Bali dalam Bayang-bayang Subak Palsu
Kalau dulu memuja Dewi Sri sebagai lambang kesuburan, maka ditambah padmasana menjadi memuja Ista Dewata.
SUBAK, salah satu lembaga tradisional di Bali yang mengagumkan dunia. Sayang kondisinya makin memprihatinkan. Karena subak makin dihempas kemajuan industri, pembangunan fisik, hingga pembludakan penduduk yang terpaksa menggusur areal pertanian.
Akibatnya Bali pun makin ditenggeri bayang-bayang subak palsu; nama subak masih eksis dan terdaftar, namun petani dan aktivitas bertaninya yang makin habis.Tahun 2006, tercatat empat subak di Bali telah beralih fungsi menjadi lahan pemukiman.
Data Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, jumlah subak di Bali tahun 2015 sebanyak 2.733 dengan 1.603 subak sawah dan 1.130 subak abian. Namun satu tahun kemudian (2016), empat subak di Kabupaten Gianyar dan Bangli justru beralih total menjadi lahan pemukiman. Empat subak sawah itu antara lain, Subak Munduh, Kelurahan Beng, Gianyar, Subak Mandi Bukit, Banjar Cempaga, Bangli, Subak Mandi Banjar Kawan, Bangli, dan Subak Mandi Dalem, Banjar Kawan, Bangli.
Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali Dewa Putu Beratha mengatakan, sebagai upaya pelestarian subak, sejak tahun 2006 pemerintah Provinsi Bali telah memberikan bantuan hibah kepada subak setiap tahunnya. Hibah ini diberikan karena subak memiliki unsur yang yang sama dengan desa pakraman yakni unsur Parahyangan, Pawongan, Palemahan (Tri Hita Karana). “Kaitannya dengan tupoksi Dinas Kebudayaan dalam pelestarian subak, kami melakukan upaya dalam bentuk memberikan hibah Rp 50 juta kepada subak setiap tahunnya. Unsur dalam subak sama seperti Desa Pakraman. Ada parahyangannya yaitu pura swagina (pura subak), pawongan yaitu anggota subak, dan palemahan yaitu areal persawahan atau abian,” jelas Beratha ditemui di ruang kerjanya, Jumat (2/11).
Dikatakan, hibah tersebut digunakan untuk membantu melestarikan ketiga unsur tersebut. Dari bidang parahyangan, hibah tersebut bisa digunakan untuk perbaikan pura atau dana upacara. Sedangkan untuk pawongan, dana hibah tersebut bisa digunakan untuk meningkatkan ekonomi anggota subak, sedangkan dari sisi palemahan bisa digunakan untuk perbaikan-perbaikan areal subak seperti saluran irigasi dan yang lain.
Seiring berubahnya zaman dan semakin padatnya jumlah penduduk, beberapa subak pun kini mulai beralih fungsi menjadi lahan tempat tinggal. Lantas bagaimana dengan keberadaan pura subak, jika lahan untuk melakukan swagina bidang agraris itu tidak ada lagi?
“Pada beberapa kasus yang ditemukan di lapangan, biasanya pura tersebut tidak lagi difungsikan sebagai pura swagina, melainkan ditambah dengan padmasana dan diperbaiki, sehingga menjadi Pura Ista Dewata. Dulunya diempon krama subak, sekarang diempon oleh masyarakat yang tinggal di atas lahan tersebut, entah apapun pekerjaannya,” katanya.
Menurut Beratha, sulit untuk mempertahankan Pura Subak yang notabena merupakan Pura Swagina atau pura profesi. Sebab Pura Swagina berkaitan erat dengan kewajiban, seperti Pura Subak atau ulun suwi untuk profesi agraris dan Pura Melanting untuk profesi pedagang. “Tentu dari segi fungsi, Pura Subak tidak bisa dipertahankan lagi jika sawahnya sudah habis dan sudah menjadi lahan mukim. Kalau dulu memuja Dewi Sri sebagai lambang kesuburan, maka ditambah padmasana menjadi memuja Ista Dewata. Pada intinya sama, memohon kesejahteraan,” ungkapnya.
Hilangnya pura subak seiring habisnya lahan sawah yang kini beralih fungsi memang menjadi kekhawatiran. Namun, permasalahan alih fungsi lahan pertanian di Bali ini makin kompleks. Siapapun sangat sulit membendung keinginan para pemilik lahan untuk tak menjual lahannya.
Dinas Kebudayaan sendiri tupoksinya hanya dalam bidang pelestarian. Sesungguhnya, banyak pihak harus terlibat dalam menekan semakin banyaknya masyarakat Bali yang jual tanah.
Kata Beratha, perlunya regulasi tata ruang dan penegakan hukum (perda) yang mengatur tentang lahan di Bali. Karena kewenangan ini merupakan kewenangan kabupaten/kota. “Harus ada regulasi tata ruang, dimana boleh membangun apa. Kalau tidak diatur kan masyarakat bebas menjual tanah dan membangun apa saja,” katanya.
Sedangkan bayar pajak bumi dan bangunan (PBB) juga dirasa mahal. Apalagi jika lahan yang dimiliki tidak menghasilkan apa-apa, maka membayar pajak akan menjadi beban hingga berakhir pada keputusan untuk menjual tanah. “Apakah pemerintah bisa memberikan subsidi PBB?,” tanyanya.
Selain itu, menurut Beratha, faktor keengganan generasi muda untuk mengolah lahan sawahnya juga jadi satu alasan mengapa dunia pertanian kian ditinggalkan. Hal ini terjadi karena generasi muda melihat peluang bekerja di sawah tidak menjanjikan. Karena itu, banyak generasi muda yang lari ke sektor jasa, industri atau sektor non agraris. * in
1
Komentar