YPUH Berjalan di Atas Rel
SINGARAJA, NusaBali
Yayasan Pengayom Umat Hindu (YPUH) Buleleng menegaskan sudah berjalan di atas rel atau sesuai ketentuan hukum, filosofi, agama, dan adat.
Pernyataan itu ditegaskan pasca muncul tuduhan dari Desa Adat Buleleng tentang keberadaan krematorium YPUH Buleleng yang sudah beroperasi sejak 2010 silam.
Hal tersebut disampaikan oleh pendiri YPUH Buleleng Jro Mangku Nyoman Sedana Wijaya, didampingi Koordinator Bidang Hukum dan Kemasyarakatan Dr I Gede Surata SH, MKn dan anggota Dewan Pembina Prof Dr Sukadi MPd, Med, Kamis (11/2). Dia menyayangkan kebijakan Desa Adat Buleleng melalui surat tertanggal 18 Januari 2021 yang memerintahkan YPUH untuk menghentikan pelaksanaan krematorium. “Kami merasa disudutkan secara sepihak, oleh surat dari desa adat dan pemberitaan di NusaBali dengan judul Penolakan Krematorium YPUH Kembali Memanas. Padahal kegiatan krematorium sudah ada dan kami jalankan sejak 2010, sebelum ada aturan awig-awig Desa Adat Buleleng tahun 2013,” ucap Jro Sedana. Bahkan tak hanya sesuai dengan awig-awig, tetapi juga konsep Tri Hita Karana, Pancasila, dan ajaran Weda.
Menurutnya keberadaan YPUH Buleleng yang didirikan untuk membantu meringankan umat Hindu dalam upacara yadnya, sudah sangat nyaman. Terlebih sejak didirikan dan diresmikan pada 2010 oleh mantan Bupati Buleleng Putu Bagiada, telah membantu puluhan ribu umat Hindu dalam pelaksanaan pitra yadnya melalui krematorium yang didirikan. “YPUH ini ada atas pertimbangan keadaan kita di Bali. Banyak umat susah karena urusan kematian. Kematian sering jadi sumber konflik apalagi sebelum tahun 2010, kasus kasepekang, tidak diizinkan mengubur mayat di setra, urusan tirta, persolan ini yang kami jawab,” imbuh dia.
Dari segi legalitas hukum, menurut pria asal Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan, ini YPUH didirikan diawali dengan membuat akta pendirian yayasan yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akat tersebut dibuat sesuai Pasal 1868 BW, dan sudah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 25 Oktober 2010. Setelah mendapat legalitas YPUH diresmikan oleh mantan Bupati Buleleng Putu Bagiada tahun 2010.
Jro Sedana juga menjawab soal tuduhan kepada YPUH yang melangsungkan upacara tanpa larangan hari baik. Menurutnya YPUH telah menggunakan larangan waktu untuk atiwa-tiwa sesuai dengan ketentuan PHDI, melalui kesatuan tafsir terhadap aspek agama Hindu. Selain juga prosesi upacara di krematorium YPUH sejauh ini dipimpin banyak sulinggih.
“Tidak mungkin kami segegabah pernyataan kelian desa yang disampaikan di media kemarin. Pendirian dan kegiatan di YPUH sudah sesuai dengan penerapan falsafah Tri Hita Karana di Bali, falsafah Pancasila. Bagaimana kegiatan krematorium YPUH bisa dibilang ngaletehin gumi di wewidangan desa adat. Apakah hanya karena tidak dilaksanakan di kuburan desa adat Buleleng?,” ucap dia.
Menurutnya konsep kremasi dan kuburan sangat berbeda. Kuburan secara harafiah adalah tempat untuk mengubur jenazah, yang dalam konsep tri mandala dan Tri Hita Karana ada di daerah palemahan. Posisinya ada di teben. Sedangkan krematorium disebutnya tempat melakukan upacara suci pitra yadnya (ngaben).
