Rezeki Imlek vs Rezeki Kosong
Karena orang Bali punya sangat banyak hari raya, tidak sedikit hari-hari itu bersamaan dengan hari suci kaum Nasrani, Buddha dan Muslim. Nyepi pernah bertepatan dengan Idul Fitri.
Natal bersamaan dengan Galungan. Atau Kuningan berbarengan dengan Waisak. Kalaupun tidak persis harinya, di Bali hari-hari suci sering berdekatan, berdempet-dempet, berderet-deret, acap tumpang tindih, saking banyak Bali punya hari raya.
Tahun ini, sehari setelah Imlek, krama Bali merayakan Tumpek Landep, hari suci untuk memuliakan perabot dan perkakas. Sebagai hari pergantian tahun, Imlek sering dibandingkan dengan Nyepi. Ada persamaannya, juga punya perbedaan. Imlek memang nyaris sama maknanya dengan rezeki. Banyak orang berharap di hari Imlek hujan lebat turun disertai deru angin, karena itulah pertanda rezeki akan melimpah. Tapi, jika angin terlalu kencang, hujan dahsyat turun, tentu bukan rezeki yang bertimbun, namun bencana tanah longsor, pohon tumbang, dan rumah roboh. Doa-doa bisa berubah jadi kepiluan, rezeki berbalik dan terbanting jadi malapetaka.
Harapan akan rezeki berlimpah sudah muncul di hari pertama Imlek, saat upacara menyambut kedatangan dewa-dewi berlangsung. Ketika itu pintu dan jendela dibuka lebar-lebar, lampu-lampu dinyalakan terang benderang, agar keberuntungan dan rezeki menerobos masuk rumah sepanjang tahun. Pemberian angpao ketika merayakan Imlek adalah pertanda, ada rezeki melimpah yang bisa diperoleh di tahun baru.
Ucapan “Gong Xi Fa-Cai” kepada kerabat dan sanak saudara berarti “selamat dan semoga banyak rezeki”, juga bermakna, betapa penting rezeki dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikanlah, keselamatan dan rezeki yang diutamakan, baru setelah itu diikuti ucapan “Semoga panjang umur dan sehat selalu.” Ini bisa berarti umur panjang boleh saja, tapi harus diisi dengan kecukupan rezeki. Untuk apa hidup sampai tua-renta tapi miskin? Lebih baik mati saja tinimbang hidup sengsara dan merepotkan orang lain.
Hari ke-15, hari terakhir perayaan Imlek, yang dikenal sebagai Cap Go Meh, juga disertai dengan doa-doa. Hari ini dijadikan ajang untuk bersilaturahmi ke kerabat serta tetangga, dan persembahyangan menjamu leluhur. Yang tak kalah penting adalah doa syukur dipanjatkan, agar tahun ini rezeki datang lebih banyak. Rezeki, lagi-lagi rezeki. Terus menerus rezeki.
Jika bersua dengan orang-orang China, langsung muncul di benak kita mereka adalah pengusaha yang jago-jago. Jarang muncul kesan mereka itu ilmuwan, peneliti, dosen, seniman, apalagi pejabat negara. Bahkan acap orang menganggap aneh kalau ada orang China jadi petani, buruh, montir, atau tukang bangunan, karena pekerjaan ini jauh dari jangkauan limpahan rezeki.
Pantas banyak orang China kaya di Tanah Air, karena mereka memang memohon limpahan rezeki begitu memasuki hari pertama tahun baru. Tapi, apakah orang Bali juga bisa kaya jika di tahun baru Nyepi memohon rezeki? Apakah yang dimohon orang Bali ketika bertahun baru? Adakah keberuntungan, kekayaan dan rezeki muncul dalam doa-doa orang Bali? Jika setiap melakukan upacara adat dan keagamaan, yang sangat banyak jumlah dan ragamnya, orang Bali memohon rezeki, tentu permohonan itu berulangkali dilakukan sepanjang tahun. Apakah permohonan itu akan bisa membuat orang Bali kaya menyaingi orang-orang China itu?
Bali tidak memiliki upacara dan persembahyangan khusus mohon rezeki. Merayakan Nyepi, orang Bali justru diminta untuk hening, menempatkan pikiran dan rasa pada titik nol. Mereka dianjurkan bermeditasi, mengosongkan pikiran, menuju ning, tidak untuk memohon apa pun. Dengan meditasi mereka berharap keseimbangan terjaga, kedamaian berada di puncak, sehingga jiwa-raga terbebas dari nafsu, terhindar dari keinginan. Ini berbeda dengan doa-doa Imlek yang memohon limpahan pepat padat rezeki. Orang Bali justru memohon kosong.
Jika orang Bali tidak memohon rezeki di hari Nyepi, lalu kapan mereka menyampaikan doa agar dilimpahi keberuntungan, kesehatan, dan pendapatan? Ketika orang Bali otonan, diupacarai merayakan hari lahir berdasarkan perhitungan wuku dan hari, setiap 210 hari, mereka natab sesaji otonan. Saat itulah permohonan agar diberi kesehatan, jodoh, rezeki berlimpah, dan umur panjang, dilantunkan. Permohonan rezeki menjadi sesuatu yang pribadi, personal, disampaikan sendiri-sendiri, orang per orang, tidak beramai-ramai seperti ketika sembahyang bersama-sama. Doa mohon keberuntungan disampaikan diam-diam, khusuk.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, beda bangsa beda pula tabiatnya. Orang China bertahun baru Imlek mohon rezeki, orang Bali bertahun baru Nyepi mengosongkan diri, seolah tak peduli pada rezeki. Karena orang Bali dikenal fasih mengutak-atik filsafat, mereka berpendapat, nol atau kosong itu juga rezeki. Seseorang berhasil mencapai puncak samadi, berada dalam nol-kosong, pertanda ia berhasil meraih rezeki maha besar. Inilah rezeki yang paling sulit dicari.
Seseorang yang super kaya, punya banyak perusahaan, memiliki pulau dan kapal pesiar, toh mengidam-idamkan hidup bahagia tenang tenteram, leluasa menikmati rezeki nol dan kosong. Banyak orang Bali menganggap, sesungguhnya alangkah besar rezeki nol-kosong itu. *
Aryantha Soethama
Tahun ini, sehari setelah Imlek, krama Bali merayakan Tumpek Landep, hari suci untuk memuliakan perabot dan perkakas. Sebagai hari pergantian tahun, Imlek sering dibandingkan dengan Nyepi. Ada persamaannya, juga punya perbedaan. Imlek memang nyaris sama maknanya dengan rezeki. Banyak orang berharap di hari Imlek hujan lebat turun disertai deru angin, karena itulah pertanda rezeki akan melimpah. Tapi, jika angin terlalu kencang, hujan dahsyat turun, tentu bukan rezeki yang bertimbun, namun bencana tanah longsor, pohon tumbang, dan rumah roboh. Doa-doa bisa berubah jadi kepiluan, rezeki berbalik dan terbanting jadi malapetaka.
Harapan akan rezeki berlimpah sudah muncul di hari pertama Imlek, saat upacara menyambut kedatangan dewa-dewi berlangsung. Ketika itu pintu dan jendela dibuka lebar-lebar, lampu-lampu dinyalakan terang benderang, agar keberuntungan dan rezeki menerobos masuk rumah sepanjang tahun. Pemberian angpao ketika merayakan Imlek adalah pertanda, ada rezeki melimpah yang bisa diperoleh di tahun baru.
Ucapan “Gong Xi Fa-Cai” kepada kerabat dan sanak saudara berarti “selamat dan semoga banyak rezeki”, juga bermakna, betapa penting rezeki dalam kehidupan sehari-hari. Perhatikanlah, keselamatan dan rezeki yang diutamakan, baru setelah itu diikuti ucapan “Semoga panjang umur dan sehat selalu.” Ini bisa berarti umur panjang boleh saja, tapi harus diisi dengan kecukupan rezeki. Untuk apa hidup sampai tua-renta tapi miskin? Lebih baik mati saja tinimbang hidup sengsara dan merepotkan orang lain.
Hari ke-15, hari terakhir perayaan Imlek, yang dikenal sebagai Cap Go Meh, juga disertai dengan doa-doa. Hari ini dijadikan ajang untuk bersilaturahmi ke kerabat serta tetangga, dan persembahyangan menjamu leluhur. Yang tak kalah penting adalah doa syukur dipanjatkan, agar tahun ini rezeki datang lebih banyak. Rezeki, lagi-lagi rezeki. Terus menerus rezeki.
Jika bersua dengan orang-orang China, langsung muncul di benak kita mereka adalah pengusaha yang jago-jago. Jarang muncul kesan mereka itu ilmuwan, peneliti, dosen, seniman, apalagi pejabat negara. Bahkan acap orang menganggap aneh kalau ada orang China jadi petani, buruh, montir, atau tukang bangunan, karena pekerjaan ini jauh dari jangkauan limpahan rezeki.
Pantas banyak orang China kaya di Tanah Air, karena mereka memang memohon limpahan rezeki begitu memasuki hari pertama tahun baru. Tapi, apakah orang Bali juga bisa kaya jika di tahun baru Nyepi memohon rezeki? Apakah yang dimohon orang Bali ketika bertahun baru? Adakah keberuntungan, kekayaan dan rezeki muncul dalam doa-doa orang Bali? Jika setiap melakukan upacara adat dan keagamaan, yang sangat banyak jumlah dan ragamnya, orang Bali memohon rezeki, tentu permohonan itu berulangkali dilakukan sepanjang tahun. Apakah permohonan itu akan bisa membuat orang Bali kaya menyaingi orang-orang China itu?
Bali tidak memiliki upacara dan persembahyangan khusus mohon rezeki. Merayakan Nyepi, orang Bali justru diminta untuk hening, menempatkan pikiran dan rasa pada titik nol. Mereka dianjurkan bermeditasi, mengosongkan pikiran, menuju ning, tidak untuk memohon apa pun. Dengan meditasi mereka berharap keseimbangan terjaga, kedamaian berada di puncak, sehingga jiwa-raga terbebas dari nafsu, terhindar dari keinginan. Ini berbeda dengan doa-doa Imlek yang memohon limpahan pepat padat rezeki. Orang Bali justru memohon kosong.
Jika orang Bali tidak memohon rezeki di hari Nyepi, lalu kapan mereka menyampaikan doa agar dilimpahi keberuntungan, kesehatan, dan pendapatan? Ketika orang Bali otonan, diupacarai merayakan hari lahir berdasarkan perhitungan wuku dan hari, setiap 210 hari, mereka natab sesaji otonan. Saat itulah permohonan agar diberi kesehatan, jodoh, rezeki berlimpah, dan umur panjang, dilantunkan. Permohonan rezeki menjadi sesuatu yang pribadi, personal, disampaikan sendiri-sendiri, orang per orang, tidak beramai-ramai seperti ketika sembahyang bersama-sama. Doa mohon keberuntungan disampaikan diam-diam, khusuk.
Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya, beda bangsa beda pula tabiatnya. Orang China bertahun baru Imlek mohon rezeki, orang Bali bertahun baru Nyepi mengosongkan diri, seolah tak peduli pada rezeki. Karena orang Bali dikenal fasih mengutak-atik filsafat, mereka berpendapat, nol atau kosong itu juga rezeki. Seseorang berhasil mencapai puncak samadi, berada dalam nol-kosong, pertanda ia berhasil meraih rezeki maha besar. Inilah rezeki yang paling sulit dicari.
Seseorang yang super kaya, punya banyak perusahaan, memiliki pulau dan kapal pesiar, toh mengidam-idamkan hidup bahagia tenang tenteram, leluasa menikmati rezeki nol dan kosong. Banyak orang Bali menganggap, sesungguhnya alangkah besar rezeki nol-kosong itu. *
Aryantha Soethama
1
Komentar