Nyepi yang Paling Sunyi
Tahun ini laki-laki itu 65, pensiun, berarti sudah 65 kali ia menikmati Nyepi. Tapi, sesungguhnya baru ketika di sekolah dasar ia mulai bisa merasakan hari raya sekali setahun itu.
Di sekolah menengah ia sanggup meresapinya, hari yang baginya sangat menarik, dan ganjil. Ia pernah mengalami Nyepi seperti biasa saja, cuma hari yang tidak begitu sibuk. Beberapa anak malah menunggu hari itu untuk bisa bebas lepas main sepak bola sore di jalan umum yang beraspal. Menjelang malam malah banyak orang hilir mudik bertandang ke tetangga, bertukar cerita dan minum-minum.
Tahun 1980, ketika melakukan kuliah kerja nyata di Desa Datah, Kecamatan Abang, Karangasem, lelaki itu malah terkesiap: tak ada Nyepi di bulan Maret itu. Pasar desa tetap buka, orang-orang belanja sambil menggendong bayi. Nyepi atau tidak sama saja di hari-hari itu. Dia bertanya-tanya, apakah dusun ini mengenal Nyepi? Apakah Nyepi memang harus dirayakan dengan sepi dan sunyi?
Sebelum ditetapkan Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Nyepi dirayakan berbeda-beda di Bali. Ada desa yang menggelar Nyepi tidak barengan di bulan Maret, sehingga satu desa dengan tetangganya merayakan Nyepi di hari berbeda. Warga dari desa tetangga dilarang melintas. Nyepi menjadi sunyi urusan sendiri-sendiri. Tahun 1983, Nyepi serentak di Tanah Air, karena sejak itu Nyepi jadi hari libur nasional. Alangkah riang gembira orang Bali menyambut keputusan pemerintah itu.
Lelaki itu kemudian mencatat, hari-hari Nyepi menjadi saat untuk bergembira, karena ada pawai ogoh-ogoh. Ia menjadi hari yang dipersiapkan, padahal dulu-dulu tidak. Yang meriah itu Galungan, bukan Nyepi. Karena itu ketika Galungan orang mepatung, potong babi, tidak saat Nyepi. Tapi tidak berarti Nyepi lantas kalah meriah. Orang-orang menyambutnya dengan belanja besar ke swalayan satu-dua hari menjelang Nyepi.
Dulu, sebelum ada internet dan acara hiburan di televisi tidak meriah, orang-orang antre menyewa movie laser disc untuk ditonton pas Nyepi. Es krim, daging asap, atau ikan laut buat dipanggang, diborong. Banyak yang membeli kebutuhan buat lebih seminggu, padahal Nyepi cuma sehari. Lelaki itu mengalami, banyak keluarga besar kumpul-kumpul ketika Nyepi. Mereka menikmati kebersamaan dengan kemeriahan, meski yang muncul di media pekabaran adalah berita mereka menikmati sunyi dengan khusuk, pertanda betapa teguh ketakwaan manusia Bali.
Nyepi pernah menjadi kesempatan untuk pamer. Banyak yang menghabiskan dua malam-tiga siang di hotel-hotel bersama pasangan dan keluarga. Tahun 80-90an hotel-hotel menjual paket Nyepi, dengan hiburan penuh yang memanjakan rasa. Paket itu mahal-mahal, dan laris dibeli mereka yang tidak ingin tersiksa di rumah karena harus bergelap-gelap. Di hotel mereka bisa bersenang-senang, makan enak, lampu terang benderang, dan bisa berenang di kolam puas sesuka hati.
Biro perjalanan menjual paket Nyepi buat wisatawan, menjemput turis ke bandara pas Nyepi, lalu mengajak mereka keliling menikmati jalan-jalan senyap, sebelum akhirnya dilarang pemerintah. Tak ada lagi hiburan di hotel dan jalan-jalan tur paket Nyepi.
Tapi, hari menjelang Nyepi tetap saja meriah: ada pawai ogoh-ogoh, letusan meriam bambu, bau karbit, dan kembang api. Di hari Nyepi, tak sedikit ogoh-ogoh usai diarak digeletakkan begitu saja menjadi bangkai seni di tepi jalan yang kotor oleh sampah semalam.
Pandemi Covid kemudian mengubah segalanya. Melasti ke laut dan ke sumber mata air, yang menandai kemeriahan awal Nyepi, tak lagi semarak. Orang-orang tak belanja banyak karena uang tak mencukupi. Mereka mulai melakoni Nyepi dengan sederhana, prihatin, pengeluaran harus ditekan-tekan. Banyak kecemasan dan kesedihan merebak, karena beruntun sekian orang dekat dan terkasih, meninggal diduga digerogoti Covid.
Kepada rekan-rekannya di luar Bali, laki-laki itu berkabar lewat WA, sunyi sekali Nyepi tahun ini. “Inilah Nyepi yang paling sunyi,” tulisnya. “Nyepi yang sejati, puncak hening dari sunyi.”
Ia berkabar, virus telah memaksa orang-orang Bali menghayati hakikat Nyepi yang sesungguhnya. Dulu-dulu mereka seharian di rumah bolak-balik buka-tutup kulkas dan menyantap macam-macam nyamikan: roti, es krim, buah, daging, arak-brem, wine atau bir. Sekarang mereka duduk diam, cuma sekali-sekali buka kulkas, dan tak mengambil sejumput makanan pun, karena makanan memang tidak tersedia. Nyepi kali ini mengajar orang Bali untuk menghayati perut sunyi. Alangkah indah kalau Nyepi itu benar-benar sunyi, saat menghayati kebesaran dan kekuasaan semesta dalam keprihatinan. *
Aryantha Soethama
Pengarang
Komentar