“Konsep krematorium tidak berkait dengan kuburan. Supaya tidak melanggar tradisi, krematorium juga diletakkan di palemahan biar tidak ngaletehin wilayah. Krematorium tidak bisa disebut tempat leteh atau membuat cemer wewidangan, karena merupakan tempat pelaksanaan pitra yadnya salah satu upacara suci untuk mengembalikan jenazah leluhur pada unsur panca maha buta,” imbuh Prof Sukadi.
Sedangkan YPUH yang berada ada di tengah permukiman juga tidak bisa dijadikan asalan untuk disalahkan. Terlebih dituduh ngaletehin wewidangan desa adat. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini banyak masyarakat Buleleng yang tinggal di sekitar kuburan, seperti di sekitar Setra Kayubuntil, Setra Banjar Tegal, dan setra adat lainnya di Buleleng.
“Sesuai konsep Tri Mandala Bali, wilayah kaja hulu dipakai wilayah parahyangan, pantai di wilayah kelod ada di teben sebagai wilayah palemahan yang salah satunya ada setra. Posisi kami ada di pinggir pantai atau kelod (teben) di mana letak leteh lokasi krematorium kami?,” kata dia.
Wilayah pantai yang dipilih oleh YPUH saat mengajukan hibah lahan seluas 7,20 are ini dinilai sangat cocok untuk kegiatan krematorium. Posisi di depan laut membuat prosesi menghanyutkan abu jenazah yang telah disucikan melalui ritual oleh rohaniawan, merupakan jarak terpendek, tercepat, dan praktis dalam keseluruhan rangkaian kegiatan kremasi dan pengabenan.
Sementara itu wewengkon Desa Adat Buleleng sejauh ini ditempati oleh masyarakat yang multikultur berbagai suku, ras, golongan, dan agama, sehingga menurutnya awig-awig hanya berlaku bagi krama desa saja. Sedangkan aturan tidak berlaku bagi warga yang tidak madesa adat di Buleleng. Sehingga dasar tersebut Desa Adat Buleleng tidak bisa memaksakan pemberlakuan awig-awig adat kepada penduduk yang tinggal menetap di wewidangan Desa Adat Buleleng.
“Mereka yang suku dan agama lain boleh membuat kuburan dan tempat kremasi yang berbeda dari kuburan desa adat Buleleng. Tetapi kenapa kriteria yang diberikan pada YPUH berbeda, padahal sama-sama Hindu,” ungkap Jro Sedana.
Padahal YPUH sejak berdiri disebutnya secara aturan hukum dari tingkat nasional hingga Perda Kabupaten dan peraturan desa tidak ada yang melarang kegiatan kremasi di YPUH. Dukungan penuh, menurut Jro Sedana, sudah didapatkan dari seluruh komponen pemerintah pusat, Pemprov Bali, Pemkab Buleleng, Kelurahan Kampung Baru hingga Polres Buleleng. “Kami punya pertanyaan besar, sejak kapan kelian desa adat sebagai eksekutor? Dari mana kewenangannya? Kami punya legalitas dan dukungan penuh semua pihak. Bahkan banyak anggota Polri dan TNI yang memanfaatkan fasilitas YPUH untuk acara kemiliteran. Mohon dianalisa dengan teori hukum, kemasyarakatan, dan terori agama dan Pancasila,” pintanya.
Sementara itu YPUH juga berpegang teguh pada UUD 1945 pasal 28E yang menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap serta berhak atas kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Selain juga berpatokan pada Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya.
