Ke Sekolah Jalan 2 Km, Jika Hujan Sepatunya Dititip
Kehidupan Ni Wayan Tarmi, 52, warga Banjar Padpadan, Desa Pengotan, Kecamatan/Kabupaten Bangli, benar-benar memprihatinkan.
Warga Miskin, Ibu dan Anak Tinggal di Gubuk Terpencil
BANGLI, NusaBali
Tarmi dan anaknya, I Wayan Suarman, 13, tinggal di sebuah gubuk. Lokasinya terpencil, di pinggir jurang, perbatasan antara Dusun Padpadan dengan Dusun Penyebeh di Desa Pengotan, Bangli. “Sejak anak tiyang tuah oton sampun driki (sejak anak saya usia satu oton —7 bulan kalender— sudah tinggal di sini),” ungkap Tarmi dengan suara lirih, saat ditemui di tempat tinggalnya, Jumat (25/11).
Dikatakan, semua itu terpaksa dilakoni Tarmi, karena dia tak mau terjadi cekcok dan persoalan keluarga. Alasannya, Tarmi merupakan istri kedua dari I Wayan Genep, warga setempat. Karena itulah, meski suaminya masih hidup, Tarmi ‘mengasingkan’ diri bersama anaknya. “Tiyang tidak punya pilihan,” ucapnya.
Sejak tinggal di gubuk Tarmi harus kerja keras membanting tulang dengan bekerja sebagai buruh serabutan, untuk menghidupi diri dan anaknya. Karenanya jangankan berpikir soal rumah, untuk sekadar bisa makan, merupakan perkara berat bagi Tarmi. “Paling tiyang perbaiki atap yang bocor dibantu anak tiyang,” tutur Tarmi menunjuk gubuknya yang berdinding gedek dan beratap asbes. Atap asbes tersebut tampak berlubang di sejumlah titik, tanpa penerangan listrik.
Kisah tak kalah menyedihkan dialami I Wayan Suarman. Siswa kelas VI SDN 3 Pengotan ini, mengalami cacat permanen. Suarman kehilangan 4 jari tangan kanannya, karena terkena pisau circle (alat pemotong kayu). Kejadian tersebut dialami ketika Suarman kelas I SD.
Diceritakan, untuk membantu ibunya, Suarman sejak kecil juga ikut maburuh membuat kotak untuk packing jeruk. Ketika memburuh membuat kotak jeruk itulah, empat jari tangannya terkena pisau circle, sehingga putus. “Itu waktu saya kelas satu,” ungkap Suarman.
Meski cacat, namun Suarman mengaku tak putus asa. Tiap hari dia sekolah, meski harus jalan kaki sejauh 2 kilometer dengan kondisi jalanan yang becek. Apalagi pada musim hujan sekarang ini. “Kadang sepatu saya titip, karena jalanan becek,” ujar Suarman. Sering kali, Suarman ke sekolah tanpa bekal uang sebagaimana anak lain pada umumnya. Namun hal itu tak menyurutkan semangatnya belajar. “Meski hujan saya tetap sekolah,” imbuhnya. Pulang sekolah, Suarman membantu ibunya maburuh.
Bendesa Pakraman Pengotan I Wayan Kopok menyatakan sangat prihatin dengan apa yang dialami warganya. Dikatakannya, hal itu diketahui setelah ada laporan prajuru dari Pedapdapan. Setelah berkoordinasi, prajuru sepakat memberi bantuan untuk perbaikan rumah Tarmi. “Mudah-mudahan ada uluran dari pihak lain membantu meringankan beban warga kami,” kata Wayan Kopok. * k17
BANGLI, NusaBali
Tarmi dan anaknya, I Wayan Suarman, 13, tinggal di sebuah gubuk. Lokasinya terpencil, di pinggir jurang, perbatasan antara Dusun Padpadan dengan Dusun Penyebeh di Desa Pengotan, Bangli. “Sejak anak tiyang tuah oton sampun driki (sejak anak saya usia satu oton —7 bulan kalender— sudah tinggal di sini),” ungkap Tarmi dengan suara lirih, saat ditemui di tempat tinggalnya, Jumat (25/11).
Dikatakan, semua itu terpaksa dilakoni Tarmi, karena dia tak mau terjadi cekcok dan persoalan keluarga. Alasannya, Tarmi merupakan istri kedua dari I Wayan Genep, warga setempat. Karena itulah, meski suaminya masih hidup, Tarmi ‘mengasingkan’ diri bersama anaknya. “Tiyang tidak punya pilihan,” ucapnya.
Sejak tinggal di gubuk Tarmi harus kerja keras membanting tulang dengan bekerja sebagai buruh serabutan, untuk menghidupi diri dan anaknya. Karenanya jangankan berpikir soal rumah, untuk sekadar bisa makan, merupakan perkara berat bagi Tarmi. “Paling tiyang perbaiki atap yang bocor dibantu anak tiyang,” tutur Tarmi menunjuk gubuknya yang berdinding gedek dan beratap asbes. Atap asbes tersebut tampak berlubang di sejumlah titik, tanpa penerangan listrik.
Kisah tak kalah menyedihkan dialami I Wayan Suarman. Siswa kelas VI SDN 3 Pengotan ini, mengalami cacat permanen. Suarman kehilangan 4 jari tangan kanannya, karena terkena pisau circle (alat pemotong kayu). Kejadian tersebut dialami ketika Suarman kelas I SD.
Diceritakan, untuk membantu ibunya, Suarman sejak kecil juga ikut maburuh membuat kotak untuk packing jeruk. Ketika memburuh membuat kotak jeruk itulah, empat jari tangannya terkena pisau circle, sehingga putus. “Itu waktu saya kelas satu,” ungkap Suarman.
Meski cacat, namun Suarman mengaku tak putus asa. Tiap hari dia sekolah, meski harus jalan kaki sejauh 2 kilometer dengan kondisi jalanan yang becek. Apalagi pada musim hujan sekarang ini. “Kadang sepatu saya titip, karena jalanan becek,” ujar Suarman. Sering kali, Suarman ke sekolah tanpa bekal uang sebagaimana anak lain pada umumnya. Namun hal itu tak menyurutkan semangatnya belajar. “Meski hujan saya tetap sekolah,” imbuhnya. Pulang sekolah, Suarman membantu ibunya maburuh.
Bendesa Pakraman Pengotan I Wayan Kopok menyatakan sangat prihatin dengan apa yang dialami warganya. Dikatakannya, hal itu diketahui setelah ada laporan prajuru dari Pedapdapan. Setelah berkoordinasi, prajuru sepakat memberi bantuan untuk perbaikan rumah Tarmi. “Mudah-mudahan ada uluran dari pihak lain membantu meringankan beban warga kami,” kata Wayan Kopok. * k17
Komentar