Buleleng Terhubung Dunia Luar Sejak Awal Tahun Masehi
Peninggalan sejarah berupa tajak perunggu, arca sederhana, gelang perunggu yang ditemukan di situs Desa ‘Baliaga’ Tigawasa, Kecamatan Banjar, Buleleng diyakini berasal dari zaman 2.000 tahun silam
Dari Pameran Arkeologi di Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng
SINGARAJA, NusaBali
Setelah menggelar ‘Rumah Peradaban’, Balai Arkeologi Denpasar lanjut melaksanakan pameran arkeologi di Gedung Serba Guna Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, 22-25 November 2016. Puluhan benda peninggalan sejarah asal Bali Utara dipajang dalam pameran di desa tua tersebut. Dari sejumlah benda peninggalan sejarah yang dipamerkan tersebut, terkuak bukti bahwa Buleleng sudah jadi pintu masuk Bali dan bagian jalur perdagangan internasional sejak ribuan tahun silam.
Salah satu benda peninggalan sejarah yang dipajang dalam pameran arkeologi di Desa Bengkala ini berupa pragmen gerabah ‘Arikamedu’. Fragmen gerabah ini sebelumnya ditemukan di situs Desa ‘Baliaga’ Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng, yang dieskavasi tahun 1994.
Menurut Kepala Balai Arkeologi Denpasar, I Gusti Made Suarbawa, benda bersejarah berupa fragmen gerabah ‘Arikamedu’ inilah yang jadi bukti bahwa Buleleng sejatinya sudah memiliki hubungan dengan negara-negara lain di dunia, seperti India, sejak 2.000 tahun silam atau awal Tahun Masehi. Pasalnya, gerabah Arikamedu merupakan produk kerajinan dari India Selatan.
“Gerabah Arikamedu merupakan produk kerajinan dari India Selatan. Ini yang mem-buktikan bahwa leluhur Buleleng sudah ada hubungan dengan negara lainnya sejak zaman awal Tahun Masehi,” ungkap IGM Suarbawa kepada NusaBali di lokasi pameran arkeologi di Desa Bengkala, Rabu (23/11).
Sedangkan hubungan dengan negara lain seperti China, kata Suarbawa, ditemukan melalui peninggalan sejarah seperti Klenteng tua di bekas Pelabuhan Buleleng di Kota Singaraja. Selain itu, juga dengan keberadaan Palinggih Ratu Syahbandar atau pemujaan Dewi Kwam In. Kecuali itu, hubungan dengan China juga dibuktikan juga dengan sejumlah situs Budha yang ditemukan di Candi Budha kawasan Desa Kalibukbuk (Kecamatan Buleleng) dan di Desa Uma Anyar (Kecamatan Seririt, Buleleng).
Suarbawa menyebutkan, peninggalan sejarah Candi Budha di Desa Kalibukbuk di-temukan tahun 1991. Saat dilakukan penggalian, awalnya hanya ditemukan dasar candinya saja. Namun, pihak peneliti kemudian menemukan sejumlah peninggalan lain berupa Relief Stupa, Dhyana Budha, Stupika, dan tablet tanah liat yang berasal dari abad ke-8.
Menurut Suarbawa, Buleleng merupakan pusat sejarah Bali. Hal tersebut dikuatkan dengan banyaknya temuan peninggalan sejarah dari ujung Buleleng Barat hingga Buleleng Timur. Contohnya, miniatur Nekara yang ditemukan di situs Pangkung Paruk, Seririt tahun 2001. Selain itu, peninggalan sejarah berupa tajak perunggu, arca sederhana, dan gelang perunggu yang ditemukan di situs Desa ‘Baliaga’ Tigawasa, Kecamatan Banjar, Buleleng. Temuan di situs Desa Tigawasa ini diyakini berasal dari zaman 2.000 tahun silam.
Selain benda-benda arkeologis berusia ribuan tahun yang dipajang dalam pameran, kata Suarbawa, bukti bahwa Buleleng sebagai kawasan terbuka dan berhubungan dengan dunia luar juga terlihat dari sejumlah bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang hingga kini masih berdiri tegak. Contohnya, jembatan tua di bekas Pelabuhan Buleleng, Gedung Bank BPU di Jalan Gajah Mada Singaraja, hingga Kantor Bappeda di kawasan Kantor Bupati Buleleng.
Suarbawa menjelaskan, dari peninggalan sejarah tersebut, mencerminkan bahwa masyarakat Buleleng sejak zaman dulu sangat terbuka dengan pendatang. Bahkan, hal tersebut masih melekat pada orang-orang Buleleng saat ini yang sangat terbuka dan apa adanya. “Karakter tersebut merupakan warisan secara turun temurun dari leluhurnya,” sebut Suarbawa.
Dengan adanya pameran arkeologi yang digelar Balai Arkeologi Denpasar di Desa Bengkala, menurut Suarbawa, pihaknya berharap dapat menggugah masyarakat lain untuk menginformasikan sejarah di daerahnya masing-masing. Suarbawa mengatakan, hal ini penting sehingga pengungkapan sejarah lokal secara otentik dapat dilakukan.
