Sasolahan Sastra Angkat Tema Tumpek Wariga
Pesan Kelestarian Hutan dari Sanggar Kelanguan
Garapan ini ingin menekankan upacara Tumpek Wariga itu bukan saja sebagai upacara pada pohon, tetapi juga ngotonin diri sendiri.
DENPASAR, NusaBali
Garapan seni bertajuk ‘Kaki Kaki I Dadong Kija’ menjadi persembahan oleh Sanggar Kelanguan serangkaian Bulan Bahasa Bali 2021 yang bisa disaksikan melalui chanel YouTube Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Drama Teater ini memberikan sedikit pengingat kepada masyarakat bahwa penting selalu menjaga kelestarian hutan beserta isinya.
Pesan ini digarap dengan sasolahan sastra berdurasi 45 menit yang diiringi dengan gamelan gender, slonding, dan tembang. Adapun, kisah dalam sasolahan sastra ini berawal dari seorang pria tua mirip seorang dalang. Pria tua itu tidak disebutkan nama dan asalnya secara pasti. Ia memaparkan kisah tentang penciptaan dunia oleh Sanghyang Adi Suksma.
Beliau beryoga lalu mencipta hingga sampai tujuh fase. Ciptaan Sanghyang Adi Suksma yang ketujuh (pitung Ksana) berupa sarwaning maurip, sarwaning meletik (segala mahluk hidup) yaitu Wong (manusia), Sato (berbagai bunatang), Mina (berbagai ikan), Manuk (berbagai burung, Taru (berbagai tumbuhan), dan Buku (berbagai jenis tumbuhan yang berbuku).
Berikutnya menceritakan kisah inti dari ide garapan, yaitu tentang tumbuh-tumbuhan. Ida Sanghyang Adi Suksma memerintahkan Ida Sanghyang Sangkara untuk menjaga hutan, mengolah tumbuhan sesuai dengan fungsi dan manfaatkanya. Sanghyang Sangkara kemudian bersemedi untuk menjaga hutan dan lingkungan. Dalam adegan ini, disampaikan pesan, bahwa sangat penting tumbuh-tumbuhan itu bagi kehidupan manusia. Tanpa pohon dan hutan maka akan selalu ada tanah longsor, banjir, kepanasan bahkan kebakaran.
Kisah selanjutnya di sebuah desa yang sedang membuat sesajen untuk persembahan saat hari suci Tumpek Wariga. Ibu-ibu yang tengah mempersiapkan upacara tersebut, tampak akrab sambil bercengkrama. Mereka saling melengkapi dalam membuat sesajen sekaligus melestarikan warisan leluhur. Sementara, anak-anak sedang asyik bermain handpone. Mereka, tidak mau membantu ibunya. Sang ibu marah, kemudian terjadi saling menyalahkan. Sang kakek kemudian mendamaikan, lalu menceritakan makna Tumpek Wariga ini penting dirayakan.
Adegan berikutnya pun sarat dengan pesan, kritik, dan saran. Salah satu pesan yang disampaikan, yaitu tentang penggunaan semat yang tidak ada lagi karena sudah memakai kacip. Walau itu sebagai upaya penyederhanaan, tetapi masyarakat tidak lagi menggunakan semat yang berasal dari pohon ciptaan Tuhan.
Ritual Tumpek Wariga pun digelar. Ibu-ibu bersama warga lainnya menyiapkan segala perlengkapan upacara. Seorang pemangku yang memimpin upacara. Dalam prosesi upacara itu, disebutkan “Kaki kaki i dadong kija, bin selai lemeng Galungan apang mabuah nged…nged….”.
Dalam prosesi upacara itu, lalu muncul Sanghyang Sangkara memberikan anugrah, pohon itu berbuah. Proses berbuahnya pohon itu digambarkan dalam bentuk tari pohon, dimana para penari menggunakan kostum dari daun-dauanan. Para penari itu berhiaskan kostum dari pohon-pohon dibarengi dengan kesenian Nongnongkling dengan tokoh dari bangsa wenara (kera). Ini menyimbolkan kehidupan kera di hutan, dan hutan selalu identik dengan tumbuh-tubuhan.
Penggarap Kadek Widnyana mengatakan, garapan ini ingin menekankan upacara Tumpek Wariga itu bukan saja sebagai upacara pada pohon, tetapi juga ngotonin diri sendiri. Karena, manusia makan buah dan tumbuhan, sehingga dalam diri sendiri juga terdapat unsur pohon dan tumbuhan. “Artinya, upacara ngotonin dalam makro kosmos alam Bhuana Agung juga ngotonin pada tubuh kita Bhuana Alit yaitu ngotonin diri sendiri, sehingga tumbuhan yang ada di Bhuana Agung dan Bhuana Alit menjadi seimbang,” katanya.
Ketua Sanggar Kelanguan ini memaparkan, tema Bulan Bahasa Bali sangat sesuai dengan ide garapan yaitu Tumpek Wariga. “Saya kebetulan memiliki cerita sendiri yang masih terkait dengan tema Bulan Bahasa Bali yaitu Tumpek Wariga. Sebuah tradisi otonin tumbuh-tumbuhan yang ada ciri khasnya. Tumpek Wariga adalah Kearifan Lokal Budaya Bali, agar kita selalu melestarikan alam lingkungan,” terangnya.
