Kreativitas I Ketut Widastra, Warga Desa Bengkel, Kecamatan Kediri, Tabanan di Masa Pandemi
Seperti Kecanduan, Olah Sampah Pakai Komposter untuk Produksi Pupuk Organik dan Maggot
Ke depan Widastra berharap seluruh masyarakat, terutama di Desa Bengkel agar mengolah sampahnya sendiri lewat komposter. Sebab jika sudah merasakan manfaatnya, akan jadi kebutuhan.
TABANAN, NusaBali
Sampah rumah tangga baik organik maupun non organik saat ini penanganannya kerap menjadi masalah. Namun sampah di tangan I Ketut Widastra, seorang warga di Banjar Bengkel Gede, Desa Bengkel, Kecamatan Kediri, Tabanan, malah menjadi bermanfaat. Dia pun seolah ‘kecanduan’ mengolah sampah dengan alat komposter skala rumah tangga. Lewat komposter yang dibuat, dia bisa hasilkan pupuk organik dan maggot untuk pakan ternak ayam dan burung. Pupuk yang dihasilkan bermanfaat untuk kesuburan segala jenis tanaman di sekitar rumah Widastra. Sedangkan maggot yang dihasilkan dijadikan pakan berkualitas untuk ayam dan burung peliharaannya sendiri, bahkan sudah ada yang dijual.
Ditemui di rumahnya, Kamis (18/2) siang, Ketut Widastra tengah memilah sampah rumah tangga yang dihasilkan. Sekarang dia sendiri memiliki 6 unit komposter. Tiga komposter untuk pengolahan sampah organik, dan 3 komposter untuk pengolahan limbah dapur. Sementara sampah plastik yang dihasilkan diangkut ke bank sampah desa.
Komposter rumah tangga yang dibuat sangat sederhana. Untuk pengolahan sampah organik hanya memerlukan jaring kawat setinggi 2 meter dengan diameter 80 centimeter. Kemudian komposter pengolahan limbah dapur hanya memerlukan ember sebesar tong sampah.
Lalu di dalam ember tersebut diberikan pipa untuk bisa mengalirkan air lindi dari sampah yang ditimbun tersebut. Air Lindi ini pun memiliki fungsi menyuburkan tanaman. "Total saya punya 6 komposter, 1 komposter untuk pengolahan limbah dapur dibantu oleh desa, sisanya saya buat sendiri," ungkap Ketut Widastra.
Kepedulian dalam menangani sampah rumah tangga ini sudah digeluti setahun lalu, tepatnya sejak Maret 2020, di awal-awal pandemi Covid-19 melanda Pulai Bali. Bermula dari ajakan Perbekel Bengkel, Kecamatan Kediri, Tabanan, I Nyoman Wahya Biantara untuk peduli lingkungan. Seperti diketahui sekarang kepedulian penanganan sampah di masyarakat masih belum maksimal. Sampah rumah tangga yang dihasilkan sendiri belum dipilah. Masyarakat masih membuang sampah sembarangan. "Di samping itu saya memang hobi, jadi berakhir seperti ini," katanya.
Diterangkan, komposter yang dibuat ini sudah menjadi kebutuhan. Sebab, dengan komposter, sampah rumah tangga bisa ditangani dengan baik tanpa harus membuang sampah sembarangan. Untuk bisa menghasilkan pupuk organik, khusus sampah daun dikumpulkan saja di dalam komposter kawat jaring tersebut. Semakin lama sampah tersebut didiamkan akan terurai menjadi tanah.
Tanah itulah yang disebut pupuk yang bisa difungsikan untuk menanam berbagai tanaman. Untuk membantu mempercepat proses pembusukan, sampah yang terkumpul disemprotkan air molase. Air molase tersebut dibuat sendiri Ketut Widastra menggunakan bahan air cucian beras kemudian dicampur gula bali. Bahan ini kemudian dipermentasi satu bulan.
Sejak fokus mengelola sampah lewat komposter, di pekarangan rumah Ketut Widastra sekarang segala jenis tanaman mulai dari jeruk bali, sereh, terong, cabai dan tanaman sayuran lain tumbuh subur akibat pupuk yang dihasilkan dari sampah tersebut.
Termasuk pula limbah dapur yang dipermentasikan lewat komposter menghasilkan maggot. Caranya limbah dapur tersebut dikumpulkan di dalam komposter yang terbuat dari ember. Limbah dapur tersebut akan membusuk kemudian dicari oleh lalat BSF. Lalat ini akan bertelur dan telur ini menjadi maggot.
