Menilik Profil Ekonomi Bali di Masa Pandemi
Tahun 2020 sepertinya akan menjadi tahun yang tidak bisa dilupakan bagi masyarakat Bali. Berbagai aktivitas adat, budaya, dan agama tidak terlaksana sebagaimana biasanya. Event tahunan seperti pawai ogoh-ogoh dan Pesta Kesenian Bali (PKB) ditiadakan di tahun 2020.
Penulis : I Dewa Made Agus Arsana Dwipa, SST
Statistisi di Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali
Pembatasan kegiatan “ngayah” dan “piodalan” di pura. Pertama kalinya memakai masker bersama-sama saat hajatan pernikahan. Kegiatan belajar orang tua bersama anak di rumah secara daring. Serta, pergantian tahun baru tanpa kembang api. Kiranya menjadi beberapa hal yang berkesan selama tahun 2020. Semua itu merupakan bentuk adaptasi kebiasaan baru masyarakat yang muncul akibat adanya pandemi corona virus disease-2019 atau yang dikenal dengan COVID-19.
Adaptasi kebiasaan baru tersebut tidak hanya berupa pembatasan skala regional untuk masyarakat lokal, tetapi juga meluas dalam skala antar regional berupa pembatasan mobilitas antar wilayah. Pembatasan tersebut dalam penerapannya bisa berbeda-beda di setiap wilayah. Dalam lingkup antar negara terdapat istilah lockdown. Sementara di Indonesia diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dan di Bali, diterapkan konsep pembatasan kegiatan masyarakat (PKM). Meski jenis pembatasan yang diatur dalam istilah lockdown, PSBB, maupun PKM tersebut berbeda-beda, namun sama-sama berdampak pada pelemahan perekonomian pada tahun 2020, dibandingkan dengan tahun 2019 saat belum terjadinya pandemi COVID-19. Bahkan besarnya dampak tersebut menyebabkan ekonomi Bali sudah terkontraksi (mengalami pertumbuhan ekonomi dengan laju negatif) sejak triwulan I-2020 sedalam -1,20 persen (year-on-year) di saat ekonomi provinsi lain masih tumbuh positif dengan rata-rata sebesar 2,97 persen (pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2020 secara year-on-year). Kontraksi tersebut berlanjut pada triwulan II-2020 sedalam -11,06 persen yang mengantarkan Bali memasuki masa resesi ekonomi, lebih cepat satu triwulan dari Indonesia yang baru mengalaminya pada triwulan III-2020. Kemudian pada triwulan III yang biasanya menjadi puncak ekonomi Bali dengan berlangsungnya peak season pariwisata, justru pada triwulan III-2020 terjadi kontraksi terdalam (-12,32 persen) sepanjang tahun 2020 akibat pertumbuhan ekonomi dihitung dengan berpijak dari kondisi puncak di triwulan III-2019 menuju kondisi penurunan yang berlanjut di triwulan III-2020. Berlanjut pada triwulan IV-2020, pertumbuhan ekonomi Bali masih terkontraksi sedalam -12,21 persen dan menutup tahun 2020 dengan kontraksi yang tercatat dalam empat triwulan secara berturut-turut.
Namun apabila perkembangan ekonomi Bali dilihat dari triwulan ke triwulan selama tahun 2020 yang diukur dengan pertumbuhan ekonomi secara quarter-to-quarter (q-to-q), tidaklah menunjukan adanya suatu depresi ekonomi atau kesuraman seperti yang tergambar dari potret pertumbuhan ekonomi secara tahunan (year-on-year). Pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan I-2020 tercatat terkontraksi -7,72 persen, kemudian lanjut terkontraksi pada triwulan II-2020 sedalam -7,27 persen. Namun, aktivitas perekonomian Bali secara perlahan kembali menggeliat pada triwulan III-2020 dengan tumbuh sebesar 1,64 persen seiring dengan penerapan tatanan kehidupan baru (new normal) yang memberikan ruang gerak bagi pelaku usaha untuk berproduksi. Sinyal positif tersebut berlanjut pada triwulan IV-2020 dengan mencatatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,94 persen. Walaupun demikian, pertumbuhan ekonomi Bali yang terakumulasi dari triwulan I-2020 hingga triwulan IV-2020 menghasilkan pertumbuhan negatif atau kontraksi sedalam -9,31 persen selama tahun 2020. Besarnya dampak pelemahan ekonomi yang dirasakan Bali tersebut kiranya wajar karena Bali memang mengandalkan sektor pariwisata sebagai kontributor utama perekonomian. Dan selama tahun 2020, tidak berlebihan kiranya untuk mengatakan bahwa kegiatan pariwisata di Bali seakan mati suri di tengah pemberlakuan pembatasan-pembatasan yang telah disebutkan sebelumnya.
Hilangnya Pasar
Pelemahan perekonomian Bali selama tahun 2020 disebabkan oleh hilangnya pasar wisatawan, utamanya pasar wisatawan mancanegara (wisman). Pada triwulan I-2020 kunjungan wisman masih tercatat sekitar 1,05 juta kunjungan. Kemudian mulai drop pada triwulan II-2020 menjadi sekitar 395 kunjungan akibat ditutupnya penerbangan komersial di Bandara I Gusti Ngurah Rai. Pada triwulan III dan IV di masa era new normal, harapan akan pulihnya kunjungan wisman pada September 2020 pun kandas dengan ditundanya pembukaan pariwisata Bali untuk mancanegara seiring dengan semakin meningkatnya jumlah kasus positif COVID-19 di Bali. Alhasil kunjungan wisman ke Bali selama tahun 2020 tidak mampu beranjak dari catatan kunjungan pada triwulan I-2020, yakni masih tercatat sekitar 1,05 juta kunjungan. Jumlah tersebut kiranya sangat jauh lebih rendah dari capaian kunjungan wisman di tahun 2019 yang tercatat sekitar 6,28 juta kunjungan.
Lalu bagaimana dampaknya? Dari sisi konsumsi atau pengeluaran, ekonomi Bali yang diukur dengan indikator produk domestik regional bruto (PDRB) mencatatkan penurunan yang tajam pada komponen ekspor luar negri sedalam -76,23 persen selama tahun 2020 dibandingkan tahun 2019. Komponen ekspor luar negri mewakili hilangnya pasar wisman, yang mana segala bentuk konsumsi wisman selama di Bali tercatat sebagai ekspor luar negeri. Dari sisi produksi, hilangnya pasar wisman seharusnya akan menurunkan permintaan bagi produsen lapangan usaha sektor jasa terkait pariwisata. Kemudian penurunan permintaan akan diikuti dengan penurunan produksi dan berlanjut ke penurunan output dan nilai tambah yang dihasilkan. Asumsi tersebut terkonfirmasi dari data PDRB menurut lapangan usaha dengan adanya kontraksi yang tercatat pada lapangan usaha transportasi dan pergudangan serta lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum. Kedua lapangan usaha tersebut merupakan dua kategori lapangan usaha utama yang mewakili aktivitas pariwisata di Bali di antara seluruh kategori lapangan usaha dalam penyusunan PDRB. Lapangan usaha transportasi dan pergudangan, utamanya jasa angkutan udara serta jasa angkutan lainya yang ditujukan untuk mobilitas wisatawan tercatat terkontraksi -31,79 persen pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019. Sementara, lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum yang meliputi usaha hotel dan restoran tercatat terkontraksi -27,52 persen pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun 2019.
Dilihat dari sumber penciptaan pertumbuhan ekonomi (source of growth) Bali tahun 2020, kontraksi yang tercatat pada lapangan usaha transportasi dan pergudangan serta lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum ternyata mempunyai andil sebesar -7,89 persen. Sementara pertumbuhan ekonomi Bali tahun 2020 terkontraksi sedalam -9,31 persen. Berarti sisanya, terdapat kontraksi sebesar -1,42 persen yang bersumber dari penurunan pada lapangan usaha lainnya di antaranya lapangan usaha pertanian, industri pengolahan, dan konstruksi. Dengan kerangka berpikir yang sama, maka kontraksi sebesar -1,42 persen pada lapangan usaha lainnya tersebut disebabkan oleh penurunan permintaan yang terjadi sepanjang tahun 2020 yang berasal selain dari pasar wisman.
Penurunan permintaan yang dimaksud tidak lain adalah penurunan permintaan domestik (pasar domestik) itu sendiri. Dalam PDRB Bali tahun 2020 dari sisi pengeluaran, kekuatan pasar domestik yang utama bersumber dari konsumsi rumah tangga dengan kontribusi sebesar 53,5 persen. Konsumsi rumah tangga tercatat terkontraksi -3,65 persen di tahun 2020 dibandingkan tahun sebelumnya. Dengan melihat kontribusi komponen konsumsi rumah tangga, maka penurunan yang terjadi pada komponen ini sudah cukup untuk menunjukkan adanya pelemahan pada permintaan domestik.
Lalu pertanyaan selanjutnya, apa yang menyebabkan pelemahan pada permintaan domestik? Jika ditengok data ketenagakerjaan berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2020, tingkat pengangguran terbuka di Bali tercatat 5,63 persen dari sekitar 2,6 juta angkatan kerja yang tersedia di Bali, lebih tinggi dari tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2019 yakni 1,57 persen. Adapun pengangguran akibat COVID-19 mencapai 98,18 ribu orang, sementara tidak bekerja akibat COVID-19 mencapai 72,19 ribu orang, dan mengalami pengurangan jam kerja akibat COVID-19 sekitar 648,25 ribu orang. Besarnya dampak COVID-19 terhadap tenaga kerja di Bali mempengaruhi tingkat pendapatan rumah tangga sehingga melemahkan daya beli. Dan akhirnya berujung kepada melemahnya permintaan domestik.
Pelemahan pasar secara masif (mencakup pelemahan pasar wisman dan pasar domestik di saat bersamaan) menyebabkan tingkat perubahan harga atau inflasi yang rendah selama tahun 2020. Kota Denpasar tercatat mulai deflasi sejak awal triwulan II-2020, dan berlanjut pada bulan-bulan berikutnya. Baru kemudian pada bulan November dan Desember kembali tercatat inflasi. Inflasi tahunan selama tahun 2020 tercatat 0,55 persen, tergolong relatif rendah jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya yang berada dalam range 2-3 persen. Dengan rendahnya tingkat harga, biasanya, ketika harga turun dengan daya beli yang sama maka sebetulnya menjadi peluang untuk melakukan pembelian. Namun nyatanya, tingkat permintaan masih tetap rendah.
Apabila dilihat potensi ekonomi yang dimiliki Bali, sektor tersier atau jasa-jasa memang menjadi andalan utama. Kontribusinya mencapai 67 persen dari total perekonomian Bali tahun 2020 yang sekitar 224 triliun rupiah. Sedangkan sektor sekunder yang terdiri dari industri, energi (listrik dan air), dan konstruksi hanya berkontribusi sebesar 17 persen, dan sisanya, sektor primer (pertanian dan pertambangan) berkontribusi sekitar 16 persen. Nampaknya Bali tidak bisa tidak, untuk tetap mengandalkan sektor tersier, terutama jasa pariwisata. Alam dan budaya Bali yang unik dan mempesona tetap akan menjadi andalan yang menjadi ciri khas tersendiri bagi Bali. Terlebih wisata merupakan kebutuhan manusia yang memunculkan hasrat untuk dipenuhi sehingga ke depannya akan selalu dicari.
History Repeat Itself
Jika menoleh ke belakang, ekonomi Bali beberapa kali tercatat mengalami pelemahan akibat pariwisata Bali yang terganggu. Peristiwa Bom Bali I yang terjadi pada Oktober 2002 menguncang pariwisata Bali di kala itu dan pertumbuhan ekonomi Bali tercatat 3,04 persen, tumbuh melambat dibandingkan tahun 2001 yang tercatat 3,54 persen. Kemudian pada tahun 2005, Peristiwa Bom Bali kembali terulang pada bulan yang sama namun pertumbuhan ekonomi masih mampu tercatat tumbuh 5,56 persen. Selain gangguan stabilitas keamanan, pariwisata Bali juga mengalami gangguan dari faktor alam. Erupsi Gunung Rinjani pada tahun 2015 sedikit berdampak pada pariwisata Bali karena berpengaruh terhadap operasional transportasi udara meskipun tidak dalam waktu yang lama. Pada tahun 2015 pertumbuhan ekonomi Bali tercatat 6,03 persen, tumbuh melambat dibanding tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 6,73 persen. Dan yang terakhir sebelum adanya pandemi COVID-19, peristiwa erupsi Gunung Agung pada tahun 2017 juga sempat mengganggu pariwisata Bali karena menyebabkan penutupan Bandara Ngurah Rai selama beberapa waktu. Dan kala itu, pertumbuhan ekonomi Bali juga tercatat tumbuh melambat sebesar 5,56 persen dibandingkan tingkat pertumbuhan tahun sebelumnya yang sebesar 6,33 persen.
Layaknya sebuah siklus, maka pariwisata Bali kiranya akan selalu berpeluang menemui masa paceklik pariwisata akibat gangguan-gangguan serupa di masa yang akan datang. Yang menjadi pembeda hanyalah durasi atau lama berlangsungnya gangguan tersebut dan seberapa cepat masa pemulihannya yang menjadikannya sebagai sebuah siklus kecil atau pun siklus besar. Wilayah dengan ekonomi yang bergantung pada pariwisata seyogyanya harus memiliki kesiapan untuk menghadapi masa paceklik tersebut. Karena di saat masa itu terjadi kembali, maka pemenuhan kebutuhan untuk berwisata akan ditunda karena wisata hanyalah kebutuhan yang sifatnya leisure atau tidak mendesak untuk segera dipenuhi. Dan Bali akan mengalami pelemahan ekonomi kembali.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar