Merasa Kurang Tantangan, Mundur Jadi PNS Polda Nusra
Dewa Ayu Putu Rai sempat jadi PNS di Bagian Dikmas Lantas Polda Bali (dulu Polda Nusra) mulai 1982, namun tahun 1985 mengundurkan diri. Dia merasa tidak cocok kerja kantoran.
Balada Dewa Ayu Putu ‘Sukerti’ Rai, Mantan Pemeran Tuan Putri Drama Gong Paling Top Era 1980-an
SAAT kesenian drama gong mengalami kejayaan (era 1978 – 1990-an), masyarakat Bali umumnya sulit membayangkan kesenian ini akan meredup, apalagi mati seperti sekarang. Karena era itu, wilayah Bali, terutama di desa–desa relatif masih langka hiburan.
Namun pemeran putri manis paling ngetop pada seni drama gong, Dewa Ayu Putu Rai, 56, sejak tahun 1992 telah memprediksi cepat atau lambat, seni pertunjukan drama gong akan mati karena ditinggal penonton. Prediksinya itu terbukti, bahwa kesenian Bali ini pun mati, seperti terasa sekarang. “Prediksi saya itu, juga karena seni drama gong ini cenderung monoton. Baik adegan-adegan hingga pembabakan dalam ceritanya, ya…membosankan,” jelasnya saat ditemui NusaBali di rumahnya, Banjar Telabah, Desa Batubulan, Sukawati, Gianyar, Minggu (6/11).
Pemain drama yang terkenal dengan peran Sukerti ini menjelaskan, tanda-tanda lain drama gong akan mati juga karena semangat drama gong untuk menghibur tanpa mengabaikan filsafat hidup, bergeser dengan mengumbar lelucon atau lawakan. Akibatnya, seperti sekarang terlihat, banyak pemain drama gong lari ke pentas lawak. Kondisi ini disandera oleh kemajuan teknologi informasi yang makin pesat. Dengan berbekal gadget, masyarakat bisa mendapatkan pelbagai informasi termasuk pelbagai jenis hiburan.
Kemonotonan itu menjadikan dirinya juga terpaksa mundur dari kancah drama gong pada 1992. Padahal, saat itu kehadiran Sukerti masih sangat ditunggu-tunggu di panggung baik oleh sesama pemain drama maupun penonton. “Kebetulan saya harus istirahat kurangi begadang karena main drama, lantaran hamil lima bulan untuk anak ketiga,” jelas istri pelukis realis asal Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, I Wayan Lotra, 74, ini.
Saat mundur dari drama gong, Dewa Ayu Rai mengaku, dirinya masih ingin berakting. Namun syaratnya, antara lain, tidak lagi pentas drama gong malam hari, melainkan drama serial mirip serial ‘Jodha Akbar’ di televisi atau film lainnya. Dengan serial ini, pentas untuk syuting tidak melulu seperti drama gong konvensional, pada malam hingga pagi hari. Dengan pola itu, pemain drama tak terlalu letih hingga banyak yang sakit-sakitan karena tiap hari begadang.
Alasan lain, lanjut ‘Sukerti’, drama gong jadi mati karena masyarakat sekarang tak sanggup begadang hingga pagi. Karena masyarakat sekarang kebanyakan sibuk bekerja dengan pemanfaatan waktu yang ketat. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat Bali tempo dulu yang jarang menemukan hiburan.
‘Sukerti’ mengakui, terlepas dari kelelahan karena sering begadang, pilihan mundur dari drama gong merupakan bagian dari sikap hidupnya yang cenderung tegas. Padahal saat mundur itu, dirinya masih sebagai pemain drama gong dengan honor tertinggi. ”Sekitar tahun 1990-an itu, saya sekali main terima honor Rp 25.000. Harga semen satu sak saat itu Rp 1.000, berarti saya dapat 25 sak semen tiap hari. Jika sekarang sekitar Rp 1,5 juta, nilai yang tak kecil untuk ukuran artis Bali. Saya pentas 30 kali, bahkan pernah 40 kali sebulan.”
Tak hanya itu, dia juga sempat jadi PNS di Bagian Dikmas Lantas Polda Bali mulai tahun 1982, namun tahun 1985 mengundurkan diri. Bukan karena dirinya sudah fasih main drama gong, tapi perempuan beraksen suara kental ini merasa kurang cocok menjadi PNS. “Saya tidak bisa kerja kantoran. Mungkin karena merasa kurang ada tantangan hingga cenderung membosankan,” ujarnya.
Ia mengaku sebelum jadi PNS sempat jadi pegawai honorer di Polda Nusra (kini Polda Bali). Pekerjaan itu berkat permintaan kerabat yang polisi untuk membantu Bidang Lantas Polda menyosialisasikan kegiatan kepolisian di masyarakat. Karena sebelumnya, Dewa Ayu Rai juga pemain sandiwara radio di Denpasar, dan pemain drama sebunan (seniman tingkat banjar) Drama Gong Dwitunggal Ubung, gabungan pemain drama Banjar Tengah dan Banjar Ubung Sari, Ubung, Denpasar. “Apapun adanya, saya harus jalani hidup ini. Saya lahir dari minus, saya jalani hingga temukan ketenaran. Tapi akhirnya, saya harus kembali jadi orang biasa. Saya sangat syukuri, Ida Sanghyang Widhi telah memberikan kehidupan, terutama kesehatan buat saya, keluarga, dan orang-orang yang terapi,” tuturnya. * lsa
SAAT kesenian drama gong mengalami kejayaan (era 1978 – 1990-an), masyarakat Bali umumnya sulit membayangkan kesenian ini akan meredup, apalagi mati seperti sekarang. Karena era itu, wilayah Bali, terutama di desa–desa relatif masih langka hiburan.
