Sabha Pandita Imbau Sulinggih Tidak Bermedsos
Tak dapat dipungkiri pula, medsos mengandung beragam informasi keduniawian. Sehingga bertolak dari persyaratan utama menjadi orang suci.
GIANYAR, NusaBali
Sabha Pandita PHDI Kabupaten Gianyar sepakat mengimbau kepada para sulinggih untuk tidak lagi berselancar di dunia maya atau medsos (media sosial).
Sebab tak dipungkiri, medsos saat ini telah menjadi godaan duniawi bagi siapa pun. "Imbauan untuk tidak bermedsos bagi sulinggih ini inisiatif dari beliau (Sabha Pandita, Red)," jelas Ketua PHDI Kabupaten Gianyar I Wayan Ardana,63, saat ditemui belum lama ini.
Namun demikian, jelas dia, kesepakatan itu hanya sekadar imbauan. "Mudah-mudahan itu diikuti karena masih bentuknya imbauan," jelasnya. Kesepakatan sulinggih tidak bermedsos ini, kata Ardana, tercetus semenjak ramainya pemberitaan miring terkait orang suci. Hal ini dirasakan turut berpengaruh pada citra sulinggih secara umum di masyarakat. "Dengan adanya berita pelanggaran oleh oknum sulinggih, maka jadi agak miring kepercayaan terhadap sulinggih," ungkapnya.
Karena itu, jelas dia, Sabha Pandita yang anggotanya adalah para sulinggih se Kabupaten Gianyar membuat kesepakatan. Mantan Sekretaris DPRD Gianyar asal Desa Melinggih, Kecamatan Payangan ini menjelaskan, tak dapat dipungkiri pula, medsos mengandung beragam informasi keduniawian. Sehingga bertolak dari persyaratan utama menjadi orang suci yang harus lepas dari unsur keduniawian. "Harus lepas keduniawian. Di medsos kan ada semua. Yang tidak bisa kita batasi, namun bisa dengan membatasi diri. Masa misalnya, sulinggih hiburannya joged," terangnya.
Sepengetahuan Ardana, sebelum mencuat kasus terkait sulinggih diduga tergsangkut kasus seksual, memang masih ada sejumlah sulinggih di Gianyar yang aktif bermedsos. "Sebelumnya, saya lihat masih ada," ujarnya. Nah, dengan Sabha Pandita Gianyar sepakat mengimbau tidak bermedsos ini, dia mengharapkan bisa diterapkan secara maksimal.
Dalam kesempatan itu, Ardana juga menyebutkan beberapa persyaratan menjadi sulinggih sesuai pedoman PHDI pusat. Diantaranya, sehat fisik dan mental ditunjukkan melalui surat keterangan sehat dan psikologi. Kemudian paham 3 bahasa, Indonesia, Bali dan Sanskerta, serta siap melepas kehidupan walaka. "Karena ketika sudah menjadi sulinggih, sudah amari aran (berganti nama)," terang Ardana.
Selain itu, tambah Ardana, sulinggih semestinya tidak lagi memikirkan tanggung jawab ekonomi sehingga fokus ke kerohanian. "Ini yang berat. Konsentrasinya kehidupan keagamaan," ujarnya. Dari faktor usia pula, kata Ardana minimal 40 tahun.
Namun dia mengakui, keputusan untuk menjadi orang suci itu adalah hak asasi manusia. Sehingga tidak ada yang bisa melarang. "Brahmana itu manusia utama. Kalau bisa, semua orang mencapainya. Karena itu tujuan hidup sesuai konsep catur asrama," ujarnya.
Dia mengakui ada sejumlah sulinggih yang proses dwijatinya tidak melibatkan PHDI. "Ini yang kami tidak mampu sentuh. Karena pada intinya, menyucikan diri adalah hak seseorang. Tidak boleh ada orang melarang, karena itu hak asasi sepenuhnya," jelasnya.
Di Gianyar, kata Ardana, ada sekitar 300an sulinggih yang terdaftar dan tergabung Sabha Pandita. Sedangkan ada sekitar 5 - 6 sulinggih di luar naungan PHDI. Salah satu yang tak terdaftar yakni oknum sulinggih yang sedang berkasus, usia 36 tahun asal Desa/Kecamatan Tegallalang. Berkaca dari kasus inilah, PHDI Gianyar sudah mengusulkan pada PHDI Pusat agar pedoman diksa pariksa (pengujian calon sulinggih) ditinjau lagi. "Tambah satu lembaga Kerta Diksa, yang memang nanti bertugas untuk mengawasi sesana sulinggih yang melanggar dari sesana kawikon, " jelasnya.
Lembaga Kerta Diksa ini, kata Ardana mendesak untuk dibentuk beranggotakan sulinggih senior untuk mengawasi kasulinggihan. "Harus dibentuk, karena sekarang yang mengawasi sulinggih, hanya Nabe saja. Hanya Nabe yang berwenang menghukum, nah kalau Nabe lebar (meninggal), siapa yang berhak menghukum. Kerta Diksa ini kewenangannya menegur jika ada sulinggih yang melanggaran," ujarnya.
Dia juga mengusulkan ke PHDI Pusat untuk membentuk semacam peraturan. Setiap umat yang menyucikan diri wajib melalui lembaga. "Manakala tidak melalui lembaga, sanskinya tidak diakui pemerintah," jelasnya.
