MUTIARA WEDA : Mencari 'Les' Pada Pohon Pisang
Dengan menguasai doktrin Veda, Aranyaka dan ajaran lainnya, mereka tidak dapat melihat arti sejati kitab tersebut, seperti halnya seseorang yang ingin menemukan kayu keras dalam sebatang pohon pisang Seorang anak kecil biasanya bicara jujur, mengatakan apa adanya terhadap apa yang dia lihat, dengar, dan rasakan.
Vedavādān atikramya sāstrāny āranyakāni ca
vipātya kadaliskandham sāram dadrsire na te
(Santiparva, 19.17)
Suatu ketika ada seorang anak yang protes kepada orangtuanya karena sering dimarah-marah.Isi protesnya seperti ini: “Bapak saat ngisi ceramah dimana-mana selalu bicara tentang prema atau cinta kasih, ahimsa, akroda, dan yang lainnya. Tapi kenapa bapak tidak bisa seperti yang bapak nasihatkan kepada orang lain pada saya, sedikit-sedikit marah? Apa bapak baca buku suci hanya untuk bisa ngomong-ngomong saja di depan orang?”
Kita sepertinya bisa menjadi barang bukti atas protes anak itu. Kita membaca banyak kitab suci, mendengarkan ceramah suci, melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan tradisi keagamaan, tetapi, apa yang hadir di kepala kita hanya berupa pengetahuan, berupa topeng yang menutupi ketelanjangan karakter sejati kita. Oleh karena kita tahu bahwa marah itu tidak baik, maka kita selalu menekan amarah kita di depan orang agar tampak religius dan alim. Tetapi ketika orang terdekat (seperti anak, istri) sedikit saja memancing, amarah kita menyembur begitu saja tanpa ada yang membatasi. Dalam ajaran agama dikatakan bahwa ramah dan murah senyum adalah baik dan agar kita kelihatan baik, maka kita selalu senyum dan menyapa kepada siapa pun yang ada di dekat kita. Tetapi pada saat di rumah, kita sangat cemberut dan bermuka masam, seolah dunia akan kiamat.
Apa yang dinyatakan di dalam teks Santiparwa di atas bisa dijadikan justifikasi bahwa seperti itulah kita. Pengetahuan kita atas kitab suci tidak bisa menjadi bukti diri (self evidence). Perilaku baik kita tidak ada hubungannya dengan kebaikan diri kita. Kita berbuat baik oleh karena kitab suci mengajarkan seperti demikian. Kita berbuat baik bukan karena diri kita yang baik. Kebaikan kita hanya topeng agama atau ajaran kitab suci, sehingga kita tidak mampu berbuat baik secara penuh, sebab memakai topeng tidak bisa terus-menerus, suatu saat kita melepaskannya untuk mendapatkan sedikit angin. Muka kita yang sebenarnya pun sesekali kelihatan.
Menurut teks di atas, sepertinya kita susah mencari orang baik, oleh karena bukti dirinya. Mencari ‘uyung’ (kayu keras) di dalam sebatang pohon pisang sepertinya mustahil. Apa yang kita bicarakan belum tentu seperti relitas diri kita yang sebenarnya. Mengapa bisa seperti itu? Mengapa pengetahuan tentang agama tidak menjamin seseorang telah menjadi seperti itu?
Sepertinya di dalam diri ada sebuah blok atau penghalang utama yang menjadikan kesadaran kita tidak berkembang meskipun ajaran yang kita pelajari adalah Yang Tertinggi. Kita sangat memahami bahwa amarah itu tidak baik, tetapi ketika ada yang ‘menyentil’, amarah kita muncrat tanpa kendali. Ini mengindikasikan bahwa ada sebuah poros ‘kemarahan’ yang ada di dalam diri tidak ada hubungannya dengan memori dan pengetahuan kita. Boleh kita mengatahui apapun tentang kebaikan, tetapi jika di dalam diri ada poros ‘ketidakbaikan,’ seluruh pengetahuan itu tidak akan berfungsi. Pengetahuan kita tidak ada hubungannya dengan diri kita itu. Pengetahuan itu hanya menempel di dalam otak kita. Sedangkan diri kita yang sebenarnya bersama dalam poros ‘ketidakbaikan’ itu. Pengetahuan kita boleh tentang kebaikan, tetapi karakter kita akan selalu mengikuti poros ‘ketidakbaikan’ tersebut. Pengetahuan kita, sebaik apapun itu, sepanjang belum menjadi karakter, hanya akan menjadi bunga atau hiasan kehidupan kita, sementara akar yang men
utrisi kita adalah poros ‘ketidakbaikan’ itu sendiri. Dengan pengetahuan seseorang dengan sendirinya menjadi cantik, karena pengetahuan adalah hiasan, tetapi orang yang ada di dalam diri yang dihiasi tersebut tetap sama, tidak cantik secantik hiasannya.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
vipātya kadaliskandham sāram dadrsire na te
(Santiparva, 19.17)
Suatu ketika ada seorang anak yang protes kepada orangtuanya karena sering dimarah-marah.Isi protesnya seperti ini: “Bapak saat ngisi ceramah dimana-mana selalu bicara tentang prema atau cinta kasih, ahimsa, akroda, dan yang lainnya. Tapi kenapa bapak tidak bisa seperti yang bapak nasihatkan kepada orang lain pada saya, sedikit-sedikit marah? Apa bapak baca buku suci hanya untuk bisa ngomong-ngomong saja di depan orang?”