Kini maggot yang dihasilkan Ketut Widastra sudah bisa dijadikan pakan ternak ayam peliharaan tanpa harus membeli pakan. Bahkan sudah sempat menjual dengan harga Rp 30.000 per kilogram. "Maggot ini adalah pakan ternak berkualitas. Hewan peliharaan bisa tumbuh gemuk serta mempercepat hewan peliharaan bertelur," tegasnya.
Dituturkan, pupuk organik yang dihasilkan lewat komposter tersebut tidak menentu. Biasanya sekali panen lebih dari 10 kilogram lalu dia kumpulkan. Begitu pula maggot yang dihasilkan tersebut sekali panen hanya didapat 3 kilogram tergantung kandungan sampat yang dikumpulkan. Semakin banyak kandungan sampah manis dan asam maggot yang dihasilkan lebih banyak. "Saya panen maggot 18 hari sekali, sekali panen dapat 3 kilogram," terang ayah satu anak ini.
Dia mengakui dengan mulai sadar dalam memperhatikan lingkungan banyak perubahan hidup yang dirasakan. Awalnya tidak begitu memperhatikan tentang sampah, kini rumah menjadi bersih. Bahkan terhadap sampah sudah tidak memandang sebelah mata. Selain menangani sampah di rumahnya sendiri, Ketut Widastra juga mengambil sampah yang dihasilkan warung dekat rumahnya. Sampah yang diambil terutama limbah warung dan sampah organik.
"Sekarang sampah yang ada di rumah tidak ada terbuang semua bermanfaat justru saya ambil sampah tetangga juga," aku Ketut Widastra yang sehari-hari menggeluti kerajinan membuat bokor dari bahan koran bekas ini. Ke depan dia berharap seluruh masyarakat terutama di Desa Bengkel agar mengolah sampahnya sendiri lewat komposter. Jika sudah merasakan manfaatnya komposter ini akan menjadi kebutuhan.
"Mari sama-sama kelola sampah sendiri demi kebaikan alam," ajaknya. Ke depan dia pun berkeinginan membuat budidaya maggot. Terpisah Perbekel Bengkel, I Nyoman Wahya Biantara mengatakan saat ini di Desa Bengkel sudah ada 54 KK yang memiliki komposter. Hanya saja penggunaannya belum maksimal. Komposter yang didapat diberikan desa karena memperoleh CSR. Namun ada pula yang membuat sendiri. "Komposter yang lebih banyak diminati warga yang pengolahan limbah dapur karena menghasilkan maggot. Dan maggot ini diberikan ke ternak mereka," ujarnya.
Kedepan masyarakat diharapkan lebih peduli lagi terhadap penanganan sampah. Sebab tahun ini desa sudah menganggarkan penanganan sampah. Nantinya setiap rumah tangga akan diberikan tempat memilah sampah. Pengolahan sampah yang organik, dan non organik diolah satu sumber di TPS 3R. *des
Ditemui di rumahnya, Kamis (18/2) siang, Ketut Widastra tengah memilah sampah rumah tangga yang dihasilkan. Sekarang dia sendiri memiliki 6 unit komposter. Tiga komposter untuk pengolahan sampah organik, dan 3 komposter untuk pengolahan limbah dapur. Sementara sampah plastik yang dihasilkan diangkut ke bank sampah desa.
Komposter rumah tangga yang dibuat sangat sederhana. Untuk pengolahan sampah organik hanya memerlukan jaring kawat setinggi 2 meter dengan diameter 80 centimeter. Kemudian komposter pengolahan limbah dapur hanya memerlukan ember sebesar tong sampah.
Lalu di dalam ember tersebut diberikan pipa untuk bisa mengalirkan air lindi dari sampah yang ditimbun tersebut. Air Lindi ini pun memiliki fungsi menyuburkan tanaman. "Total saya punya 6 komposter, 1 komposter untuk pengolahan limbah dapur dibantu oleh desa, sisanya saya buat sendiri," ungkap Ketut Widastra.
Kepedulian dalam menangani sampah rumah tangga ini sudah digeluti setahun lalu, tepatnya sejak Maret 2020, di awal-awal pandemi Covid-19 melanda Pulai Bali. Bermula dari ajakan Perbekel Bengkel, Kecamatan Kediri, Tabanan, I Nyoman Wahya Biantara untuk peduli lingkungan. Seperti diketahui sekarang kepedulian penanganan sampah di masyarakat masih belum maksimal. Sampah rumah tangga yang dihasilkan sendiri belum dipilah. Masyarakat masih membuang sampah sembarangan. "Di samping itu saya memang hobi, jadi berakhir seperti ini," katanya.