Kata Ardana, jumlah sulinggih sekitar 300an di Gianyar masih kurang. Sebab dalam satu hari, satu sulinggih masih ada yang muput lebih dari 5 prosesi upakara. Setiap sulinggih idealnya muput sehari tiga kali. Jika lebih dari itu, maka akan payah terutama karena usia uzur serta lokasi muput jauh. Menurutnya, satu desa dengan 3 banjar, idealnya ada satu sulinggih.*nvi
Sebab tak dipungkiri, medsos saat ini telah menjadi godaan duniawi bagi siapa pun. "Imbauan untuk tidak bermedsos bagi sulinggih ini inisiatif dari beliau (Sabha Pandita, Red)," jelas Ketua PHDI Kabupaten Gianyar I Wayan Ardana,63, saat ditemui belum lama ini.
Namun demikian, jelas dia, kesepakatan itu hanya sekadar imbauan. "Mudah-mudahan itu diikuti karena masih bentuknya imbauan," jelasnya. Kesepakatan sulinggih tidak bermedsos ini, kata Ardana, tercetus semenjak ramainya pemberitaan miring terkait orang suci. Hal ini dirasakan turut berpengaruh pada citra sulinggih secara umum di masyarakat. "Dengan adanya berita pelanggaran oleh oknum sulinggih, maka jadi agak miring kepercayaan terhadap sulinggih," ungkapnya.
Karena itu, jelas dia, Sabha Pandita yang anggotanya adalah para sulinggih se Kabupaten Gianyar membuat kesepakatan. Mantan Sekretaris DPRD Gianyar asal Desa Melinggih, Kecamatan Payangan ini menjelaskan, tak dapat dipungkiri pula, medsos mengandung beragam informasi keduniawian. Sehingga bertolak dari persyaratan utama menjadi orang suci yang harus lepas dari unsur keduniawian. "Harus lepas keduniawian. Di medsos kan ada semua. Yang tidak bisa kita batasi, namun bisa dengan membatasi diri. Masa misalnya, sulinggih hiburannya joged," terangnya.
Sepengetahuan Ardana, sebelum mencuat kasus terkait sulinggih diduga tergsangkut kasus seksual, memang masih ada sejumlah sulinggih di Gianyar yang aktif bermedsos. "Sebelumnya, saya lihat masih ada," ujarnya. Nah, dengan Sabha Pandita Gianyar sepakat mengimbau tidak bermedsos ini, dia mengharapkan bisa diterapkan secara maksimal.
Dalam kesempatan itu, Ardana juga menyebutkan beberapa persyaratan menjadi sulinggih sesuai pedoman PHDI pusat. Diantaranya, sehat fisik dan mental ditunjukkan melalui surat keterangan sehat dan psikologi. Kemudian paham 3 bahasa, Indonesia, Bali dan Sanskerta, serta siap melepas kehidupan walaka. "Karena ketika sudah menjadi sulinggih, sudah amari aran (berganti nama)," terang Ardana.
Selain itu, tambah Ardana, sulinggih semestinya tidak lagi memikirkan tanggung jawab ekonomi sehingga fokus ke kerohanian. "Ini yang berat. Konsentrasinya kehidupan keagamaan," ujarnya. Dari faktor usia pula, kata Ardana minimal 40 tahun.
Namun dia mengakui, keputusan untuk menjadi orang suci itu adalah hak asasi manusia. Sehingga tidak ada yang bisa melarang. "Brahmana itu manusia utama. Kalau bisa, semua orang mencapainya. Karena itu tujuan hidup sesuai konsep catur asrama," ujarnya.
Dia mengakui ada sejumlah sulinggih yang proses dwijatinya tidak melibatkan PHDI. "Ini yang kami tidak mampu sentuh. Karena pada intinya, menyucikan diri adalah hak seseorang. Tidak boleh ada orang melarang, karena itu hak asasi sepenuhnya," jelasnya.
Di Gianyar, kata Ardana, ada sekitar 300an sulinggih yang terdaftar dan tergabung Sabha Pandita. Sedangkan ada sekitar 5 - 6 sulinggih di luar naungan PHDI. Salah satu yang tak terdaftar yakni oknum sulinggih yang sedang berkasus, usia 36 tahun asal Desa/Kecamatan Tegallalang. Berkaca dari kasus inilah, PHDI Gianyar sudah mengusulkan pada PHDI Pusat agar pedoman diksa pariksa (pengujian calon sulinggih) ditinjau lagi. "Tambah satu lembaga Kerta Diksa, yang memang nanti bertugas untuk mengawasi sesana sulinggih yang melanggar dari sesana kawikon, " jelasnya.
Lembaga Kerta Diksa ini, kata Ardana mendesak untuk dibentuk beranggotakan sulinggih senior untuk mengawasi kasulinggihan. "Harus dibentuk, karena sekarang yang mengawasi sulinggih, hanya Nabe saja. Hanya Nabe yang berwenang menghukum, nah kalau Nabe lebar (meninggal), siapa yang berhak menghukum. Kerta Diksa ini kewenangannya menegur jika ada sulinggih yang melanggaran," ujarnya.
Dia juga mengusulkan ke PHDI Pusat untuk membentuk semacam peraturan. Setiap umat yang menyucikan diri wajib melalui lembaga. "Manakala tidak melalui lembaga, sanskinya tidak diakui pemerintah," jelasnya.
Kata Ardana, jumlah sulinggih sekitar 300an di Gianyar masih kurang. Sebab dalam satu hari, satu sulinggih masih ada yang muput lebih dari 5 prosesi upakara. Setiap sulinggih idealnya muput sehari tiga kali. Jika lebih dari itu, maka akan payah terutama karena usia uzur serta lokasi muput jauh. Menurutnya, satu desa dengan 3 banjar, idealnya ada satu sulinggih.*nvi
1
Komentar