Melasti ke Segara Tanah Lot Jalan Kaki Selama 4 Hari 4 Malam
Ada 5 palinggih di Pura Luhur Tamba Waras yang berfungsi sebagai apotek niskala, yakni Palinggih Petiyingan, Palinggih Bawi, Palinggih Coblong, Palinggih Beji Batu Bolong, dan Palinggih Beji Pingit
Pura Luhur Tamba Waras di Desa Pakraman Sangketan yang Dapat Julukan Apotek Niskala
TABANAN, NusaBali
Upacara ritual yang berlangsung di pura Luhur Tamba Waras, Desa Pakraman Sangketan, Kecamatan Penebel, Tabanan agak beda dibanding pura-pura lainnya di Bali. Ada tiga jenis upacara melasti (masucian) di Pura Luhur Tamba Waras jelang karya pujawali. Salah satunya, ritual masucian ke Segara Tanah Lot, Desa Pakraman Beraban, Kecamatan Kediri, Tabanan yang harus ditempuh jalan kaki dari Pura Luhur Tamba Waras selama 4 hari 4 malam.
Tiga jenis melasti tersebut dilakukan, jika terjadi kondisi yang berbeda-beda. Pertama, jika karya pujawali jatuh saat rahina Purnama, maka Ida Batara dan Putra Bala (barong) harus masucian ke Beji Gede. Masucian ke Beji Gede ini dilakukan, karena karya pujawali sat Purnama disebut jelih. Kedua, bila karya pujawali tidak bertepatan dengan Purnama, maka Ida Batara dan Putra Bala masucian di Beji Kangin dan Beji Kauh. Baik baik Beji Kangin, Beji kauh, maupun Beji Gede masih berada di areal Pura Luhur Tamba Waras, kawasan hutan lereng Gunung Batukaru.
Ketiga, jika terjadi kaberebehan jagat, maka harus melasti ke Segara Tabah Lot di mana Pura Luhur Tanah Lot berada. Saat melasti ke Segara Tanah Lot, Ida Batara dan Putra Bala kairing masucian dari Pura Luhur Tamba Waras dengan jalan kaki. Mengingat jarak tempuh yang sangat jauh, ritual melasti ke Segara Tanah Lot memakan waktu cukup lama, yakni 4 hari 4 malam.
Dalam perjalanan menuju Pura Luhur Tanah Lot, Ida Batara harus simpang dan ngererep (bermalam) di sejumlah Pura Puseh kawasan desa pakraman yang dilintasinya. Ada 16 desa pakraman di wilayah tiga kecamatan berbeda yang dilalui dalam ritual melasti ke Segara Tanah Lot ini. Desa-desa tersebut berada di wilayah Kecamatan Penebel, Kecamatan Tabanan, dan Kecamatan Kediri.
Saat melasti ke Segara Luhur Tanah Lot, pamedek memargi dari Pura Luhur Tamba Waras dengan nyunggi pratima, tombak, tedung, dan Bala Putra (barong). Hanya saja, Bala Putra disimbolkan menggunakan daksina, sementara Ida Batara kalinggihang di daksina. “Bala Putra tidak diikutkan, melainkan disimbolkan dengan daksina. Kalau dibawa, tidak kuat nyunggi mengingat ngiring berjalan kaki,” terang Pamangku Gede Pura Luhur Tanah Lot, Jro Mangku Kusuma Wijaya, kepada NusaBali, Kamis (30/11).
Saat melasti ke Segara Tanah Lot, bukan hanya Ida Batara di Pura Luhur Tamba Waras yang memargi. Ida Batara dari Pura Catur Angga Batukaru juga ikut serta. Keempat Pura Catur Angga Batukaru itu masing-masing Pura Luhur Tamba Waras (di Desa Pakraman Sangketan), Pura Luhur Muncak Sari (Desa Pakraman Sangketan), Pura Pucak Petali (Desa Pakraman Jatiluwih, Kecamatan Penebel), dan Pura Luhur Besi Kalung (Desa Pakaraman Utu, Kecamatan Penebel).
Jro Mangku Wijaya Kusuma mengatakan, melasti ke Segara Tanah Lot dilakukan jika terjadi kaberebehan jagat, seperti kematian berturut-turut di banjar wewidangan desa pakraman pangempon Pura Luhur Tamba Waras dan tanaman padi di sawah terserang merana (hama). “Kapan waktunya melasti ke Segara Tanah Lot, tidak bisa ditentukan. Jika ada kaberebehan jagat, barulah Ida Batara lunga ke Segara Tanah Lot,” jelas Jro Mangku Wijaya.
Ada 5 desa pakraman pangempon Pura Luhur Tanah Lot, yang semuanya masuk wilayah dinas Desa Sangketan. Masing-masing, Desa Pakraman Sangketan, Desa Pakraman Bongli, Desa Pakraman Puring, Desa Pakraman Munduk Dawa, dan Desa Pakraman Munduk Bun. Krama pangempon Pura Luhur Tamba Waras mencapai 350 kepala keluarga (KK). Menurut Jro Mangku Wijaya, petunjuk adanya kaberebehan lainnya adalah jika ditemukan ada ilalang saat mareresik (bersih-bersih) di Padmasana Pura Luhur Tamba Waras.
