Ni Nengah Widiasih Bagikan Semangat sebagai Atlet Paralimpiade
DENPASAR, NusaBali.com
Setiap manusia memiliki keterbatasan. Namun, setiap keterbatasan bukanlah alasan untuk tidak menjadi yang terbaik. Ni Nengah Widiasih memberikan contoh nyata bahwa keterbatasan bukanlah alasan.
Sebagai penyandang tuna daksa, Ni Nengah Widiasih mampu buktikan dirinya bisa menjadi atlet Paralimpiade. Widiasih, sapaan akrabnya, bahkan mampu menjadi atlet terbaik ketiga dunia untuk cabang olahraga angkat berat.
Pada sesi diskusi daring 'Kenali Profesi Atlet Paralympiade' yang digelar oleh DNetwork Indonesia, Senin (8/2/2021), Widiasih menceritakan perjalanan dan pengalamannya mengharumkan nama Indonesia lewat sederet prestasi. Pernah meraih medali perak pada Asian Para Games 2014 di Incheon, Korea Selatan serta medali perunggu pada Olimpiade di Rio de Janeiro tahun 2016 silam, Widiasih juga memulai prestasinya itu dari kejuaraan daerah yang dia ikuti dulu di Bali.
Widiasih mengisahkan perjalanannya dimulai saat dirinya dinyatakan lumpuh pada usia 3 tahun. Di usia yang cukup dini pula itulah, ia menjalani kehidupan sebagai atlet. "Sebenarnya bukan karena pilihan. Tapi ya karena mengalir saja. Kakak saya, teman-teman, dan beberapa orang terdekat saya ada di dalam bidang tersebut," terang perempuan kelahiran tahun 1992 ini.
Proses yang dijalani secara mengalir itu kemudian bermuara pada pemikiran bahwa dirinya harus fokus menjalani bidang ini. Padahal, Widiasih menyebut hati kecilnya ingin menjadi seorang Psikolog.
Perjalanan Widiasih terus berlanjut saat dirinya mengikuti pelatnas di Solo saat di bangku SMP. Saat itu pula, Widiasih mulai belajar membagi waktu antara sekolah, belajar dan berlatih. Namun, diakuinya pula, ia sampai mengorbankan pendidikannya demi menjadi atlet paralimpik yang sukses dan diakui dunia.
"Saya percaya pendidikan itu penting. Tapi di sisi lain, saya juga punya pandangan kalau banyak orang yang bersekolah tinggi namun masa depannya belum jelas. Dari situ saya bertekad bahwasannya enggak apa-apalah sekolah saya biasa saja, tapi saya punya masa depan yang jelas," ujarnya antusias.
Widiasih juga menyebut dirinya menemukan motivasi besar saat dirinya mulai mengetahui tujuan hidupnya dengan jelas. Menurutnya, penting bagi siapapun untuk mengetahui tujuan hidup masing-masing, sebelum akhirnya menentukan arah. “Hambatan pasti ada. Tapi kalau kita menyerah, otomatis kita kalah. Makanya tidak boleh cepat puas dan terus mengoreksi diri juga evaluasi,” tutur Widiasih saat ditanya mengenai kemungkinan adanya hambatan.
Ketika ditanya moderator tentang proses berlatihnya, Widiasih menjelaskan kalau dirinya berlatih enam kali dalam seminggu. Bahkan hanya ada sehari untuk libur. “Tiap harinya, pelatih dan tim sudah menyiapkan program latihan yang menunjang kemajuan atletnya,” jelas Widiasih. Rupanya program latihan fisik yang dijalani Widiasih tersebut berpengaruh juga untuk membangun mental berlatihnya.
Dari proses perjalanannya itu, Widiasih menyebut bahwa hal terpenting bagi tiap orang, khususnya penyandang disabilitas bahwa untuk bisa berprestasi adalah kesadaran akan sesuatu yang digemari oleh seorang disabel itu. Dengan menyadari kegemaran, maka akan mudah untuk menemukan jalan sukses. "Bukan masalah disabelnya apa, tapi semangatnya. Kalau di olahraga, olahraga apa yang kita suka, temukan apa yang kita sukai dan mulai coba," terang Widiasih lagi.
