Industri Penerbangan Butuh Insentif Pemerintah
JAKARTA, NusaBali
Industri penerbangan Indonesia membutuhkan bantuan dan dukungan Pemerintah melalui berbagai insentif untuk bangkit dari keterpurukan akibat pandemi COVID-19.
"Untuk memulihkan sektor penerbangan dibutuhkan insentif perpajakan dan biaya-biaya kebandarudaraan," kata Ketua Umum Indonesia National Air Carries Association (INACA) Denon Prawiraatmadja dalam keterangannya di Jakarta, seperti dilansir Antara, Jumat.
Menurutnya, industri penerbangan adalah salah satu kontributor utama perekonomian yang menyumbang lebih dari 2,6 persen produk domestik bruto (PDB) serta menyediakan sekitar 4,2 juta tenaga kerja, sehingga butuh perhatian serius pemerintah.
Denon menjelaskan seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan insentif kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020, namun sejauh ini belum mendapat persetujuan.
Saat ini ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan. Namun, Denon memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.
Selain itu, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah BUMN yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav.
Biaya bahan bakar avtur memakan 40-45 persen biaya operasional maskapai. Sementara, Pertamina adalah penyedia avtur satu-satunya di Tanah Air.
“Itu sebabnya, kami mohon fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” ujarnya.
Sejauh ini, menurut dia, BUMN pun belum menyetujui permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut.
Secara terpisah, CEO Indonesia AirAsia Veranita Yosephine mengungkapkan saat ini maskapai penerbangan sedang bernegosiasi dengan pengelola bandara terkait biaya parkir pesawat yang tidak aktif untuk mendapatkan penundaan atau pemotongan biaya.
Saat ini, salah satu insentif yang telah terealisasi adalah keringanan biaya Passenger Service Charge (PSC) untuk mendorong masyarakat bepergian dengan maskapai penerbangan.
Ke depan, menurut Veranita, pemerintah diharapkan mulai menyiapkan pembukaan pintu perbatasan internasional, terutama dalam pemenuhan syarat-syarat kesehatan yang ditetapkan, seperti keterangan bebas COVID-19 maupun vaksinasi.
“Kami terus berkoordinasi dengan otoritas, asosiasi dan pemangku kepentingan penerbangan agar bisa bertahan dan pulih dari kondisi dampak pandemi ini," ujarnya.
Direktur Utama PT Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo berharap masyarakat memilih moda transportasi udara untuk melakukan perjalanan. Jika vaksinasi dapat terpenuhi sesuai target, dia pun berharap, secara bertahap permintaan penerbangan akan mulai pulih pada 2022.
"Jangka waktu paling optimis yang pernah disebutkan adalah akhir 2023 atau awal 2024, itu baru akan kembali ke angka trafik seperti 2019," ujarnya. *
Menurutnya, industri penerbangan adalah salah satu kontributor utama perekonomian yang menyumbang lebih dari 2,6 persen produk domestik bruto (PDB) serta menyediakan sekitar 4,2 juta tenaga kerja, sehingga butuh perhatian serius pemerintah.
Denon menjelaskan seluruh maskapai nasional sudah mengajukan permohonan insentif kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan Kementerian Keuangan sejak Maret 2020, namun sejauh ini belum mendapat persetujuan.
Saat ini ada sekitar 36 perusahaan yang tergabung dalam asosiasi yang mengajukan permintaan insentif perpajakan. Namun, Denon memaklumi bahwa menghitung besaran Pajak Penghasilan Pasal 21 (PPh 21) puluhan maskapai bukan perkara mudah.
Selain itu, maskapai penerbangan juga membutuhkan fleksibilitas pembayaran ke sejumlah BUMN yang terkait dengan penerbangan, seperti Pertamina, operator bandara Angkasa Pura I dan II, dan AirNav.
Biaya bahan bakar avtur memakan 40-45 persen biaya operasional maskapai. Sementara, Pertamina adalah penyedia avtur satu-satunya di Tanah Air.
“Itu sebabnya, kami mohon fleksibilitas mekanisme pembayaran biaya-biaya, seperti biaya avtur, navigasi, dan biaya-biaya kebandaraan lainnya dari Airnav dan Angkasa Pura,” ujarnya.
Sejauh ini, menurut dia, BUMN pun belum menyetujui permintaan fleksibilitas pembayaran tersebut.
Secara terpisah, CEO Indonesia AirAsia Veranita Yosephine mengungkapkan saat ini maskapai penerbangan sedang bernegosiasi dengan pengelola bandara terkait biaya parkir pesawat yang tidak aktif untuk mendapatkan penundaan atau pemotongan biaya.
Saat ini, salah satu insentif yang telah terealisasi adalah keringanan biaya Passenger Service Charge (PSC) untuk mendorong masyarakat bepergian dengan maskapai penerbangan.
Ke depan, menurut Veranita, pemerintah diharapkan mulai menyiapkan pembukaan pintu perbatasan internasional, terutama dalam pemenuhan syarat-syarat kesehatan yang ditetapkan, seperti keterangan bebas COVID-19 maupun vaksinasi.
“Kami terus berkoordinasi dengan otoritas, asosiasi dan pemangku kepentingan penerbangan agar bisa bertahan dan pulih dari kondisi dampak pandemi ini," ujarnya.
Direktur Utama PT Citilink Indonesia Juliandra Nurtjahjo berharap masyarakat memilih moda transportasi udara untuk melakukan perjalanan. Jika vaksinasi dapat terpenuhi sesuai target, dia pun berharap, secara bertahap permintaan penerbangan akan mulai pulih pada 2022.
"Jangka waktu paling optimis yang pernah disebutkan adalah akhir 2023 atau awal 2024, itu baru akan kembali ke angka trafik seperti 2019," ujarnya. *
Komentar