Pasraman Hindu, Janganlah Guyu!
Kuncinya saat ini di desa dinas. Mau tidak mau, wajib memberikan perhatian pada desa pakraman untuk menggelar pasraman.
KRAMA di Bali belum punya wadah secara intensif untuk pembelajaran praktik keagamaan dan budi pekerti anak-anak Bali. Maka, pasraman Hindu Bali yang dirintis Pemrov Bali sejak beberapa tahun lalu, adalah salah satu jawabannya.
Ide awal pelaksanaan pasraman pada banjar atau desa pakraman di Bali sungguh mulia. Melalui pasraman, liburan sekolah menjadi lebih bermanfaat. Anak-anak yang sebelumnya liar tak karuan cenderung jadi anak sudarma (berperilaku baik dan benar). Di pasraman, anak-anak diajarkan praktik kehidupan beragama Hindu, seperti dharmagita, dharma wacana, majejahitan, menganyam sarana upakara, yoga, serta mengasah keterampilan lainnya.
Namun saat ini keberadaan pasraman Hindu ini makin kembang-kempis. Ada desa pakraman yang masih fanatik dan konsisten menyelenggarakan pasraman. Namun tak sedikit pula yang guyu (tak karuan) menyelanggarakan kegiatan berbasis agama Hindu, budaya dan adat Bali itu. Padahal tujuannya sangat mulia, lebih-lebih di era globalisasi ini yang diracuni praktik pemakaian narkoba, pergaulan bebas, dan kenakalan remaja.
Petajuh atau Wakil Ketua Bendesa Agung Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali Dr I Gusti Made Ngurah, tak memungkiri bahwa eksistensi pasraman saat ini sedang redup. “Memang ada pasraman yang bagus sekali cara pengajarannya. Tapi ada juga desa pakraman yang tidak membuat pasraman,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Jalan Ratna, Gang Teratai, Denpasar, Kamis (24/11).
Berapa pasraman di Bali yang masih eksis ataupun yang mati suri, pihaknya mengaku belum mengantongi data pasti. Salah satu faktor yang menyebabkan desa pakraman di Bali enggan membuat pasraman karena ribetnya administrasi pendanaan. Sebab untuk tahun 2016 ini, kegiatan pasraman harus dikonsep oleh desa dinas. Hal ini sejak pemberlakuan efektif UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa. Kini sistem penganggaran untuk Desa Pakraman, khususnya untuk kegiatan pasraman berbeda dengan tahun-tahun lalu. Dulu, anggaran langsung dikasi bendesa dan dikerjakan sesuai proposal, baru laporannya disetor ke dinas, dibawah pengawasan kepala desa. ‘’Tapi tahun 2016 ini, bantuan itu ke dinas. Dari dinas ke desa pakraman, bantuannya tidak boleh langsung berupa uang, harus program. Jadi kesulitannya disini,” terangnya.
Di satu sisi, Desa Pakraman tidak bisa melakukan apa-apa tanpa anggaran dari dinas. Di sisi lain, desa dinas memiliki keterbatasan dari segi SDM. “Akhirnya sampai sekarang ini belum banyak yang bisa merealisasikan anggaran itu,” jelasnya.
Besaran anggaran untuk pelaksanaan pasraman di 1.483 Desa Pakraman di Bali, kata dosen tidak tetap IHDN Denpasar ini 20 persen dari total bantuan ke masing-masing Desa Pakraman. Misalkan, untuk Desa Pakraman A mendapat bantuan Rp 100 juta, artinya untuk pelaksanaan pasraman dijatah Rp 20 juta. Bantuan ini sendiri, sudah bergulir sejak tahun 2004 hingga saat ini. “Pemberian bantuan ini setiap tahun ada. Tapi dalam perjalanan, akibat dari kesukaran administrasi bisa saja ya agak mundur pelaksanaannnya. Bahkan mungkin tidak ada yang bisa melaksanakan,” jelasnya.
Karena pentingnya pelaksanaan pasraman untuk membentuk karakter anak yang agamais dan sosialis, Ketua Umum Yayasan Sabha Budaya Hindu Bali ini berharap kerjasama dari berbagai pihak, terutama pemerintah. “Pemerintah harus beri perhatian pasraman Hindu dengan menyediakan sistem pendanaan yang tidak ruet. Sebab masyarakat desa sangat takut kalau-kalau salah administrasi, fatal akibatnya. Yang tak kepikiran korupsi, akibat salah pelaporan bisa jadi terjerat hukum,” jelasnya. Selain itu, pihaknya juga meminta kepada desa dinas untuk bersedia bekerja ekstra. “Kuncinya saat ini di desa dinas. Mau tidak mau, wajib memberikan perhatian pada desa pakraman untuk menggelar pasraman. Pasraman ini hanya 24 kali pertemuan, atau sama dengan 1 semester 6 bulan,” ujarnya. N vi
Komentar