Pintu Pekarangan Sarat Makna
Pamesuan, Salah Satu Ikon Budaya Bali
Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai.
GIANYAR. NusaBali
PAMESUAN, dari kata kerja ‘pesu’ (bahasa Bali) berarti ‘keluar’. Dengan mendapatkan awalan ‘pa’ dan akhiran ‘an’, kata ini menjadikan kata benda, pamesuan. Pamesuan yakni bangunan gerbang depan rumah pekarangan/tempat tinggal orang Bali,Red), adalah bangunan sarat makna. Bukan semata sebagai akses keluar – masuk, dari dan keluar rumah, atau sebaliknya. Bukan pula, akses yang penghubungkan empunya rumah dengan masyarakat di luar pekarangan.
Namun pamesuan memiliki arti dan makna lebih dari sekadar tempat keluar - masuk sang pemilik rumah.
Pamesuan menunjukkan indentitas, siapa penghuninya. Sosok bentuk pamesuan, menjadi salah satu untuk menakarnya. Akademisi Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud) Profesor Putu Rumawan Salain mengatakan, pamesuan memang bisa dipakai semacam referensi untuk mengetahui indentitas siapa pemilik sebuah rumah atau pekarangan. Pada masa lampau di zaman agraris, pamesuan dalam bentuk angkul-angkul adalah untuk masyarakat kebanyakan. Bentuknya sederhana, bahan atau material strukturnya hanya tanah liat dan alang atau jerami sudah cukup. Tidak boleh melebihi. “Dalam masyarakarat agraris dulu semua seragam,” kata Rumawan Salain, yang juga pakar Tata Ruang asal Bangli ini.
Kemudian ada pamesuan yang disebut ‘Bintang Aring’ dan ‘Kori Agung’. Material atau bahannya juga berkelas. Mulai dari tanah cetakan sampai batu bata. Strukturnya lebih rumit dan tentu saja lebih megah. Plus ragam hias yang menyesuaikan.
Pamesuan Bintang Aring dan Kori Agung ini pada masyarakat agraris zaman dulu, memang terbatas untuk kelompok masyarakat tertentu, penguasa atau bangsawan saja. Atau trah, klan tertentu saja.
Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai. Apa yang pantang dan tabu pada masa lalu, tidak mutlak lagi. Semua menjadi lebih cair. Sekat batas peruntukkan pamesuan yang sempat baku mulai baur.
Sehingga pamesuan dalam bentuk Bintang Aring dan bahkan Kori Agung, tidak lagi hanya boleh untuk kelompok masyarakat tertentu saja, sebagaimana pada masa lampau yang murni agraris. “Sekarang kan ada yang pengusaha, ada yang pejabat. Mereka juga merepresentasikan diri lewat arsitektur. Salah satunya dengan bangunan pamesuan yang megah,” lanjutnya.
Contoh lain, candi bentar yang pada awalnya merupakan pamesuan untuk bangunan atau tempat suci, kini banyak dipakai sebagai batas atau pintu keluar - masuk di perkantoran, hotel, atau tempat lainnya.
Namun apapun itu pamesuan memiliki fungsi sekala-niskala. Secara sakala sebagai bagian dari batas luar (termasuk tembok penyengker) menjaga privasi yang empunya rumah, sehingga memberi rasa aman kepada penghuninya. Demikian juga secara niskala.
Karena itulah pembangunan pamesuan dilakukan dengan perhitungan-perhitungan tertentu dengan filosofi dan harapan. Misalnya bagaimana agar penghuninya aman, murah rejeki dan harapan positif lainnya.
“Jarak lokasi pamesuan, ukuran ruang pintu dengan tembok penyengker dan aling-aling ada hitungannya,” tambah Rumawan Salain. Dulu secara tradisional ukuran untuk pintu masuk pamesuan adalah panyengking. Juga sanan padi (bambu galah alat memikul padi) digunakan sebagai ukuran untuk menentukan, kelayakan bangunan pamesuan.
Terpisah Ida Pedanda Istri Putri Jelantik Kemenuh dari Griya Kemenuh Tri Gading Banjar Tegehe Buleleng menyatakan hal senada. Pamesuan pada zaman dulu sangat erat dengan symbol atau identitas penghuninya/ pemiliknya. “Kalau pemiliknya petani korinya disebut angkul-angkul,” ujar Ida Pedanda yang juga akademisi FT Unud ini. Bentuknya sederhana, bahannya dari tanah popolan dan atap alang-alang. Meningkat lagi (strata sosial) sebagai pedagang, pamesuannya disebut bintang aring. “Ini jarang dibicarakan sekarang,” jelas Ida Pedanda. Hiasannya patra punggel. Ada tempat untuk mebanten. Sampai dengan pamesuan yang disebut kori agung yang megah dengan tembok tinggi dan tebal, menunjukkan keagungan sekaligus benteng digunakan oleh kaum bangsawan.
