Launching Puisi Garin Nugroho Dibalut Pentas Treatrikal
MANGUPURA, NusaBali
Sutradara ternama tanah air, Garin Nugroho, melaunching buku antologi puisi bertajuk ‘Adam, Hawa, dan Durian’, dalam kegiatan yang dibalut pentas musikalisasi puisi dan pembacaan treatrikal puisi di Ratu Restaurant, Jalan Poppies Lane 2 Kelurahan Legian, Kecamatan Kuta, Badung, Sabtu (27/3) malam.
Pentas kolaborasi secara live streaming melalui akun instagram Ratu Restaurant ini mendapat apresiasi luar biasa, karena memantik bangkitnya gairah seni di masa pandemi ini.
Pembacaan treatrikal puisi ‘Segalanya Cinta’ berdasarkan buku puisi ‘Adam, Hawa, dan Durian’ tersebut dipentaskan langsung oleh penulisnya, Garin Nugroho, bersama penyanyi I Gusti Ayu Laksmi, penyair Warih Wisatsana, Pranita Dewi, dan penari Jasmine Okubo. Pementasan ini disutradarai oleh Legu Adi Wiguna.
Selain itu, ada juga musikalisasi puisi dari Kelompok Seketika, serta sambutan oleh Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana SSn MSN, dan testimoni budayawan Jean Couteau. Aktris Happy Salma juga ikut membuka pentas kolaborasi tersebut.
Penggagas acara, Tommy F Awuy, mengatakan peluncuran buku antologi puisi berbalut musikalisasi puisi dan treatrikal puisi tersebut sesungguhnya merupakan tantangan darinya kepada Garin Nugroho. Semula, tantangannya adalah menyelenggarakan acara di tengah hutan kecil kawasan Desa Bungbungan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung.
“Suatu hari, saya ingat Garin Nugroho akan melaunching buku, karena kebetulan saya yang mengisi kata pengantar di buku itu. Saat menantang Garin, waktu itu saya lagi ada di Bungbungan, di tengah hutan kecil untuk survei lokasi pendampingan dan pelatihan seni,” kenang Tommy Awuy yang ditemui NusaBali seusai acara malam itu.
“Saya kemudian menantang dia, launching buku di sini saja di tengah hutan. Garin pun bilang sangat menarik tantangannya,” lanjut dosen Filsafat di Universitas Indonesia ini.
Tommy Awuy menyebutkan, ketika mengunjungi Ratu Restaurant dan berkenalan dengan ownernya, Tantri Kusuma, dia putuskan menggeser acara yang semula ingin diadakan di tengah hutan menjadi di Ratu Restauran---yang lokasinya tak jauh dari Tugu Peringatan Bom Bali di Legian. Keputusan ini diambil karena Tommy merasa ada kesamaan keinginan untuk menggairahkan kreativitas dan kehidupan seni di Bali, yang seolah mati suri sejak pandemi Covid-19.
“Suatu hari, saya bergeser ke sini (Ratu Restauran) bersama teman-teman. Kenal-lah saya dengan Tantri Kusuma yang juga ingin membuat acara untuk menghidupkan gairah seni dan budaya di restorannya ini. Akhirnya, saya kontak sahabat-sahabat saya seperti Ayu Laksmi, Happy Salma, Warih Wisatsana, dan beberapa seniman muda dan potensial untuk untuk diajak berkolaborasi di sini,” papar Tommy sem-bari mengatakan acara live streaming di instagram Ratu Restaurant ini diikuti sangat antusias oleh para pengguna media sosial.
Sementara, acara yang dimulai Sabtu petang tepat pukul 18.00 Wita ini dibuka dengan sajian pembacaan puisi oleh aktris Happy Salma---yang notabene menantu mantan anggota Fraksi Golkar DPRD Bali dari Puri Agung Ubud, Tjokorda Raka Kerthyasa alias Cok Ibah. Kemudian, Rektor ISI Denpasar Prof Kun Adnyana memberikan sambutan singkat.