Kita sepertinya bisa menjadi barang bukti atas protes anak itu. Kita membaca banyak kitab suci, mendengarkan ceramah suci, melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan tradisi keagamaan, tetapi, apa yang hadir di kepala kita hanya berupa pengetahuan, berupa topeng yang menutupi ketelanjangan karakter sejati kita. Oleh karena kita tahu bahwa marah itu tidak baik, maka kita selalu menekan amarah kita di depan orang agar tampak religius dan alim. Tetapi ketika orang terdekat (seperti anak, istri) sedikit saja memancing, amarah kita menyembur begitu saja tanpa ada yang membatasi. Dalam ajaran agama dikatakan bahwa ramah dan murah senyum adalah baik dan agar kita kelihatan baik, maka kita selalu senyum dan menyapa kepada siapa pun yang ada di dekat kita. Tetapi pada saat di rumah, kita sangat cemberut dan bermuka masam, seolah dunia akan kiamat.
Apa yang dinyatakan di dalam teks Santiparwa di atas bisa dijadikan justifikasi bahwa seperti itulah kita. Pengetahuan kita atas kitab suci tidak bisa menjadi bukti diri (self evidence). Perilaku baik kita tidak ada hubungannya dengan kebaikan diri kita. Kita berbuat baik oleh karena kitab suci mengajarkan seperti demikian. Kita berbuat baik bukan karena diri kita yang baik. Kebaikan kita hanya topeng agama atau ajaran kitab suci, sehingga kita tidak mampu berbuat baik secara penuh, sebab memakai topeng tidak bisa terus-menerus, suatu saat kita melepaskannya untuk mendapatkan sedikit angin. Muka kita yang sebenarnya pun sesekali kelihatan.
Menurut teks di atas, sepertinya kita susah mencari orang baik, oleh karena bukti dirinya. Mencari ‘uyung’ (kayu keras) di dalam sebatang pohon pisang sepertinya mustahil. Apa yang kita bicarakan belum tentu seperti relitas diri kita yang sebenarnya. Mengapa bisa seperti itu? Mengapa pengetahuan tentang agama tidak menjamin seseorang telah menjadi seperti itu?
Sepertinya di dalam diri ada sebuah blok atau penghalang utama yang menjadikan kesadaran kita tidak berkembang meskipun ajaran yang kita pelajari adalah Yang Tertinggi. Kita sangat memahami bahwa amarah itu tidak baik, tetapi ketika ada yang ‘menyentil’, amarah kita muncrat tanpa kendali. Ini mengindikasikan bahwa ada sebuah poros ‘kemarahan’ yang ada di dalam diri tidak ada hubungannya dengan memori dan pengetahuan kita. Boleh kita mengatahui apapun tentang kebaikan, tetapi jika di dalam diri ada poros ‘ketidakbaikan,’ seluruh pengetahuan itu tidak akan berfungsi. Pengetahuan kita tidak ada hubungannya dengan diri kita itu. Pengetahuan itu hanya menempel di dalam otak kita. Sedangkan diri kita yang sebenarnya bersama dalam poros ‘ketidakbaikan’ itu. Pengetahuan kita boleh tentang kebaikan, tetapi karakter kita akan selalu mengikuti poros ‘ketidakbaikan’ tersebut. Pengetahuan kita, sebaik apapun itu, sepanjang belum menjadi karakter, hanya akan menjadi bunga atau hiasan kehidupan kita, sementara akar yang men
utrisi kita adalah poros ‘ketidakbaikan’ itu sendiri. Dengan pengetahuan seseorang dengan sendirinya menjadi cantik, karena pengetahuan adalah hiasan, tetapi orang yang ada di dalam diri yang dihiasi tersebut tetap sama, tidak cantik secantik hiasannya.
I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar
1
Komentar