“Berdasarkan kedua pasal itu keberadaan YPUH sah secara konstitusional. Lalu kami dipermasalahkan dan apakah tindakan ini tidak konstitusional? Kami tidak membodohi dan membuat konflik dengan masyarakat. Tetapi kami mencerahkan dan membantu menyelesaikan masalah umat yang cukup pelik dewasa ini,” jelas dia. Jro Sedana mengaku tak bermaksud menggurui desa adat, tetapi hanya menginginkan berjalan seiring dan memperkuat desa adat dengan jalan yang sedikit berbeda. Dia pun berharap dapat bersatu dengan keberagaman, bukan mempertentangkan perbedaan yang tidak begitu bermakna. Menurutnya perbedaan hanya tampak pada luarnya untuk memperkaya modal umat. Namun isi dan maknanya tetap sama. *k23
Hal tersebut disampaikan oleh pendiri YPUH Buleleng Jro Mangku Nyoman Sedana Wijaya, didampingi Koordinator Bidang Hukum dan Kemasyarakatan Dr I Gede Surata SH, MKn dan anggota Dewan Pembina Prof Dr Sukadi MPd, Med, Kamis (11/2). Dia menyayangkan kebijakan Desa Adat Buleleng melalui surat tertanggal 18 Januari 2021 yang memerintahkan YPUH untuk menghentikan pelaksanaan krematorium. “Kami merasa disudutkan secara sepihak, oleh surat dari desa adat dan pemberitaan di NusaBali dengan judul Penolakan Krematorium YPUH Kembali Memanas. Padahal kegiatan krematorium sudah ada dan kami jalankan sejak 2010, sebelum ada aturan awig-awig Desa Adat Buleleng tahun 2013,” ucap Jro Sedana. Bahkan tak hanya sesuai dengan awig-awig, tetapi juga konsep Tri Hita Karana, Pancasila, dan ajaran Weda.
Menurutnya keberadaan YPUH Buleleng yang didirikan untuk membantu meringankan umat Hindu dalam upacara yadnya, sudah sangat nyaman. Terlebih sejak didirikan dan diresmikan pada 2010 oleh mantan Bupati Buleleng Putu Bagiada, telah membantu puluhan ribu umat Hindu dalam pelaksanaan pitra yadnya melalui krematorium yang didirikan. “YPUH ini ada atas pertimbangan keadaan kita di Bali. Banyak umat susah karena urusan kematian. Kematian sering jadi sumber konflik apalagi sebelum tahun 2010, kasus kasepekang, tidak diizinkan mengubur mayat di setra, urusan tirta, persolan ini yang kami jawab,” imbuh dia.
Dari segi legalitas hukum, menurut pria asal Desa Tamblang, Kecamatan Kubutambahan, ini YPUH didirikan diawali dengan membuat akta pendirian yayasan yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Akat tersebut dibuat sesuai Pasal 1868 BW, dan sudah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM pada 25 Oktober 2010. Setelah mendapat legalitas YPUH diresmikan oleh mantan Bupati Buleleng Putu Bagiada tahun 2010.
Jro Sedana juga menjawab soal tuduhan kepada YPUH yang melangsungkan upacara tanpa larangan hari baik. Menurutnya YPUH telah menggunakan larangan waktu untuk atiwa-tiwa sesuai dengan ketentuan PHDI, melalui kesatuan tafsir terhadap aspek agama Hindu. Selain juga prosesi upacara di krematorium YPUH sejauh ini dipimpin banyak sulinggih.
“Tidak mungkin kami segegabah pernyataan kelian desa yang disampaikan di media kemarin. Pendirian dan kegiatan di YPUH sudah sesuai dengan penerapan falsafah Tri Hita Karana di Bali, falsafah Pancasila. Bagaimana kegiatan krematorium YPUH bisa dibilang ngaletehin gumi di wewidangan desa adat. Apakah hanya karena tidak dilaksanakan di kuburan desa adat Buleleng?,” ucap dia.
Menurutnya konsep kremasi dan kuburan sangat berbeda. Kuburan secara harafiah adalah tempat untuk mengubur jenazah, yang dalam konsep tri mandala dan Tri Hita Karana ada di daerah palemahan. Posisinya ada di teben. Sedangkan krematorium disebutnya tempat melakukan upacara suci pitra yadnya (ngaben).
“Konsep krematorium tidak berkait dengan kuburan. Supaya tidak melanggar tradisi, krematorium juga diletakkan di palemahan biar tidak ngaletehin wilayah. Krematorium tidak bisa disebut tempat leteh atau membuat cemer wewidangan, karena merupakan tempat pelaksanaan pitra yadnya salah satu upacara suci untuk mengembalikan jenazah leluhur pada unsur panca maha buta,” imbuh Prof Sukadi.