Pameran arkeologi ini juga bagian upaya menarik minat generasi muda untuk menjadi arkeolog masa depan. “Saat akan belajar sejarah lokal, mereka tidak harus mencari referensi kepada peneliti luar negeri. Padahal, yang lebih paham adalah kita sendiri sebagai generasi penerus,” kata Suarbawa.
Sebagai Kepoala Balai Arkeologi, Suarbawa mengaku sangat senang dengan perke-mbangan kesadaraan masyarakat yang kini mulai terbuka untuk mengizinkan pihaknya melakukan penelitian tinggalan sejarah. “Sebelumnya, hambatan yang kadang dihadapi arkeolog adalah sikap masyarakat yang tertutup dan takut. Sebab, mereka khawatir tinggalan sejarah yang dimilikinya akan diambil oleh pemerintah, padahal hal itu tidak akan terjadi jika memang tak dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri,” katanya.
Sementara itu, pameran arkeologi yang digelar Balai Arkeologi Denpasar berdapak positif bagi kalangan pelajar di Desa Bengkala dan sekitarnya. Pantauan NusaBali, banyak kalangan pelajar setempat yang berduyun-duyun untuk melihat pameran arkeologis, Rabu kemarin.
Mereka mengaku sangat senang, karena dapat melihat langsung apa yang selama ini dipelajarinya hanya melalui buku. “Kalau di sekolah kan cuma diajari pakai buku. Tapi, di sini (lokasi pameran) kami bisa lihat langsung dan jadi lebih tahu,” cerita Ni Luh Pritayani, salah satu pengunjung pameran arkeologi.
Sebelum dilaksanakannya pameran arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar telah menggelar ‘Rumah Peradaban’ di Gedung Serba Guna Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Selasa (22/11). Dalam ‘Rumah Peradaban’ tersebut, dipaparkan isi dari Prasasti Bengkala, prasasti buatan zaman Raja Sri Aji Jaya Pangus, yang sudah berhasil dibaca dan disadur kedalam Bahasa Indonesia.
‘Rumah Peradaban’ merupakan salah satu program Badan Arkeologi Denpasar untuk mensoliasisasikan hasil penelitian kepada masyarakat. Khusus ‘Rumah Peradaban’ di Desa Bengkala kemarin, sekaligus untuk mensosialisasikan hasil penelitian Prasasti Bengkala, yang dibuat Tahun Saka 1103 dan baru ditemukan warga pada 1971 silam. k23
SINGARAJA, NusaBali
Setelah menggelar ‘Rumah Peradaban’, Balai Arkeologi Denpasar lanjut melaksanakan pameran arkeologi di Gedung Serba Guna Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng, 22-25 November 2016. Puluhan benda peninggalan sejarah asal Bali Utara dipajang dalam pameran di desa tua tersebut. Dari sejumlah benda peninggalan sejarah yang dipamerkan tersebut, terkuak bukti bahwa Buleleng sudah jadi pintu masuk Bali dan bagian jalur perdagangan internasional sejak ribuan tahun silam.
Salah satu benda peninggalan sejarah yang dipajang dalam pameran arkeologi di Desa Bengkala ini berupa pragmen gerabah ‘Arikamedu’. Fragmen gerabah ini sebelumnya ditemukan di situs Desa ‘Baliaga’ Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng, yang dieskavasi tahun 1994.
Menurut Kepala Balai Arkeologi Denpasar, I Gusti Made Suarbawa, benda bersejarah berupa fragmen gerabah ‘Arikamedu’ inilah yang jadi bukti bahwa Buleleng sejatinya sudah memiliki hubungan dengan negara-negara lain di dunia, seperti India, sejak 2.000 tahun silam atau awal Tahun Masehi. Pasalnya, gerabah Arikamedu merupakan produk kerajinan dari India Selatan.
“Gerabah Arikamedu merupakan produk kerajinan dari India Selatan. Ini yang mem-buktikan bahwa leluhur Buleleng sudah ada hubungan dengan negara lainnya sejak zaman awal Tahun Masehi,” ungkap IGM Suarbawa kepada NusaBali di lokasi pameran arkeologi di Desa Bengkala, Rabu (23/11).
Sedangkan hubungan dengan negara lain seperti China, kata Suarbawa, ditemukan melalui peninggalan sejarah seperti Klenteng tua di bekas Pelabuhan Buleleng di Kota Singaraja. Selain itu, juga dengan keberadaan Palinggih Ratu Syahbandar atau pemujaan Dewi Kwam In. Kecuali itu, hubungan dengan China juga dibuktikan juga dengan sejumlah situs Budha yang ditemukan di Candi Budha kawasan Desa Kalibukbuk (Kecamatan Buleleng) dan di Desa Uma Anyar (Kecamatan Seririt, Buleleng).