Namun pemeran putri manis paling ngetop pada seni drama gong, Dewa Ayu Putu Rai, 56, sejak tahun 1992 telah memprediksi cepat atau lambat, seni pertunjukan drama gong akan mati karena ditinggal penonton. Prediksinya itu terbukti, bahwa kesenian Bali ini pun mati, seperti terasa sekarang. “Prediksi saya itu, juga karena seni drama gong ini cenderung monoton. Baik adegan-adegan hingga pembabakan dalam ceritanya, ya…membosankan,” jelasnya saat ditemui NusaBali di rumahnya, Banjar Telabah, Desa Batubulan, Sukawati, Gianyar, Minggu (6/11).
Pemain drama yang terkenal dengan peran Sukerti ini menjelaskan, tanda-tanda lain drama gong akan mati juga karena semangat drama gong untuk menghibur tanpa mengabaikan filsafat hidup, bergeser dengan mengumbar lelucon atau lawakan. Akibatnya, seperti sekarang terlihat, banyak pemain drama gong lari ke pentas lawak. Kondisi ini disandera oleh kemajuan teknologi informasi yang makin pesat. Dengan berbekal gadget, masyarakat bisa mendapatkan pelbagai informasi termasuk pelbagai jenis hiburan.
Kemonotonan itu menjadikan dirinya juga terpaksa mundur dari kancah drama gong pada 1992. Padahal, saat itu kehadiran Sukerti masih sangat ditunggu-tunggu di panggung baik oleh sesama pemain drama maupun penonton. “Kebetulan saya harus istirahat kurangi begadang karena main drama, lantaran hamil lima bulan untuk anak ketiga,” jelas istri pelukis realis asal Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, I Wayan Lotra, 74, ini.
Saat mundur dari drama gong, Dewa Ayu Rai mengaku, dirinya masih ingin berakting. Namun syaratnya, antara lain, tidak lagi pentas drama gong malam hari, melainkan drama serial mirip serial ‘Jodha Akbar’ di televisi atau film lainnya. Dengan serial ini, pentas untuk syuting tidak melulu seperti drama gong konvensional, pada malam hingga pagi hari. Dengan pola itu, pemain drama tak terlalu letih hingga banyak yang sakit-sakitan karena tiap hari begadang.
Alasan lain, lanjut ‘Sukerti’, drama gong jadi mati karena masyarakat sekarang tak sanggup begadang hingga pagi. Karena masyarakat sekarang kebanyakan sibuk bekerja dengan pemanfaatan waktu yang ketat. Kondisi ini berbeda dengan masyarakat Bali tempo dulu yang jarang menemukan hiburan.
‘Sukerti’ mengakui, terlepas dari kelelahan karena sering begadang, pilihan mundur dari drama gong merupakan bagian dari sikap hidupnya yang cenderung tegas. Padahal saat mundur itu, dirinya masih sebagai pemain drama gong dengan honor tertinggi. ”Sekitar tahun 1990-an itu, saya sekali main terima honor Rp 25.000. Harga semen satu sak saat itu Rp 1.000, berarti saya dapat 25 sak semen tiap hari. Jika sekarang sekitar Rp 1,5 juta, nilai yang tak kecil untuk ukuran artis Bali. Saya pentas 30 kali, bahkan pernah 40 kali sebulan.”
Tak hanya itu, dia juga sempat jadi PNS di Bagian Dikmas Lantas Polda Bali mulai tahun 1982, namun tahun 1985 mengundurkan diri. Bukan karena dirinya sudah fasih main drama gong, tapi perempuan beraksen suara kental ini merasa kurang cocok menjadi PNS. “Saya tidak bisa kerja kantoran. Mungkin karena merasa kurang ada tantangan hingga cenderung membosankan,” ujarnya.
Ia mengaku sebelum jadi PNS sempat jadi pegawai honorer di Polda Nusra (kini Polda Bali). Pekerjaan itu berkat permintaan kerabat yang polisi untuk membantu Bidang Lantas Polda menyosialisasikan kegiatan kepolisian di masyarakat. Karena sebelumnya, Dewa Ayu Rai juga pemain sandiwara radio di Denpasar, dan pemain drama sebunan (seniman tingkat banjar) Drama Gong Dwitunggal Ubung, gabungan pemain drama Banjar Tengah dan Banjar Ubung Sari, Ubung, Denpasar. “Apapun adanya, saya harus jalani hidup ini. Saya lahir dari minus, saya jalani hingga temukan ketenaran. Tapi akhirnya, saya harus kembali jadi orang biasa. Saya sangat syukuri, Ida Sanghyang Widhi telah memberikan kehidupan, terutama kesehatan buat saya, keluarga, dan orang-orang yang terapi,” tuturnya. * lsa
Komentar