Refleksi Eksistensi Sektor Pertanian Bali di Masa Pandemi
Pandemi Covid-19 mengakibatkan perekonomian dunia babak belur, termasuk Indonesia. Badan Pusat Statistik melaporkan perekonomian Indonesia pada tahun 2020 mengalami kontraksi hingga 2,07% (y-on-y).
Penulis : Made Sri Dharmawan
Statistisi di BPS Kabupaten Bangli
Artinya, nilai tambah aktivitas ekonomi yang dihasilkan pada periode tersebut cenderung lebih rendah dibandingkan periode sebelumnya. Meskipun demikian, ada hal menarik dari struktur ekonomi Indonesia selama pandemi. Ditinjau dari tiga sektor utama penopang terbesar perekonomian Indonesia yaitu sektor Industri Pengolahan, Pertanian dan Perdagangan, hanya sektor Pertanian yang tangguh menghadapi gejolak pandemi dengan tetap tumbuh sebesar 1,75% di tahun 2020.
Berbicara mengenai pertanian, dalam sejarah Bali dekade terakhir, sektor pertanian Bali selalu menjadi penyangga gagahnya sektor pariwisata. Kontribusi sektor pertanian berada di posisi kedua setelah sektor pariwisata sebagai penyumbang terbesar dalam perekonomian Provinsi Bali. Selain itu sektor pertanian juga selalu menjadi salah satu sektor penyerap tenaga kerja terbesar di Bali dengan menyerap 18,7% dari total hampir 2,5 juta tenaga kerja di tahun 2019. Saat sektor pariwisata jatuh, banyak tenaga kerja yang diduga beralih ke sektor lain (shifting), salah satunya adalah sektor pertanian. Terbukti di tahun 2020, BPS mencatat jumlah tenaga kerja yang diserap sektor pertanian mencapai 545,5 ribu orang atau naik sebesar 17,9% dari tahun sebelumnya. Dengan kata lain, dalam konteks upaya mempertahankan kondisi perekonomian, sektor pertanian sangat diharapkan menjadi tulang punggung yang masih dimiliki Bali disaat sektor pariwisata yang melambat akibat guncangan pandemi Covid-19.
Bali sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengembangkan sektor pertanian. Selain dari sisi geografis, kondisi tanah dan iklim tropis, pertanian di Bali menjadi salah satu daya tarik wisata dunia yang tentu juga ikut berperan dalam suksesnya sektor pariwisata di Bali selama ini. Pertanian juga sangat lekat dengan kepercayaan dan kebudayaan rakyat Bali. Tidak seperti sektor pariwisata yang sangat rapuh akibat gejolak ekonomi, sosial, maupun alam, sektor pertanian adalah sektor yang tangguh dalam menghadapi gejolak. Hal ini terbukti saat setelah krisis sosial (Bom Bali periode tahun 2003 dan 2005) serta krisis ekonomi di tahun 2008, sektor pertanian di Bali tetap tumbuh positif (BPS, 2008). Maka tak heran saat sektor pariwisata terguncang, sektor pertanian masih menjadi harapan rakyat Bali untuk bangkit dan bertahan di masa pandemi minimal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pemerintah provinsi Bali juga sangat berfokus dalam mengembangkan sektor pertanian. Perhatian akan pentingnya pertanian tertuang dalam misi pemerintah Provinsi Bali untuk mewujudkan kemandirian pangan, meningkatkan nilai tambah dan daya saing pertanian serta meningkatkan kesejahteraan petani. Capaian kinerja sektor pertanian pun cukup baik pada tahun 2010 hingga 2019 yang secara rata-rata mampu tumbuh lebih dari 3% per tahun. Selain itu, Nilai Tukar Petani (NTP) Provinsi Bali dari tahun 2010 hingga 2019 secara rata-rata berada diatas angka 105 yang menunjukkan bahwa petani memperoleh untung atau menunjukkan kesejahteraan petani yang cukup baik.
Namun sayangnya di tahun 2020, berbeda dengan keadaan pertanian secara nasional, sektor pertanian di Bali justru mengalami penurunan nilai tambah sebesar 1,06% dari tahun 2019 (y-on-y). Kesejahteraan petani di Bali juga tak seindah yang diharapkan. NTP Provinsi Bali di tahun 2020 secara rata-rata berada dibawah angka 100, yang berarti petani merugi. NTP dibawah 100 juga menunjukkan bahwa pada tingkat tertentu, pendapatan yang diperoleh petani belum mampu mencukupi kebutuhan rumah tangganya. Indikator tersebut menunjukkan bahwa sektor pertanian nyatanya belum optimal menjadi tulang punggung kedua bagi perekonomian Bali saat sektor pariwisata melemah akibat pandemi. Terhambatnya rantai distribusi produsen ke konsumen akibat pandemi diduga menjadi salah satu penyebab merosotnya kinerja sektor pertanian Bali. Sebagai sektor penyangga pariwisata, output pertanian yang pada situasi sebelum pandemi dapat terserap maksimal, otomatis terdampak. Kelebihan produksi lokal tidak terserap di pasar lokal sehingga mengakibatkan petani mengalami kerugian akibat excess supply. Ekspansi pasar dengan cakupan lebih luas pun belum menunjukkan dampak akibat melemahnya perekonomian yang mendorong rumah tangga tidak lebih konsumtif dibandingkan sebelum pandemi.
Guncangan pandemi memang mengakibatkan perekonomian semakin sulit dan rumit. Meskipun melemah, potensi pertanian Bali tetap ada setidaknya untuk membendung daya beli rumah tangga. Meskipun demikian peluang emas mengoptimalkan pertanian Bali yang terintegrasi tampaknya perlu terus dikaji. Optimisme untuk bangkit dari pertanian memerlukan perencanaan strategi yg matang setidaknya diperlukan untuk menjawab mau dibawa kemana masa depan sektor pertanian Bali saat dan setelah pandemi?
*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.
1
Komentar