19 ini. Mulai dari ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, kesehatan, hingga ke pendidikan.
Penulis : Dra. Ni Made Taman
Guru SDN 1 Sibetan, Karangasem
Dari segi pendidikan, semua proses pembelajaran di kelas yang selama ini kita kenal, hampir bisa dipastikan lumpuh karena adanya wabah virus ini. Proses belajar mengajar yang selama ini berlangsung secara konvensional di dalam kelas, tiba-tiba saja harus dihentikan demi melindungi kesehatan dan keselamatan para guru dan peserta didik dari wabah Covid-19.
Ketika proses belajar mengajar secara konvensional itu dihentikan, tiba-tiba saja kita jadi tergagap. Meskipun hanya sesaat, kita sempat kehilangan kesadaran dan kata-kata, menyikapi kondisi yang terjadi diluar dugaan ini. Adanya kebijakan pembatasan sosial (social distancing), bekerja dari rumah (work from home), dan belajar dari rumah (learn from home) turut pula menambah pusing kita yang sudah mapan dan terbiasa bekerja dan belajar secara konvensional.
Namun ketika kebijakan pembatasan ini berjalan sekian hari, tiba-tiba saja kita menemukan efek “aha erlebnis”, yaitu suatu kondisi dimana tiba-tiba kita menemukan pencerahan ditengah kebuntuan berpikir. Sesuatu yang tidak pernah (mungkin) terlintas di dalam pikiran kita, tiba-tiba saja terlintas. Sesuatu yang dulu tidak mungkin kita lakukan, sekarang sangat mungkin untuk dilakukan. Sebagai contoh, belajar dan bekerja secara daring yang dulu begitu ditakuti dan sebagian di antara kita merasa phobia dengan metode ini, tiba-tiba saja dipaksa menjadi sangat familiar dan bersahabat dengan teknologi ini.
Implikasinya, para siswa nampak bersemangat dan tetap dapat belajar serta mengerjakan pekerjaan rumah dengan kreatifitas mereka yang begitu unik. Rapat-rapat secara daring juga banyak digelar oleh berbagai instansi, demi mengejar pelayanan yang terbaik di tengah masyarakat. Para pegawai tetap dapat membuat, mengirimkan, dan menerima hasil pekerjaan dari rumah secara cepat (disaat sebagian pegawai dulu merasa skeptis dengan rencana MenPAN RB yang akan menerapkan program bekerja dari rumah), serta para ibu rumah tangga tetap dapat berbelanja dengan bermodalkan aplikasi belanja dari telepon pintar.
Bagi dunia pendidikan, kebijakan belajar dari rumah di masa pandemi Covid-19 ini, sebenarnya menawarkan peluang bagi pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk kembali ke khittah pendidikan, yaitu kembali ke gagasan pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa rumah atau orang tua adalah guru pertama dan utama anak. Sekolah hanya berperan sebagai mitra, bukan pengganti orang tua dalam mendidik anak.
Untuk itu, pendidikan yang diselenggarakan oleh sekolah, sudah seharusnya menempatkan penghormatan pada anak sebagai manusia, bukan sebagai mesin penghafal semata, dimana keberhasilan mereka acapkali dinilai dari selembar ijazah, piala, atau angka-angka di dalam buku rapor mereka. Sedangkan pendidikan bagi orangtua adalah menjadikan rumah dan keluarga sebagai support system dalam menemukan dan mengembangkan potensi belajar anak.
Sekiranya gagasan Bapak Pendidikan Nasional ini mampu kita laksanakan, maka seyogyanya pada masa social distancing seperti sekarang ini, proses belajar anak tidak akan menimbulkan permasalahan. Mengapa? Karena sesungguhnya anak itu mampu belajar mandiri, karena setiap orang adalah guru dan alam raya adalah sekolah. Pandemi Covid-19 telah berhasil menjadikan kita untuk “kembali” kepada keluarga.
Lalu bagaimana agar di masa pandemi ini kerjasama orangtua dan sekolah terjalin dengan efektif? Ada beberapa peran yang orangtua dapat lakukan saat adaptasi pandemi. Meminjam teori jenis-jenis penyertaan orang tua oleh Epstein (2009) maka setidaknya ada tiga jenis peran yang dapat dimaksimalkan: parenting, communicating, dan learning at home. Sementara volunteering, decision making, dan collaborating with the community mendapat porsi yang lebih kecil di era adaptasi pandemi.
1. Pola asuh parenting atau pola asuh adalah cara mendidik dan mengasuh anak (Epstein, 2009). Ada beberapa hal yang dapat dilakukan agar putra-putrinya tetap mendapat level parenting yang terbaik, meski di era adaptasi pandemi. Pertama, orangtua harus memastikan putra-putrinya dalam keadaan sehat dan mendapatkan nutrisi yang cukup, sehingga mereka dapat belajar dan berkonsentrasi dalam melakukan kegiatan pembelajaran online. Kedua, orangtua harus menjadi pengawas penggunaan gawai secara bijaksana. Orangtua dan anak harus membuat kesepakatan kapan menggunakan gawai untuk belajar, dan kapan saatnya anak untuk tidak menggunakan. Ketiga, adalah membatasi intensitas keluar rumah bagi anak. Ketika tidak ada keperluan yang benar-benar mendesak, maka sebaiknya benar-benar dihindari untuk keluar rumah. Agar anak tidak stres karena tidak pernah bertemu teman sekolah, serta banyaknya tugas dan PR yang harus mereka kerjakan, maka orang ua sekali-kali harus dapat membawa anak untuk bermain dan berekreasi bersama. Bermain tidak harus mahal dapat dilakukan di rumah, misalnya bermain halma, ular tangga, atau domino. Dapat pula dilakukan di luar rumah seperti memancing, atau jalan-jalan di pinggiran sungai atau sawah yang intensitas kerumunan sangat sedikit.
2. Pendampingan belajar terkait kegiatan di mana orangtua mendampingi anak dalam belajar di rumah, ada beberapa hal dapat dilakukan orangtua: Pertama, tidak dapat dipungkiri bahwa masa belajar dari rumah (BDR) orangtua harus dapat meng-upgrade diri baik urusan pelajaran putra-putrinya maupun urusan teknologi BDR. Kedua, orangtua dapat menjadi motivator agar anak dapat mengikuti pembelajaran daring dengan semangat. Orangtua (ayah-ibu) memang harus mampu bekerja sama dengan baik. Tidak boleh hanya ibu saja yang berperan, namun suami sebagai ayah harus turun tangan secara aktif mendampingi anak dalam belajar. Ketika Ayah dan ibu bersatu memberikan semangat pada putra-putrinya, mereka akan bangkit dan bersemangat kembali. Ketiga, sering sekali orangtua merasa kewalahan dalam membantu pembelajaran anak di rumah. Jika memungkinkan, opsi memanggil tutor ke rumah adalah pilihan yang patut dipertimbangkan. Selain untuk menjaga agar pendidikan dan pengetahuan anak tetap terjaga, tutor dapat juga membantu anak agar mempunyai teman untuk sharing tentang permasalahan tugas dan pembelajaran online. Namun, tentu langkah ini tidak dapat dilakukan oleh semua keluarga, mengingat tutor membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jika tutor dirasa mahal, maka orangtua dapat memberi opsi pembelajaran melalui TVRI dan RRI yang selama masa pandemi memberikan layanan pembelajaran yang luar biasa. Sumber belajar ini tidak melulu dari internet. Saat ini, perpustakaan telah menjangkau bahkan sampai ke desa-desa. Sesekali orangtua harus mengajak anak untuk berkunjung ke perpustakaan daerah baik di tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Jika terkedala jarak, orangtua dapat mendorong untuk dapat meminjam buku di perpustakaan nasional (aplikasi Ipusnas) yang dapat meminjam e-book secara gratis, dan dapat dibaca ketika offline. Masa pandemi ini memang menuntut kreativitas orang tua, hingga menuntut sampai usaha pada titik yang paling tinggi.
3. Komunikasi Langkah yang orang tua dapat lakukan dalam komunikasi adalah orangtua harus proaktif dalam menghubungi guru. Ketika guru belum membentuk paguyuban, orang tua harus mencari tahu nomor HP wali kelas, karena wali kelas adalah perwakilan sekolah yang paling mudah untuk dihubungi terkait pembelajaran daring. Orang tua harus sesering mungkin bertanya atau berbagi informasi tentang perkembangan anak selama BDR. Selanjutnya, jika memungkinkan orang tua dapat pula menjalin kontak dengan sesama orangtua lainnya. Jika perlu mengadakan pertemuan lewat zoom dengan teman-teman sekolah. Karena bertemu dengan teman meskipun secara online, dapat meningkatkan semangat siswa yang mungkin sempat menurun. Jika dirasa aman, dapat juga dilakukan kunjungan ke rumah agar silatirahmi dan sosialisasi anak tetap terjaga. Orangtua dan anak dapat sesekali ke sekolah untuk bertemu dengan guru, atau sekadar untuk berkunjung ke perpustakaan sekolah. Karena, di hampir setiap sekolah, guru akan berotasi untuk piket, sehingga akan ada perwakilan tenaga pendidik di sekolah.
Lalu, bagaima jika orangtua dua-duanya bekerja di luar rumah? Dalam kasus ini, maka kita harus kembali pada budaya kita yakni gotong royong. Dalam masa pandemi kita harus mampu memperoleh dukungan dari semua elemen. Kita bisa meminta tolong kakek, nenek, kakak, paman, tante, asisten rumah tangga, atau bahkan tetangga untuk mengawasi kegiatan anak selama orangtua bekerja di luar rumah. Akan tetapi, tidak harus terus menerus dititipkan pada orang yang sama. Mungkin bisa bergantian antara kakek/nenek, paman/bibi, kakak, atau tetangga. Tentu pola komunikasi yang baik dan santun harus dijaga agar kita dapat memperoleh bantuan dari orang-orang terdekat kita.
Dari hasil survei yang dilakukan Kemendikbud, orangtua dan siswa menginginkan untuk kembali bersekolah. Bahkan Mendikbud telah memberikan lampu hijau dan memberikan keleluasaan bagi daerah berstatus hijau dan kuning untuk membuka sekolah. Tentu kebijakan ini dikembalikan pada persetujuan pemerintah daerah dan orangtua. Benar pendidikan adalah penting, namun sekolah juga wajib memberikan hak pada setiap warganya untuk tetap sehat.
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar