Babi Sumbang Inflasi Bali
Populasi menyusut drastis membuat harga babi di Bali terdongkrak naik
DENPASAR,NusaBali
Populasi babi yang menyusut drastis akibat penyakit African Swine Fever (ASF) atau Flu Afrika tahun lalu, memberi imbas pada perekonomian Bali. Penurunan populasi tersebut menyebabkan harga daging babi naik, sehingga ikut menyumbang inflasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Januari, Denpasar mengalami inflasi 0,77 persen dan Singaraja mengalami inflasi 0,94 persen.
Pengamat ekonomi dari Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali M Setyawan Santoso atau M San menyatakan penyebab utama inflasi pada bulan Januari adalah kelompok volatile foods yakni kelompok makanan.
Di dalam kelompok volatile foods, adalah dari kelompok-kelompok hortikultura. Ada cabe, bawang, dan lainnya. Terus bagian yang kedua adalah daging, termasuk daging babi.
Untuk hortikultura, peningkatan harga terjadi karena periode sekarang ini merupakan periode tanam. Karena merupakan periode tanam, berarti produk-produk yang ada di dalam pasar bukan dipanen sekarang.
”Tetapi yang dipanen pada Desember lalu, sehingga tinggal sedikit,” jelas M San. Yang ditanam pada 3 bulan lalu juga sedikit. Karena kebetulan adanya Covid-19, sehingga daya beli lemah.
Jadi lanjut M San, keuntungan petani menipis. Merekapun menanamnya sedikit. Sehingga produk yang dipanen bulan Desember sedikit juga.
Di bulan Januari sama, juga sedikit. Pada saat yang sama pada Januari terjadi kenaikkan permintaan faktor liburan. Karena persediaan sedikit, permintaan naik maka terjadi kenaikkan harga hortikultura.
Sedang terkait kenaikan harga daging babi, dijelaskan M San akibat berkurangnya jumlah babi, dampak dari virus (ASF). “Dulu kan pernah ada virus (ASF) yang menyebabkan banyak babi mati,” jelasnya. Hal itulah menyebabkan jumlah babi berkurang. Namun M San memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan mulai Februari- Maret, harga daging babi kembali akan normal.
Terpisah Kabid Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Anak Agung Inten Wiradewi SPt, Msi menyatakan restocking babi memerlukan waktu setahun.
“Kami telah melakukan upaya-upaya KIE(komunikasi, informasi dan edukasi) kepada peternak,” ujarnya.
KIE tersebut dikatakan Gung Inten, menyangkut budidaya maupun pencegahan penyakit. Sebelumnya Gung Inten mengatakan populasi babi pada 2020 hanya 292.088 ekor. Sedang populasi babi pada 2019 sebanyak 690.379. Namun salah satunya akibat virus ASF, menyebabkan terjadi kematian babi sehingga populasi berkurang sampai 42,31 persen. Untuk meningkatkan populasi dilakukan upaya restocking kepada para peternak.
Sebelumnya BPS Provinsi Bali mencatat mengawali tahun 2021 Januari lalu Bali mengalami inflasi. Hal itu ditunjukkan inflasi di Denpasar dan Singaraja. Denpasar mengalami inflasi setinggi 0,77 persen. Sedang Singaraja terjadi inflasi 0,94 persen.
Kenaikan harga sejumlah komoditas menjadi pemicu inflasi tersebut. Diantaranya cabe rawit, tarif angkutan, canang sari, dan lainnya termasuk harga daging ayam dan daging babi. *K17
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Januari, Denpasar mengalami inflasi 0,77 persen dan Singaraja mengalami inflasi 0,94 persen.
Pengamat ekonomi dari Kantor Perwakilan Wilayah Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Bali M Setyawan Santoso atau M San menyatakan penyebab utama inflasi pada bulan Januari adalah kelompok volatile foods yakni kelompok makanan.
Di dalam kelompok volatile foods, adalah dari kelompok-kelompok hortikultura. Ada cabe, bawang, dan lainnya. Terus bagian yang kedua adalah daging, termasuk daging babi.
Untuk hortikultura, peningkatan harga terjadi karena periode sekarang ini merupakan periode tanam. Karena merupakan periode tanam, berarti produk-produk yang ada di dalam pasar bukan dipanen sekarang.
”Tetapi yang dipanen pada Desember lalu, sehingga tinggal sedikit,” jelas M San. Yang ditanam pada 3 bulan lalu juga sedikit. Karena kebetulan adanya Covid-19, sehingga daya beli lemah.
Jadi lanjut M San, keuntungan petani menipis. Merekapun menanamnya sedikit. Sehingga produk yang dipanen bulan Desember sedikit juga.
Di bulan Januari sama, juga sedikit. Pada saat yang sama pada Januari terjadi kenaikkan permintaan faktor liburan. Karena persediaan sedikit, permintaan naik maka terjadi kenaikkan harga hortikultura.
Sedang terkait kenaikan harga daging babi, dijelaskan M San akibat berkurangnya jumlah babi, dampak dari virus (ASF). “Dulu kan pernah ada virus (ASF) yang menyebabkan banyak babi mati,” jelasnya. Hal itulah menyebabkan jumlah babi berkurang. Namun M San memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan mulai Februari- Maret, harga daging babi kembali akan normal.
Terpisah Kabid Peternakan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali Anak Agung Inten Wiradewi SPt, Msi menyatakan restocking babi memerlukan waktu setahun.
“Kami telah melakukan upaya-upaya KIE(komunikasi, informasi dan edukasi) kepada peternak,” ujarnya.
KIE tersebut dikatakan Gung Inten, menyangkut budidaya maupun pencegahan penyakit. Sebelumnya Gung Inten mengatakan populasi babi pada 2020 hanya 292.088 ekor. Sedang populasi babi pada 2019 sebanyak 690.379. Namun salah satunya akibat virus ASF, menyebabkan terjadi kematian babi sehingga populasi berkurang sampai 42,31 persen. Untuk meningkatkan populasi dilakukan upaya restocking kepada para peternak.
Sebelumnya BPS Provinsi Bali mencatat mengawali tahun 2021 Januari lalu Bali mengalami inflasi. Hal itu ditunjukkan inflasi di Denpasar dan Singaraja. Denpasar mengalami inflasi setinggi 0,77 persen. Sedang Singaraja terjadi inflasi 0,94 persen.
Kenaikan harga sejumlah komoditas menjadi pemicu inflasi tersebut. Diantaranya cabe rawit, tarif angkutan, canang sari, dan lainnya termasuk harga daging ayam dan daging babi. *K17
Komentar