Beragama dan Berkarakter
Beragama merupakan kaidah yang mengatur hubungan manusia dengan Sang Causa Prima, sesame, dan lingkungannya.
Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Manusia seharusnya menyadari bahwa eksistensinya hanya bernilai, apabila hubungan dengan ketiganya harmonis. Agar kesadaran demikian tumbuh, maka pendidikan agama menjadi amat penting. Namun sering terjadi, pendidikan agama hanya mentransfer ilmu agama semata. Pendidikan agama yang berlatar formal ditengara kurang mampu menggairahkan karakter humanis.
Menurut Mark Rutland (2009), karakter merupakan kualitas moral dan budi pekerti individu. Untuk mencapai kualitas demikian, karakter tidak bisa ditransfer lewat ilmu agama. Karakter seharusnya dilakukan seperti yang ditulis dalam sastra agama; dan, yang tertulis di dalam sastra agama yang harus dilakukan.
Berkarakter merupakan kiat membentuk moral yang utuh, bukan parsial. Secara logika, pembentukan karakter erat kaitannya dengan tingkat keimanan. Semakin banyak ilmu agama ditimba, semakin berkualitas moral seseorang. Tetapi kenyataannya, hal demikian tidak terjadi. Anak-anak sekolah mendapat nilai agama sangat baik. Namun, perilaku keseharian jauh dari yang berkarakter. Apa yang salah di sekolah? Apakah yang diajarkan di sekolah hanya bersifat teoritis normatif. Atau, lingkungan dan zaman sudah menafikan ilmu agama yang normatif? Akibatnya, ilmu agama tidak berperan positif dalam perjalanan kehidupan manusia.
Dewasa ini, banyak anak dan remaja memiliki karakter buruk. Karakter buruk memiliki efek negatif, yaitu, merosotnya moral masyarakat, bangsa, dan negara. Memang amat berlebihan hanya mengkambing-hitamkan mereka. Mereka adalah korban dari sistem kehidupan, yaitu, keluarga, sekolah, masyarakat, dan zaman. Keluarga sebagai tempat utama dan pertama sering gagal sebagai ‘locus of values’. Masih banyak keluarga yang miskin harta dan dewata. Demikian juga sekolah sebagai tempat kedua sering tidak siap sebagai ‘locus of knowledge, skill and attitude’. Sekolah tidak memiliki pendidik dan tenaga kependidikan yang benar-benar kompeten. Guru agama di sekolah sering ditunjuk dari mereka yang bersedia, bukan karena kompetensinya. Sanpras yang sesuai dan lengkap masih jauh dari jangkauan sekolah miskin, dan sebagainya. Artinya, sekolah tidak mampu sebagai tempat pendidikan karakter.
Masyarakat sebagai tempat bersosial sering kehilangan arah. Masyarakat merupakan komunitas yang beragam. Setiap komunitas memiliki daya dan gaya idiosinkratis. Artinya masyarakat memiliki kehidupan beragama dan berkarakter berbeda satu dengan lainnya. Nilai, norma, dan etika sosial sering dinafikan oleh kekuasaan. Implikasinya, masyarakat gagal memberikan pengajaran tentang karakter baik kepada anggotanya.
Ketiga institusi tersebut, yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat sering tidak bisa mengelak dari pengaruh zaman. Sifat zaman sangat memengaruhi olah pikir, olah rasa, olah kata, olahraga, dan olah kalbu. Pada era agrikultural, ‘paras paros salulung sabayantaka’ menjadi ikon kehidupan. Tetapi, pada era digital, semua dielektronikan menjadi mode dinamis. Sekarang ada blackberry, hari berikut ada strawberry, dan hari berikutnya ada berry berry. Ketiganya sebunyi, namun maknanya tersembunyi.
Lalu apakah pendidikan agama dapat membentuk karakter? Secara teoritis, pendidikan agama dapat membentuk karakter. Jika seseorang sudah beriman dan bertakwa dengan sebenar-benarnya, maka segala perbuatannya akan mencerminkan nilai-nilai agama. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman dan bertakwa menggunakan narkoba atau korupsi yang dilarang agama? Namun, pengaruh zaman sering menafikan apa yang normatif menjadi subjektif dan apa yang objektif akan menjadi koruptif. Inilah hubungan unik antara beragama dan berkarakter.
Pada era digital kadang hubungan linier sangat sulit. Hubungan kurvalinier kadang menjanjikan. Pada zaman ideologi yang mahal ini, hubungan simbiosis mutualitis yang pragmatis banyak memberi peluang untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan sesaat menjadi visi dan motivasi yang mendorong orang untuk meraupnya dengan segala daya, gaya, dan cara. Dengan berbagai kiat itu, ada yang sukses, lunglai, terjengkang, terperangkap, dan bahkan berlindung di balik jeruji besi lapas. Inilah ironi dan fakta kehidupan antara beragama dan berkarakter. Hukum sebab akibat tidak selalu sejalan dengan kaidah. Hukum argumentatif sering lebih berkuasa dibandingkan dengan hukum positif. Uang bisa membeli segalanya, namun nurani yang baik tidak terbeli dengan uang. *
Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya
Manusia seharusnya menyadari bahwa eksistensinya hanya bernilai, apabila hubungan dengan ketiganya harmonis. Agar kesadaran demikian tumbuh, maka pendidikan agama menjadi amat penting. Namun sering terjadi, pendidikan agama hanya mentransfer ilmu agama semata. Pendidikan agama yang berlatar formal ditengara kurang mampu menggairahkan karakter humanis.