Pandemi Covid-19 juga menimpa dirinya sebagai atlet profesional. Widiasih mengaku sempat stress karena harus tinggal dirumah saja selama berbulan-bulan. “Sedangkan kita atlet terbiasa latihan, pertandingan, latihan lagi, pertandingan lagi,” keluhnya.
Widiasih rupanya juga sempat berniat untuk membuka usaha kuliner. Namun, keinginan itu harus ditundanya karena satu dan lain hal. Widiasih pun menyibukkan diri dengan berolahraga ringan dan tetap terus berlatih. Sesekali juga ia menikmati hidup dengan bersantai atau ngobrol dengan orang-orang terdekatnya agar tidak tertekan lagi.
Widiasih kini sedang mempersiapkan diri untuk meraih seluruh pencapaian yang belum dicapainya. Olimpiade Paralimpik di Tokyo yang sempat tertunda menjadi bidikannya saat ini. Di sisi lain, Widiasih mengaku bangga karena mata dunia terhadap prestasi atlet paralimpik sudah mulai terbuka. Gelaran Asian Paragames di Jakarta tahun 2018 silam dianggapnya sebagai titik balik yang mencerahkan. “Senang sekali dengan adanya Asian Paralympic Games 2018 yang banyak membuka mata banyak orang sehingga mereka mulai mencoba cabang olahraga yang mereka minati,” kata Widiasih.
Lebih lanjut Widiasih mengajak para penyandang disabilitas secara khusus untuk lebih semangat meraih mimpi dan tidak berpasrah pada keadaan. “Pertama kita harus mengetahui apa yang kita sukai dan sesuaikan dengan kemampuan fisik kita,” jelas Widiasih.
Widiasih kemudian menyarankan kepada teman-teman disabilitas untuk bergabung ke NPC (National Paralympic Committee) yang ada di setiap provinsi di Indonesia. Menurutnya, NPC ini bisa menjadi wadah bagi penyandang disabilitas yang ingin berprestasi di bidang olahraga. Ia menyarankan untuk segera berkonsultasi dan bergabung. “Jangan takut mencoba, jangan takut gagal, jangan takut bermimpi karena bermimpi itu gratis,” tandasnya.
Diskusi daring ini diikuti sekitar 20 orang dari hampir seluruh daerah di Indonesia. DNetwork sendiri merupakan sebuah organisasi jaringan kerja disabilitas yang memfasilitasi para penyandang disabilitas yang ingin mencari kerja maupun perusahaan yang ingin mendukung dan mencari tenaga kerja disabilitas.
Pada sesi diskusi daring 'Kenali Profesi Atlet Paralympiade' yang digelar oleh DNetwork Indonesia, Senin (8/2/2021), Widiasih menceritakan perjalanan dan pengalamannya mengharumkan nama Indonesia lewat sederet prestasi. Pernah meraih medali perak pada Asian Para Games 2014 di Incheon, Korea Selatan serta medali perunggu pada Olimpiade di Rio de Janeiro tahun 2016 silam, Widiasih juga memulai prestasinya itu dari kejuaraan daerah yang dia ikuti dulu di Bali.
Widiasih mengisahkan perjalanannya dimulai saat dirinya dinyatakan lumpuh pada usia 3 tahun. Di usia yang cukup dini pula itulah, ia menjalani kehidupan sebagai atlet. "Sebenarnya bukan karena pilihan. Tapi ya karena mengalir saja. Kakak saya, teman-teman, dan beberapa orang terdekat saya ada di dalam bidang tersebut," terang perempuan kelahiran tahun 1992 ini.
Proses yang dijalani secara mengalir itu kemudian bermuara pada pemikiran bahwa dirinya harus fokus menjalani bidang ini. Padahal, Widiasih menyebut hati kecilnya ingin menjadi seorang Psikolog.
Perjalanan Widiasih terus berlanjut saat dirinya mengikuti pelatnas di Solo saat di bangku SMP. Saat itu pula, Widiasih mulai belajar membagi waktu antara sekolah, belajar dan berlatih. Namun, diakuinya pula, ia sampai mengorbankan pendidikannya demi menjadi atlet paralimpik yang sukses dan diakui dunia.
"Saya percaya pendidikan itu penting. Tapi di sisi lain, saya juga punya pandangan kalau banyak orang yang bersekolah tinggi namun masa depannya belum jelas. Dari situ saya bertekad bahwasannya enggak apa-apalah sekolah saya biasa saja, tapi saya punya masa depan yang jelas," ujarnya antusias.