Jro Mangku Wijaya menyebutkan, saat melasti jalan kaki menuju Pura Luhur Tanah Lot, Ida Batara simpang dan marerep di 15 Pura Puseh kawasan desa pakraman yang dilintasi, baik saat lunga (pergi) maupun budal (pulang). Adapun ke-16 Pura Puseh itu yakni saat lunga diawali ke Pura Luhur Batukaru di Desa Wangaya Gede. Di Pura Luhur Batukaru, Ida Batara dari Catur Angga Pura Batukaru mapupul dan marerepan. Barulah keesokan harinya bersama-sama melanjutkan perjalanan ke Pura Luhur Tanah Lot.
Dari Pura Luhur Batukaru, Ida Batara simpang di Pura Puseh Wongaya Gede, lanjut simpang di Pura Puseh Desa Pakraman Penatahan (Kecamatan Penebel), di Pura Puseh Desa Pakraman Wanasari (Kecamatan Tabanan), simpang ke Pura Kayuban Batukaru di Desa Pakraman Tuakilang (Kecamatan Tabanan), simpang Pura Puseh Desa Pakraman Kota Tabanan. Di pura ini, Ida Batara ngererep.
Barulah keesokan paginya, dari Pura Puseh Desa Pakraman Kota Tabanan melanjutkan memargi ke Pura Luhur Tanah Lot. Dalam perjalanan ini, Ida Batara mararean (istirahat) di dua pura, masing-masing Pura Puseh Demung Desa Pakraman Kediri (Kecamatan Kediri) dan Pura Beten Bingin Desa Pakraman Beraban (Kecamatan Kediri). Setelah masucian di Pura Luhur Tanah Lot, Ida Batara dari Catur Angga Pura Batukaru nglanturang pamargi dan masandekan (berhenti) ngrerep di Pura Puseh Desa Pakraman Kota Tabanan.
Barulah keesokan harinya, subuh sekitar pukul 05.00 Wita, Ida Batara dari Catur Angga Pura Batukaru menuju payogan soang-soang (pura masing-masing). Dalam perjalan budal, Ida Batara masandekan di Pura Puseh Desa Pakraman Penatahan dan Pura Puseh Desa Pakraman Tengkudak (Kecamatan Penebel). Dari sana, Ida Batara Pura Luhur Tamba Waras simpang dan ngererep di Pura Desa Pakraman Puluk-puluk dan Desa Pakraman Wangaya Gede. Keesokan paginya, melanjutkan perjalanan dan simpang di Pura Puseh Desa Pakraman Puwakan (Kecamatan Penebel) dan Pura Puseh Desa Pakraman Sandan (Kecamatan Penebel). “Keseluruh-annya itu dari lunga hingga budal simpang di sekitar 16 Pura Puseh yang dilewati,” jelas Jro Mangku Wijaya.
Terkait menempuh jarak lumayan jauh tidak menggunakan transportasi, menurut Jro Mangku Wijaya, merupakan dresta yang diwarisi secara turun temurun. Krama pangempon tidak pernah bermaksud mengubah kebiasaan dari mamargi jalan kaki menggunakan alat transportasi. “Jika memakai alat transportasi, berarti tidak menetralisir kabrebehan tersebut. Belum pernah kami mencoba menggunakan transportasi,” ujar pamangku yang kesehariannya sebagai guru di Nusa Dua, Kecamatan Kuta Selatan, Badung ini.
Ritual melasti itu merupakan salah satu keunikan dari Pura Luhur Tamba Waras. Sesuai namanya, pura ini memiliki berkah tamba (obat), hingga dijuliki sebagai apotek Niskala. Menurut Jro Mangku Wijaya, sejumlah palinggih di Pura Luhur Tamba Waras juga berfungsi sebagai apotek niskala. Obat yang disediakan di apotek niskala ini pun beragam. Tak hanya untuk umat manusia, namun juga untuk tumbuhan hingga binatang.
Palinggih yang berfungsi sebagai apotek niskala di Pura Luhur Tamba Waras itu masing-masing Palinggih Petiyingan, Palinggih Bawi, Palinggih Coblong, Palinggih Beji Batu Bolong, dan Palinggih Beji Pingit. Palinggih Petiyingan fungsinya mengeluarkan tamba untuk pertanian. Sedangkan Palinggih Coblong menyediakan tamba untuk kesembuhan sakit mata. Palinggih Bawi untuk peternakan secara umum. Sementara di Palinggih Beji Pingit terdapat batu yang di atasnya ada bekas tapak kaki manusia dan bintang unen-unen pura. “Untuk ke Beji Pingit ada banten khusus mungkah lawang,” katanya. * cr61
1
Komentar