Dengan melihat pamesuannya saja, lanjut Ida Pedanda sudah diketahui siapa yang empunya rumah. Pamesuan juga berdimensi aman secara niskala. Hal itu ditandai dengan adanya palinggih pengapit lawang. Secara niskala dimaksudkan untuk memohon yang empunya atau penghuni rumah terhindarkan dari marabahaya. “Jadi tak hanya secara sakala menjaga privasi penghuninya, namun pamesuan juga berdimensi aman secara niskala,” jelas Ida Pedanda. *nata
Namun pamesuan memiliki arti dan makna lebih dari sekadar tempat keluar - masuk sang pemilik rumah.
Pamesuan menunjukkan indentitas, siapa penghuninya. Sosok bentuk pamesuan, menjadi salah satu untuk menakarnya. Akademisi Fakultas Teknik Universitas Udayana (Unud) Profesor Putu Rumawan Salain mengatakan, pamesuan memang bisa dipakai semacam referensi untuk mengetahui indentitas siapa pemilik sebuah rumah atau pekarangan. Pada masa lampau di zaman agraris, pamesuan dalam bentuk angkul-angkul adalah untuk masyarakat kebanyakan. Bentuknya sederhana, bahan atau material strukturnya hanya tanah liat dan alang atau jerami sudah cukup. Tidak boleh melebihi. “Dalam masyarakarat agraris dulu semua seragam,” kata Rumawan Salain, yang juga pakar Tata Ruang asal Bangli ini.
Kemudian ada pamesuan yang disebut ‘Bintang Aring’ dan ‘Kori Agung’. Material atau bahannya juga berkelas. Mulai dari tanah cetakan sampai batu bata. Strukturnya lebih rumit dan tentu saja lebih megah. Plus ragam hias yang menyesuaikan.
Pamesuan Bintang Aring dan Kori Agung ini pada masyarakat agraris zaman dulu, memang terbatas untuk kelompok masyarakat tertentu, penguasa atau bangsawan saja. Atau trah, klan tertentu saja.
Seiring perkembangan zaman dan dinamika sosial di Bali, kemutlakan ketentuan jenis dan bentuk pamesuan, sebagaimana masa lampau, makin mengalami pergeseran nilai. Apa yang pantang dan tabu pada masa lalu, tidak mutlak lagi. Semua menjadi lebih cair. Sekat batas peruntukkan pamesuan yang sempat baku mulai baur.
Sehingga pamesuan dalam bentuk Bintang Aring dan bahkan Kori Agung, tidak lagi hanya boleh untuk kelompok masyarakat tertentu saja, sebagaimana pada masa lampau yang murni agraris. “Sekarang kan ada yang pengusaha, ada yang pejabat. Mereka juga merepresentasikan diri lewat arsitektur. Salah satunya dengan bangunan pamesuan yang megah,” lanjutnya.
Contoh lain, candi bentar yang pada awalnya merupakan pamesuan untuk bangunan atau tempat suci, kini banyak dipakai sebagai batas atau pintu keluar - masuk di perkantoran, hotel, atau tempat lainnya.
Namun apapun itu pamesuan memiliki fungsi sekala-niskala. Secara sakala sebagai bagian dari batas luar (termasuk tembok penyengker) menjaga privasi yang empunya rumah, sehingga memberi rasa aman kepada penghuninya. Demikian juga secara niskala.
Karena itulah pembangunan pamesuan dilakukan dengan perhitungan-perhitungan tertentu dengan filosofi dan harapan. Misalnya bagaimana agar penghuninya aman, murah rejeki dan harapan positif lainnya.
“Jarak lokasi pamesuan, ukuran ruang pintu dengan tembok penyengker dan aling-aling ada hitungannya,” tambah Rumawan Salain. Dulu secara tradisional ukuran untuk pintu masuk pamesuan adalah panyengking. Juga sanan padi (bambu galah alat memikul padi) digunakan sebagai ukuran untuk menentukan, kelayakan bangunan pamesuan.
Terpisah Ida Pedanda Istri Putri Jelantik Kemenuh dari Griya Kemenuh Tri Gading Banjar Tegehe Buleleng menyatakan hal senada. Pamesuan pada zaman dulu sangat erat dengan symbol atau identitas penghuninya/ pemiliknya. “Kalau pemiliknya petani korinya disebut angkul-angkul,” ujar Ida Pedanda yang juga akademisi FT Unud ini. Bentuknya sederhana, bahannya dari tanah popolan dan atap alang-alang. Meningkat lagi (strata sosial) sebagai pedagang, pamesuannya disebut bintang aring. “Ini jarang dibicarakan sekarang,” jelas Ida Pedanda. Hiasannya patra punggel. Ada tempat untuk mebanten. Sampai dengan pamesuan yang disebut kori agung yang megah dengan tembok tinggi dan tebal, menunjukkan keagungan sekaligus benteng digunakan oleh kaum bangsawan.
Dengan melihat pamesuannya saja, lanjut Ida Pedanda sudah diketahui siapa yang empunya rumah. Pamesuan juga berdimensi aman secara niskala. Hal itu ditandai dengan adanya palinggih pengapit lawang. Secara niskala dimaksudkan untuk memohon yang empunya atau penghuni rumah terhindarkan dari marabahaya. “Jadi tak hanya secara sakala menjaga privasi penghuninya, namun pamesuan juga berdimensi aman secara niskala,” jelas Ida Pedanda. *nata
Komentar