Urgensi Pemberdayaan Lansia Di Tengah Populasi Bali Yang Mulai Menua
Terjadinya peristiwa baby boom di Indonesia pada awal kemerdekaan hingga tahun 1960-an menghasilkan elderly population boom pada awal abad ke-21 ini.
Penulis : Ganes Deatama Musyafi
Statistisi di BPS Kabupaten Buleleng
Dalam bahasan tentang kependudukan, terdapat istilah dinamika kependudukan atau yang biasa disebut juga sebagai pertumbuhan penduduk. Dinamika penduduk adalah perubahan jumlah penduduk dari waktu ke waktu yang disebabkan oleh tiga unsur dinamikan penduduk, yakni kelahiran (fertlitas), kematian (mortalitas), dan perpindahan penduduk (migrasi).
Menurut teori yang dikemukakan oleh Warren Thompson pada tahun 1929, suatu daerah akan mengalami masa transisi demografi yang terdiri dari 4 tahapan. Transisi tersebut berangkat dari tahap pertama dimana tingkat fertilitas dan mortalitas di suatu daerah masih sama tingginya. Pada tahap ini, kondisi perekonomian masih relatif rendah serta kualitas kesehatan juga belum memadai. Pada tahap kedua, tingkat mortalitas mengalami penurunan siginifikan namun tingkat fertilitas masih tinggi. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya kualitas kesehatan serta ketersediaan bahan makanan yang semakin mencukupi. Tahap ketiga dari proses transisi demografi adalah tingkat fertilitas yang mengalami penurunan signifikan dan tingkat mortalitas pun semakin berkurang. Fenomena pada tahap ini didukung oleh peningkatan ilmu pengetahuan dan kesadaran masyarakat untuk mencapai standar hidup yang lebih baik. Tahap akhir dari proses ini adalah kondisi dimana tingkat fertilitas dan mortalitas dalam level yang sama-sama rendah. Pada tahap ini, jumlah penduduk besar namun tingkat pertumbuhannya sudah jauh melambat.
Sumber : BPS, Sensus Penduduk 1980-2020
Jika dilihat dari perkembangan struktur penduduk di Bali dari waktu ke waktu, pada tahun 1980 piramida penduduk Bali tergolong jenis piramida penduduk ekspansif (piramida penduduk muda) dimana piramida lebar dibagian bawah dan runcing di bagian atas. Piramida ini menunjukkan bahwa pada tahun 1980 jumlah penduduk muda jauh lebih banyak dibandingkan penduduk tua. Pada saat itu, tingkat kelahiran lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kematian. Pada perkembangannya, struktur penduduk Bali semakin seimbang. Hal ini ditunjukkan dengan piramida penduduk Bali tahun 2010 yang mulai menuju pada jenis piramida penduduk stasioner, dimana jumlah kelahiran hampir seimbang dengan jumlah kematian. Hal ini menunjukkan bahwa Bali memiliki pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif stabil sejak tahun 2010. Satu dekade setelahnya, yakni pada tahun 2020, piramida penduduk menunjukkan bahwa jumlah penduduk balita (umur 0-4 tahun) jauh lebih kecil dibandingkan dengan kondisi tahun 2010. Hal ini menunjukkan adanya penurunan tingkat kelahiran dan menjadi suatu indikasi adanya transisi menuju piramida penduduk tua.
Menurut UU Nomor 13 Tahun 1998, seseorang disebut sebagai lansia jika telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Sejak tahun 1980, persentase penduduk lansia di Bali meningkat semakin cepat pada setiap dekade. Menurut data hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) setiap sepuluh tahun sekali, pada tahun 1980 persentase penduduk lansia di Bali sebesar 7,69 persen, lalu meningkat menjadi 8,22 persen pada tahun 1990, dan mencapai 8,77 persen pada tahun 2000. Dalam satu dekade terakhir, BPS mencatat terjadi peningkatan persentase lansia hingga 2,70 persen poin dari 9,77 persen pada tahun 2010 menjadi 12,47 persen pada tahun 2020 berdasarkan data hasil Sensus Penduduk. Oleh karenanya, pada tahun 2020 Bali dapat dikatakan sudah memasuki struktur penduduk tua karena persentase penduduk lansia di Bali telah melebihi 10 persen. Pada Publikasi Statistik Penduduk Lansia yang diterbitkan oleh BPS, disebutkan bahwa Bali termasuk salah satu dari 5 provinsi yang sudah memasuki struktur penduduk tua pada tahun 2019 selain DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Barat.
Besarnya proporsi lansia dalam populasi penduduk Bali dapat diibaratkan sebagai dua mata pisau. Pada satu sisi, fenomena ini dapat berpotensi membawa berkah, namun di sisi lain juga dapat menjadi beban pembangunan. Oleh karenanya, sejak awal memasuki struktur penduduk tua, perhatian terhadap penduduk lansia perlu ditingkatkan dari berbagai aspek kehidupannya agar mereka tidak menjadi beban pembangunan dan bahkan dapat dioptimalkan potensi nya untuk pembentukan karakteristik bangsa. Karena menurut UU Nomor 13 Tahun 1998, Lansia memiliki kewajiban : 1) membimbing dan memberi nasihat secara arif dan bijaksana berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya terutama di lingkungan keluarganya dalam rangka menjaga martabat dan meningkatkan kesejahteraannya; 2) mengamalkan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan, keahlian, keterampilan, kemampuan, dan pengalaman yang dimilikinya kepada generasi penerus; serta 3) memberikan keteladanan dalam rangka aspek kehidupan kepada generasi penerus.
Salah satu indikator yang dapat menjadikan tolok ukur seberapa besar penduduk lansia memberikan beban bagi penduduk muda adalah Rasio Ketergantungan Penduduk Lansia. Sebagaimana disebutkan pada laman sirusa.bps.go.id, indikator Rasio Ketergantungan Penduduk Lansia dihitung dengan membagi jumlah penduduk yang berusia 60 tahun keatas dengan jumlah penduduk berumur 15-59 tahun. Berdasarkan hasil penghitungan terhadap data Sensus Penduduk 1980 – 2020 menggunakan rumus tersebut, diketahui dari tahun ke tahun, rasio ketergantungan penduduk lansia di Bali semakin besar. Jika pada tahun 1980, seorang penduduk berusia 15-59 tahun menanggung sekitar 14 orang penduduk lansia, pada tahun 2020 jumlahnya meningkat hingga mencapai 18-19 penduduk lansia untuk setiap penduduk 15-59 tahun.
Agar lansia tidak menjadi beban bagi penduduk usia produktif, maka persiapan menghadapi hari tua mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah, tak hanya bagi 12,47 persen penduduk yang saat ini sudah memasuki masa lansia, namun juga bagi 20,81 persen penduduk pra lansia berumur 45-59 tahun (batasan usia middle age menurut WHO). Kondisi kesehatan fisik dan mental, ketangguhan ekonomi, dan lingkungan sosial perlu disiapkan agar ketika mereka telah memasuki masa lansia tetap dapat menjadi lansia yang produktif, aktif, dan sehat.
Masa tua identik dengan penurunan fungsi alat-alat tubuh sehingga dapat berimbas pada menurunnya produktifitas. Selain itu, berkembangnya jenis penyakit yang berpotensi menyerang lansia merupakan salah satu buah dari pola makan serta perkembangan ragam konsumsi makanan yang tidak diimbangi dengan pola hidup sehat. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2019 yang terangkum pada publikasi Statistik Penduduk Lanjut Usia, tingkat kesakitan penduduk lansia di Bali mencapai 26,47 persen. Sebanyak 57,32 persen dari lansia yang pernah sakit pada tahun 2019 dan tidak berobat jalan ke pelayanan kesehatan menyatakan alasan mengapa tidak berobat jalan karena lebih memilih mengobati sendiri, seperti membeli obat di warung ataupun mengonsumsi obat-obatan tradisional. Dalam hal ini, pemerintah agaknya tak hanya menyediakan layanan fasilitas kesehatan bagi lansia, tapi juga memberikan sosialisasi dan pembinaan guna meningkatkan kesadaran diri pada lansia untuk mau memanfaaatkan fasilitas kesehatan yang ada untuk mengobati keluhan kesehatan yang dideritanya. Dalam upaya peningkatan kesehatan penduduk lansia, pada September 2020 lalu Kementerian Kesehatan meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) Kesehatan Lansia periode 2020-2024. Sebagaimana termuat pada laman resmi Kementerian Kesehatan, RAN Kesehatan Lansia terdiri dari 6 strategi peningkatan kesehatan Lansia. Implementasi program ini hingga ke level paling bawah perlu dikawal dengan baik agar penduduk lansia benar-benar merasakan manfaat dari program ini.
Diluar persoalan kesehatan, sistem perlindungan sosial bagi penduduk lansia perlu dioptimalkan dalam rangka menghadapi masa penuaan global. Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS), pada tahun 2019 sebanyak 54,30 persen penduduk lansia di Bali masih bekerja untuk mencari penghidupan. Di daerah perkotaan Bali, tercatat 49,07 persen lansia masih melakukan aktifitas untuk mendapatkan penghasilan atau membantu mendapatkan penghasilan, sedangkan di daerah perdesaan persentase lansia bekerja lebih tinggi hingga mencapai 62,83 persen. Sebagian besar dari lansia yang bekerja tersebut memiliki lapangan pekerjaan utama di sektor pertanian, yakni sebanyak 46,23 persen dari jumlah penduduk lansia Bali yang bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak penduduk lansia yang masih harus banting tulang menghidupi diri mereka sendiri dan bahkan menghidupi anak cucunya. Penduduk lansia berhak mendapatkan kesempatan bekerja, namun tipe pekerjaan seperti apa yang lebih sesuai dengan kondisi fisik lansia serta regulasi yang meringankan pekerjaan lansia perlu diperhatikan oleh pemerintah. Program pelatihan atau penyuluhan yang dapat mengoptimalkan potensi lansia perlu terus digalakkan sampai pada level terendah di masyarakat agar lansia tetap dapat aktif berkegiatan sekaligus bisa memperoleh pendapatan dari kegiatan tersebut.*
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
Komentar