Menurut Mark Rutland (2009), karakter merupakan kualitas moral dan budi pekerti individu. Untuk mencapai kualitas demikian, karakter tidak bisa ditransfer lewat ilmu agama. Karakter seharusnya dilakukan seperti yang ditulis dalam sastra agama; dan, yang tertulis di dalam sastra agama yang harus dilakukan.
Berkarakter merupakan kiat membentuk moral yang utuh, bukan parsial. Secara logika, pembentukan karakter erat kaitannya dengan tingkat keimanan. Semakin banyak ilmu agama ditimba, semakin berkualitas moral seseorang. Tetapi kenyataannya, hal demikian tidak terjadi. Anak-anak sekolah mendapat nilai agama sangat baik. Namun, perilaku keseharian jauh dari yang berkarakter. Apa yang salah di sekolah? Apakah yang diajarkan di sekolah hanya bersifat teoritis normatif. Atau, lingkungan dan zaman sudah menafikan ilmu agama yang normatif? Akibatnya, ilmu agama tidak berperan positif dalam perjalanan kehidupan manusia.
Dewasa ini, banyak anak dan remaja memiliki karakter buruk. Karakter buruk memiliki efek negatif, yaitu, merosotnya moral masyarakat, bangsa, dan negara. Memang amat berlebihan hanya mengkambing-hitamkan mereka. Mereka adalah korban dari sistem kehidupan, yaitu, keluarga, sekolah, masyarakat, dan zaman. Keluarga sebagai tempat utama dan pertama sering gagal sebagai ‘locus of values’. Masih banyak keluarga yang miskin harta dan dewata. Demikian juga sekolah sebagai tempat kedua sering tidak siap sebagai ‘locus of knowledge, skill and attitude’. Sekolah tidak memiliki pendidik dan tenaga kependidikan yang benar-benar kompeten. Guru agama di sekolah sering ditunjuk dari mereka yang bersedia, bukan karena kompetensinya. Sanpras yang sesuai dan lengkap masih jauh dari jangkauan sekolah miskin, dan sebagainya. Artinya, sekolah tidak mampu sebagai tempat pendidikan karakter.
Masyarakat sebagai tempat bersosial sering kehilangan arah. Masyarakat merupakan komunitas yang beragam. Setiap komunitas memiliki daya dan gaya idiosinkratis. Artinya masyarakat memiliki kehidupan beragama dan berkarakter berbeda satu dengan lainnya. Nilai, norma, dan etika sosial sering dinafikan oleh kekuasaan. Implikasinya, masyarakat gagal memberikan pengajaran tentang karakter baik kepada anggotanya.
Ketiga institusi tersebut, yaitu, keluarga, sekolah, dan masyarakat sering tidak bisa mengelak dari pengaruh zaman. Sifat zaman sangat memengaruhi olah pikir, olah rasa, olah kata, olahraga, dan olah kalbu. Pada era agrikultural, ‘paras paros salulung sabayantaka’ menjadi ikon kehidupan. Tetapi, pada era digital, semua dielektronikan menjadi mode dinamis. Sekarang ada blackberry, hari berikut ada strawberry, dan hari berikutnya ada berry berry. Ketiganya sebunyi, namun maknanya tersembunyi.
Lalu apakah pendidikan agama dapat membentuk karakter? Secara teoritis, pendidikan agama dapat membentuk karakter. Jika seseorang sudah beriman dan bertakwa dengan sebenar-benarnya, maka segala perbuatannya akan mencerminkan nilai-nilai agama. Bagaimana mungkin seseorang yang beriman dan bertakwa menggunakan narkoba atau korupsi yang dilarang agama? Namun, pengaruh zaman sering menafikan apa yang normatif menjadi subjektif dan apa yang objektif akan menjadi koruptif. Inilah hubungan unik antara beragama dan berkarakter.
Pada era digital kadang hubungan linier sangat sulit. Hubungan kurvalinier kadang menjanjikan. Pada zaman ideologi yang mahal ini, hubungan simbiosis mutualitis yang pragmatis banyak memberi peluang untuk meraih kekuasaan. Kekuasaan sesaat menjadi visi dan motivasi yang mendorong orang untuk meraupnya dengan segala daya, gaya, dan cara. Dengan berbagai kiat itu, ada yang sukses, lunglai, terjengkang, terperangkap, dan bahkan berlindung di balik jeruji besi lapas. Inilah ironi dan fakta kehidupan antara beragama dan berkarakter. Hukum sebab akibat tidak selalu sejalan dengan kaidah. Hukum argumentatif sering lebih berkuasa dibandingkan dengan hukum positif. Uang bisa membeli segalanya, namun nurani yang baik tidak terbeli dengan uang. *
Komentar