Widiasih juga menyebut dirinya menemukan motivasi besar saat dirinya mulai mengetahui tujuan hidupnya dengan jelas. Menurutnya, penting bagi siapapun untuk mengetahui tujuan hidup masing-masing, sebelum akhirnya menentukan arah. “Hambatan pasti ada. Tapi kalau kita menyerah, otomatis kita kalah. Makanya tidak boleh cepat puas dan terus mengoreksi diri juga evaluasi,” tutur Widiasih saat ditanya mengenai kemungkinan adanya hambatan.
Ketika ditanya moderator tentang proses berlatihnya, Widiasih menjelaskan kalau dirinya berlatih enam kali dalam seminggu. Bahkan hanya ada sehari untuk libur. “Tiap harinya, pelatih dan tim sudah menyiapkan program latihan yang menunjang kemajuan atletnya,” jelas Widiasih. Rupanya program latihan fisik yang dijalani Widiasih tersebut berpengaruh juga untuk membangun mental berlatihnya.
Dari proses perjalanannya itu, Widiasih menyebut bahwa hal terpenting bagi tiap orang, khususnya penyandang disabilitas bahwa untuk bisa berprestasi adalah kesadaran akan sesuatu yang digemari oleh seorang disabel itu. Dengan menyadari kegemaran, maka akan mudah untuk menemukan jalan sukses. "Bukan masalah disabelnya apa, tapi semangatnya. Kalau di olahraga, olahraga apa yang kita suka, temukan apa yang kita sukai dan mulai coba," terang Widiasih lagi.
Pandemi Covid-19 juga menimpa dirinya sebagai atlet profesional. Widiasih mengaku sempat stress karena harus tinggal dirumah saja selama berbulan-bulan. “Sedangkan kita atlet terbiasa latihan, pertandingan, latihan lagi, pertandingan lagi,” keluhnya.
Widiasih rupanya juga sempat berniat untuk membuka usaha kuliner. Namun, keinginan itu harus ditundanya karena satu dan lain hal. Widiasih pun menyibukkan diri dengan berolahraga ringan dan tetap terus berlatih. Sesekali juga ia menikmati hidup dengan bersantai atau ngobrol dengan orang-orang terdekatnya agar tidak tertekan lagi.
Widiasih kini sedang mempersiapkan diri untuk meraih seluruh pencapaian yang belum dicapainya. Olimpiade Paralimpik di Tokyo yang sempat tertunda menjadi bidikannya saat ini. Di sisi lain, Widiasih mengaku bangga karena mata dunia terhadap prestasi atlet paralimpik sudah mulai terbuka. Gelaran Asian Paragames di Jakarta tahun 2018 silam dianggapnya sebagai titik balik yang mencerahkan. “Senang sekali dengan adanya Asian Paralympic Games 2018 yang banyak membuka mata banyak orang sehingga mereka mulai mencoba cabang olahraga yang mereka minati,” kata Widiasih.
Lebih lanjut Widiasih mengajak para penyandang disabilitas secara khusus untuk lebih semangat meraih mimpi dan tidak berpasrah pada keadaan. “Pertama kita harus mengetahui apa yang kita sukai dan sesuaikan dengan kemampuan fisik kita,” jelas Widiasih.
Widiasih kemudian menyarankan kepada teman-teman disabilitas untuk bergabung ke NPC (National Paralympic Committee) yang ada di setiap provinsi di Indonesia. Menurutnya, NPC ini bisa menjadi wadah bagi penyandang disabilitas yang ingin berprestasi di bidang olahraga. Ia menyarankan untuk segera berkonsultasi dan bergabung. “Jangan takut mencoba, jangan takut gagal, jangan takut bermimpi karena bermimpi itu gratis,” tandasnya.
Diskusi daring ini diikuti sekitar 20 orang dari hampir seluruh daerah di Indonesia. DNetwork sendiri merupakan sebuah organisasi jaringan kerja disabilitas yang memfasilitasi para penyandang disabilitas yang ingin mencari kerja maupun perusahaan yang ingin mendukung dan mencari tenaga kerja disabilitas.
1
Komentar