Jadilah, Tumpek Wariga ini diangkat dalam sasolahan sastra. “Disitu ada konsep Tri Hita Karana yang salah satunya menjaga lingkungan. Lingkungan ini penting dijaga, karena di jaman sekarang ini ada banyak bencana dimana-mana. Semua itu, kuncinya adalah pohon. Jika tidak ada pohon maka longsor akan terjadi,” tegasnya. *cr74
Pesan ini digarap dengan sasolahan sastra berdurasi 45 menit yang diiringi dengan gamelan gender, slonding, dan tembang. Adapun, kisah dalam sasolahan sastra ini berawal dari seorang pria tua mirip seorang dalang. Pria tua itu tidak disebutkan nama dan asalnya secara pasti. Ia memaparkan kisah tentang penciptaan dunia oleh Sanghyang Adi Suksma.
Beliau beryoga lalu mencipta hingga sampai tujuh fase. Ciptaan Sanghyang Adi Suksma yang ketujuh (pitung Ksana) berupa sarwaning maurip, sarwaning meletik (segala mahluk hidup) yaitu Wong (manusia), Sato (berbagai bunatang), Mina (berbagai ikan), Manuk (berbagai burung, Taru (berbagai tumbuhan), dan Buku (berbagai jenis tumbuhan yang berbuku).
Berikutnya menceritakan kisah inti dari ide garapan, yaitu tentang tumbuh-tumbuhan. Ida Sanghyang Adi Suksma memerintahkan Ida Sanghyang Sangkara untuk menjaga hutan, mengolah tumbuhan sesuai dengan fungsi dan manfaatkanya. Sanghyang Sangkara kemudian bersemedi untuk menjaga hutan dan lingkungan. Dalam adegan ini, disampaikan pesan, bahwa sangat penting tumbuh-tumbuhan itu bagi kehidupan manusia. Tanpa pohon dan hutan maka akan selalu ada tanah longsor, banjir, kepanasan bahkan kebakaran.
Kisah selanjutnya di sebuah desa yang sedang membuat sesajen untuk persembahan saat hari suci Tumpek Wariga. Ibu-ibu yang tengah mempersiapkan upacara tersebut, tampak akrab sambil bercengkrama. Mereka saling melengkapi dalam membuat sesajen sekaligus melestarikan warisan leluhur. Sementara, anak-anak sedang asyik bermain handpone. Mereka, tidak mau membantu ibunya. Sang ibu marah, kemudian terjadi saling menyalahkan. Sang kakek kemudian mendamaikan, lalu menceritakan makna Tumpek Wariga ini penting dirayakan.
Adegan berikutnya pun sarat dengan pesan, kritik, dan saran. Salah satu pesan yang disampaikan, yaitu tentang penggunaan semat yang tidak ada lagi karena sudah memakai kacip. Walau itu sebagai upaya penyederhanaan, tetapi masyarakat tidak lagi menggunakan semat yang berasal dari pohon ciptaan Tuhan.
Ritual Tumpek Wariga pun digelar. Ibu-ibu bersama warga lainnya menyiapkan segala perlengkapan upacara. Seorang pemangku yang memimpin upacara. Dalam prosesi upacara itu, disebutkan “Kaki kaki i dadong kija, bin selai lemeng Galungan apang mabuah nged…nged….”.
Dalam prosesi upacara itu, lalu muncul Sanghyang Sangkara memberikan anugrah, pohon itu berbuah. Proses berbuahnya pohon itu digambarkan dalam bentuk tari pohon, dimana para penari menggunakan kostum dari daun-dauanan. Para penari itu berhiaskan kostum dari pohon-pohon dibarengi dengan kesenian Nongnongkling dengan tokoh dari bangsa wenara (kera). Ini menyimbolkan kehidupan kera di hutan, dan hutan selalu identik dengan tumbuh-tubuhan.
Penggarap Kadek Widnyana mengatakan, garapan ini ingin menekankan upacara Tumpek Wariga itu bukan saja sebagai upacara pada pohon, tetapi juga ngotonin diri sendiri. Karena, manusia makan buah dan tumbuhan, sehingga dalam diri sendiri juga terdapat unsur pohon dan tumbuhan. “Artinya, upacara ngotonin dalam makro kosmos alam Bhuana Agung juga ngotonin pada tubuh kita Bhuana Alit yaitu ngotonin diri sendiri, sehingga tumbuhan yang ada di Bhuana Agung dan Bhuana Alit menjadi seimbang,” katanya.
Ketua Sanggar Kelanguan ini memaparkan, tema Bulan Bahasa Bali sangat sesuai dengan ide garapan yaitu Tumpek Wariga. “Saya kebetulan memiliki cerita sendiri yang masih terkait dengan tema Bulan Bahasa Bali yaitu Tumpek Wariga. Sebuah tradisi otonin tumbuh-tumbuhan yang ada ciri khasnya. Tumpek Wariga adalah Kearifan Lokal Budaya Bali, agar kita selalu melestarikan alam lingkungan,” terangnya.
Jadilah, Tumpek Wariga ini diangkat dalam sasolahan sastra. “Disitu ada konsep Tri Hita Karana yang salah satunya menjaga lingkungan. Lingkungan ini penting dijaga, karena di jaman sekarang ini ada banyak bencana dimana-mana. Semua itu, kuncinya adalah pohon. Jika tidak ada pohon maka longsor akan terjadi,” tegasnya. *cr74
1
Komentar