Sedangkan YPUH yang berada ada di tengah permukiman juga tidak bisa dijadikan asalan untuk disalahkan. Terlebih dituduh ngaletehin wewidangan desa adat. Jika dibandingkan dengan kondisi saat ini banyak masyarakat Buleleng yang tinggal di sekitar kuburan, seperti di sekitar Setra Kayubuntil, Setra Banjar Tegal, dan setra adat lainnya di Buleleng.
“Sesuai konsep Tri Mandala Bali, wilayah kaja hulu dipakai wilayah parahyangan, pantai di wilayah kelod ada di teben sebagai wilayah palemahan yang salah satunya ada setra. Posisi kami ada di pinggir pantai atau kelod (teben) di mana letak leteh lokasi krematorium kami?,” kata dia.
Wilayah pantai yang dipilih oleh YPUH saat mengajukan hibah lahan seluas 7,20 are ini dinilai sangat cocok untuk kegiatan krematorium. Posisi di depan laut membuat prosesi menghanyutkan abu jenazah yang telah disucikan melalui ritual oleh rohaniawan, merupakan jarak terpendek, tercepat, dan praktis dalam keseluruhan rangkaian kegiatan kremasi dan pengabenan.
Sementara itu wewengkon Desa Adat Buleleng sejauh ini ditempati oleh masyarakat yang multikultur berbagai suku, ras, golongan, dan agama, sehingga menurutnya awig-awig hanya berlaku bagi krama desa saja. Sedangkan aturan tidak berlaku bagi warga yang tidak madesa adat di Buleleng. Sehingga dasar tersebut Desa Adat Buleleng tidak bisa memaksakan pemberlakuan awig-awig adat kepada penduduk yang tinggal menetap di wewidangan Desa Adat Buleleng.
“Mereka yang suku dan agama lain boleh membuat kuburan dan tempat kremasi yang berbeda dari kuburan desa adat Buleleng. Tetapi kenapa kriteria yang diberikan pada YPUH berbeda, padahal sama-sama Hindu,” ungkap Jro Sedana.
Padahal YPUH sejak berdiri disebutnya secara aturan hukum dari tingkat nasional hingga Perda Kabupaten dan peraturan desa tidak ada yang melarang kegiatan kremasi di YPUH. Dukungan penuh, menurut Jro Sedana, sudah didapatkan dari seluruh komponen pemerintah pusat, Pemprov Bali, Pemkab Buleleng, Kelurahan Kampung Baru hingga Polres Buleleng. “Kami punya pertanyaan besar, sejak kapan kelian desa adat sebagai eksekutor? Dari mana kewenangannya? Kami punya legalitas dan dukungan penuh semua pihak. Bahkan banyak anggota Polri dan TNI yang memanfaatkan fasilitas YPUH untuk acara kemiliteran. Mohon dianalisa dengan teori hukum, kemasyarakatan, dan terori agama dan Pancasila,” pintanya.
Sementara itu YPUH juga berpegang teguh pada UUD 1945 pasal 28E yang menyatakan setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah sesuai agamanya. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap serta berhak atas kebebasan berserikat berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Selain juga berpatokan pada Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah sesuai dengan kepercayaannya.
“Berdasarkan kedua pasal itu keberadaan YPUH sah secara konstitusional. Lalu kami dipermasalahkan dan apakah tindakan ini tidak konstitusional? Kami tidak membodohi dan membuat konflik dengan masyarakat. Tetapi kami mencerahkan dan membantu menyelesaikan masalah umat yang cukup pelik dewasa ini,” jelas dia. Jro Sedana mengaku tak bermaksud menggurui desa adat, tetapi hanya menginginkan berjalan seiring dan memperkuat desa adat dengan jalan yang sedikit berbeda. Dia pun berharap dapat bersatu dengan keberagaman, bukan mempertentangkan perbedaan yang tidak begitu bermakna. Menurutnya perbedaan hanya tampak pada luarnya untuk memperkaya modal umat. Namun isi dan maknanya tetap sama. *k23
1
Komentar