Diterangkan, komposter yang dibuat ini sudah menjadi kebutuhan. Sebab, dengan komposter, sampah rumah tangga bisa ditangani dengan baik tanpa harus membuang sampah sembarangan. Untuk bisa menghasilkan pupuk organik, khusus sampah daun dikumpulkan saja di dalam komposter kawat jaring tersebut. Semakin lama sampah tersebut didiamkan akan terurai menjadi tanah.
Tanah itulah yang disebut pupuk yang bisa difungsikan untuk menanam berbagai tanaman. Untuk membantu mempercepat proses pembusukan, sampah yang terkumpul disemprotkan air molase. Air molase tersebut dibuat sendiri Ketut Widastra menggunakan bahan air cucian beras kemudian dicampur gula bali. Bahan ini kemudian dipermentasi satu bulan.
Sejak fokus mengelola sampah lewat komposter, di pekarangan rumah Ketut Widastra sekarang segala jenis tanaman mulai dari jeruk bali, sereh, terong, cabai dan tanaman sayuran lain tumbuh subur akibat pupuk yang dihasilkan dari sampah tersebut.
Termasuk pula limbah dapur yang dipermentasikan lewat komposter menghasilkan maggot. Caranya limbah dapur tersebut dikumpulkan di dalam komposter yang terbuat dari ember. Limbah dapur tersebut akan membusuk kemudian dicari oleh lalat BSF. Lalat ini akan bertelur dan telur ini menjadi maggot.
Kini maggot yang dihasilkan Ketut Widastra sudah bisa dijadikan pakan ternak ayam peliharaan tanpa harus membeli pakan. Bahkan sudah sempat menjual dengan harga Rp 30.000 per kilogram. "Maggot ini adalah pakan ternak berkualitas. Hewan peliharaan bisa tumbuh gemuk serta mempercepat hewan peliharaan bertelur," tegasnya.
Dituturkan, pupuk organik yang dihasilkan lewat komposter tersebut tidak menentu. Biasanya sekali panen lebih dari 10 kilogram lalu dia kumpulkan. Begitu pula maggot yang dihasilkan tersebut sekali panen hanya didapat 3 kilogram tergantung kandungan sampat yang dikumpulkan. Semakin banyak kandungan sampah manis dan asam maggot yang dihasilkan lebih banyak. "Saya panen maggot 18 hari sekali, sekali panen dapat 3 kilogram," terang ayah satu anak ini.
Dia mengakui dengan mulai sadar dalam memperhatikan lingkungan banyak perubahan hidup yang dirasakan. Awalnya tidak begitu memperhatikan tentang sampah, kini rumah menjadi bersih. Bahkan terhadap sampah sudah tidak memandang sebelah mata. Selain menangani sampah di rumahnya sendiri, Ketut Widastra juga mengambil sampah yang dihasilkan warung dekat rumahnya. Sampah yang diambil terutama limbah warung dan sampah organik.
"Sekarang sampah yang ada di rumah tidak ada terbuang semua bermanfaat justru saya ambil sampah tetangga juga," aku Ketut Widastra yang sehari-hari menggeluti kerajinan membuat bokor dari bahan koran bekas ini. Ke depan dia berharap seluruh masyarakat terutama di Desa Bengkel agar mengolah sampahnya sendiri lewat komposter. Jika sudah merasakan manfaatnya komposter ini akan menjadi kebutuhan.
"Mari sama-sama kelola sampah sendiri demi kebaikan alam," ajaknya. Ke depan dia pun berkeinginan membuat budidaya maggot. Terpisah Perbekel Bengkel, I Nyoman Wahya Biantara mengatakan saat ini di Desa Bengkel sudah ada 54 KK yang memiliki komposter. Hanya saja penggunaannya belum maksimal. Komposter yang didapat diberikan desa karena memperoleh CSR. Namun ada pula yang membuat sendiri. "Komposter yang lebih banyak diminati warga yang pengolahan limbah dapur karena menghasilkan maggot. Dan maggot ini diberikan ke ternak mereka," ujarnya.
Kedepan masyarakat diharapkan lebih peduli lagi terhadap penanganan sampah. Sebab tahun ini desa sudah menganggarkan penanganan sampah. Nantinya setiap rumah tangga akan diberikan tempat memilah sampah. Pengolahan sampah yang organik, dan non organik diolah satu sumber di TPS 3R. *des
Komentar