Menurut Prof Kun, tak pernah terpikirkan olehnya akan bertemu tubuh-tubuh puitik seperti Garin Nugroho, Tommy Awuy, Ayu Laksmi, Happy Salma, Warih Wisatsana, dan penyair lainnya dalam satu kolaborasi seni yang apik seperti ini. Dalam memaknai buku antrologi puisi berjudul ‘Adam, Hawa, dan Durian’ karya Garin Nugroho, Prof Kun menilai sosok Garin Nugroho mempertemukan sesuatu yang sebenarnya tidak berhubungan, lalu merajut sesuatu yang tercerai berai. Dipilihnya durian sebagai perayaan cinta, adalah penggambaran pengalaman harian.
“Tawaran durian menjadi simbol untuk perayaan cinta, saya rasa penting. Karena di sana ada sisi sakit, sisi teraniaya, tapi ada lezat yang tidak bisa tergambarkan rasanya. Saya rasa itu bukan catatan harian, tapi pengalaman harian. Bagaimana tubuh menjadi pengetahuan dan bahasa mewakili keseluruhan pengalaman,” tandas Prof Kun, yang baru sepekan meninggalkan jabatan sebagai Kadis Kebudayaan Provinsi Bali pasca dilantik menjadi Rektor ISI Denpasar.
Sementara itu, usai sambutan Prof Kun, ada testimoni dari Jean Couteau, budayawan asal Prancis yang lama tinggal menetap di Bali. Dilanjut kemudian suguhan indah permainan biola Mia Ismi dan petikan gitar Tommy F Awuy, serta diskusi tentang buku ‘Adam, Hawa, dan Durian’. Suasana semakin menghangat ketika musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Kelompok Seketika memecahkan keheningan Legian, yang sudah setahun tanpa keramaian.
Pada puncak acara, dipersembahkan pembacaan treatrikal puisi bertajuk ‘Segalanya Cinta’ oleh penyair Warih Wisatsana, Ayu Laksmi, Pranita Dewi, dan sang penulis Garin Nugroho sendiri. Selain itu, penari Jasmine Okubo juga ikut larut dalam buaian pembacaan puisi-puisi dari buku ‘Adam, Hawa, dan Durian’ ini. Garin Nugroho pun tampak sangat menikmati pementasan yang dipersembahkan untuk menafsirkan karya-karya puisinya.
Ditemui NusaBali usai pentas malam itu, Garin Nugroho berkelakar bahwa menjadi aktor justru lebih melelahkan ketimbang jadi sutradara. Namun, Garin begitu mengapresiasi pentas kolaborasi yang ditujukan untuk menginterpretasikan puisi-puisi yang dibuatnya. “Menjadi aktor lebih capek lho. Tapi, sebetulnya jadi apa pun kita di sini, tujuannya adalah memberikan semangat,” kelakar Garin.
Menurut Garin, membuat acara seperti ini seperti memberi ruang keberanian untuk membangun. Tentunya situasi saat ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, karena harus menerapkan prokes yang sudah ditentukan. “Saya senang ada yang membuatkan musikalisasi puisi dan treatrikal semacam ini. Saya selalu memberi ruang kepada orang untuk bebas menafsir, karena dengan cara itu orang tumbuh. Semangat tumbuh, upaya mencipta tumbuh, dan yang paling penting adalah suatu karya ini bisa memberi kehidupan,” tandas sutradara film ‘Ku Cumbu Tubuh Indahku’ ini.
Garin menjelaskan, buku puisi ‘Adam, Hawa, dan Durian’ merupakan kumpulan catatan harian yang ditulisnya sejak tahun 1990-an di tengah perjalanan berbagai pembuatan film dan pekerjaan. Kata ‘durian’ dipilih, karena dinilai paradoks: susah dibuka, namun enak rasanya, tetapi bisa juga menimbulkan penyakit.
“Ini sebuah puisi yang rileks sebetulnya, bukan puisi yang sangat sastra. Seperti menjadi catatan harian dari pengalaman-pengalaman kehidupan saya selama 40 tahun berkarya. Saya tulis dalam bentuk puisi sebagai bagian dari ekspresi, karena saya sejak dulu suka puisi,” kata Garin yang saat ini tengah berproses produksi film besar horror berjudul ‘Puisi Cinta yang Membunuh’. *ind
Komentar