Suarbawa menyebutkan, peninggalan sejarah Candi Budha di Desa Kalibukbuk di-temukan tahun 1991. Saat dilakukan penggalian, awalnya hanya ditemukan dasar candinya saja. Namun, pihak peneliti kemudian menemukan sejumlah peninggalan lain berupa Relief Stupa, Dhyana Budha, Stupika, dan tablet tanah liat yang berasal dari abad ke-8.
Menurut Suarbawa, Buleleng merupakan pusat sejarah Bali. Hal tersebut dikuatkan dengan banyaknya temuan peninggalan sejarah dari ujung Buleleng Barat hingga Buleleng Timur. Contohnya, miniatur Nekara yang ditemukan di situs Pangkung Paruk, Seririt tahun 2001. Selain itu, peninggalan sejarah berupa tajak perunggu, arca sederhana, dan gelang perunggu yang ditemukan di situs Desa ‘Baliaga’ Tigawasa, Kecamatan Banjar, Buleleng. Temuan di situs Desa Tigawasa ini diyakini berasal dari zaman 2.000 tahun silam.
Selain benda-benda arkeologis berusia ribuan tahun yang dipajang dalam pameran, kata Suarbawa, bukti bahwa Buleleng sebagai kawasan terbuka dan berhubungan dengan dunia luar juga terlihat dari sejumlah bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang hingga kini masih berdiri tegak. Contohnya, jembatan tua di bekas Pelabuhan Buleleng, Gedung Bank BPU di Jalan Gajah Mada Singaraja, hingga Kantor Bappeda di kawasan Kantor Bupati Buleleng.
Suarbawa menjelaskan, dari peninggalan sejarah tersebut, mencerminkan bahwa masyarakat Buleleng sejak zaman dulu sangat terbuka dengan pendatang. Bahkan, hal tersebut masih melekat pada orang-orang Buleleng saat ini yang sangat terbuka dan apa adanya. “Karakter tersebut merupakan warisan secara turun temurun dari leluhurnya,” sebut Suarbawa.
Dengan adanya pameran arkeologi yang digelar Balai Arkeologi Denpasar di Desa Bengkala, menurut Suarbawa, pihaknya berharap dapat menggugah masyarakat lain untuk menginformasikan sejarah di daerahnya masing-masing. Suarbawa mengatakan, hal ini penting sehingga pengungkapan sejarah lokal secara otentik dapat dilakukan.
Pameran arkeologi ini juga bagian upaya menarik minat generasi muda untuk menjadi arkeolog masa depan. “Saat akan belajar sejarah lokal, mereka tidak harus mencari referensi kepada peneliti luar negeri. Padahal, yang lebih paham adalah kita sendiri sebagai generasi penerus,” kata Suarbawa.
Sebagai Kepoala Balai Arkeologi, Suarbawa mengaku sangat senang dengan perke-mbangan kesadaraan masyarakat yang kini mulai terbuka untuk mengizinkan pihaknya melakukan penelitian tinggalan sejarah. “Sebelumnya, hambatan yang kadang dihadapi arkeolog adalah sikap masyarakat yang tertutup dan takut. Sebab, mereka khawatir tinggalan sejarah yang dimilikinya akan diambil oleh pemerintah, padahal hal itu tidak akan terjadi jika memang tak dikehendaki oleh masyarakat itu sendiri,” katanya.
Sementara itu, pameran arkeologi yang digelar Balai Arkeologi Denpasar berdapak positif bagi kalangan pelajar di Desa Bengkala dan sekitarnya. Pantauan NusaBali, banyak kalangan pelajar setempat yang berduyun-duyun untuk melihat pameran arkeologis, Rabu kemarin.
Mereka mengaku sangat senang, karena dapat melihat langsung apa yang selama ini dipelajarinya hanya melalui buku. “Kalau di sekolah kan cuma diajari pakai buku. Tapi, di sini (lokasi pameran) kami bisa lihat langsung dan jadi lebih tahu,” cerita Ni Luh Pritayani, salah satu pengunjung pameran arkeologi.
Sebelum dilaksanakannya pameran arkeologi, Balai Arkeologi Denpasar telah menggelar ‘Rumah Peradaban’ di Gedung Serba Guna Desa Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Selasa (22/11). Dalam ‘Rumah Peradaban’ tersebut, dipaparkan isi dari Prasasti Bengkala, prasasti buatan zaman Raja Sri Aji Jaya Pangus, yang sudah berhasil dibaca dan disadur kedalam Bahasa Indonesia.
‘Rumah Peradaban’ merupakan salah satu program Badan Arkeologi Denpasar untuk mensoliasisasikan hasil penelitian kepada masyarakat. Khusus ‘Rumah Peradaban’ di Desa Bengkala kemarin, sekaligus untuk mensosialisasikan hasil penelitian Prasasti Bengkala, yang dibuat Tahun Saka 1103 dan baru ditemukan warga pada 1971 silam. k23
Komentar