Pemakaman Presiden Malioboro Belum Dipastikan
Jenazah Umbu Landu Paranggi Masih di RS Bali Mandara
DENPASAR, NusaBali
Jenazah mahaguru penyair Umbu Landu Paranggi, 77, hingga Rabu (7/4) malam masih dititip di RS Bali Mandara, Jalan Bypass Ngurah Rai Sanur, Denpaar Selatan.
Belum dipastikan kapan penyair legendaris berjuluk ‘Presiden Malioboro’ yang tutup usia di RS Bali Mandara, Selasa (6/4) dinihari pukul 3.55 Wita, ini akan dimakamkan. “Hingga saat ini belum diputuskan (soal pemakaman jenazah Umu, Red). Karena anak perempuannya belum datang. Rencananya, yang bersangkutan baru datang besok (hari ini),” ungkap penyair Warih Wisatsana saat dikonfirmasi NusaBali, Rabu sore.
Umbu Landu Paranggi memiliki tiga anak yang semuanya tinggal di tanah kelahirannya kawasan Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Si sulung dan bungsu laki-laki, sementara yang nomor dua perempuan. Yang sudah tiba di Bali adalah dua anak laki-lakinya.
Warih Wisatsana menyebutkan, selain masih menunggu anak perempuannya, ketetapan rumah sakit juga belum bisa dipastikan. Sebab, dalam situasi pandemi Covid-19, penerbangan jenazah antar pulau juga harus mendapat prosedural yang ketat.
“Harus ada ketetapan dari rumah sakit, sampai seberapa jauh sebenarnya jenazah Pak Umbu bisa dibawa ke Sumba. Karena situasi sekarang, setiap daerah belum memungkinkan dengan mudah membawa jenazah ke pulau lain,” kata Warih, penyair yang merupakan salah satu anak didik Umbu.
Karena itu, jenazah Umbu hingga kini masih dititipkan di RS Bali Mandara. Para sahabat sastrawan secara rutin melakukan pertemuan sambil menantikan kepastian bentuk penghormatan terakhir untuk Umbu nantinya. “Teman-teman sastrawan secara gantian bertemu di wilayah Sanur, dekat rumah sakit, untuk membahas sambil menanti keputusan akhir,” terang Warih.
Rabu siang, misalnya, sejumlah penyair berkumpul di sebuah hotel yang berjarak sekitar 600 meter sebelah timur RS Bali Mandara. Di hotel tempat anak sulung Umbu yakni Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi menginap tersebut, hadir pula Jean Couteau, antropolog dan budayawan asal Prancis yang lama tinggal di Bali. Sedangkan deretan penyair yang hadir, termasuk Wayan Jengki Sunarta dan Warih Wisatsana sendiri.
Mereka sempat bincang-bincang dengan anak sulung almarhum, Umbu Wulang Tanaamahu Paranggi. Kebetulan, saat itu juga hadir melayat rombongan NusaBali yang terdiri dari Pemimpin Umum I Gede Muliarsana, Pemimpin Redaksi I Ketut Naria, dan Sekretaris Redaksi Ni Ketut Ayu Puspawati.
Sementara, karangan bunga ucapan dukacita semua diarahkan ke tempat tinggal almarhum Umbu di Komplek Perumahan Lembah Pujian, Jalan Antasura Denpasar kawasan Desa Peguyangan Kangin, Kecamatan Denpasar Utara. Karangan bunga yang masuk, antara lain, kiriman Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Keluarga Besar Jatijagat Kampung Puisi JKP 109.
Warih menyebutkan, setelah Umbu dikabarkan meninggal, banyak sekali di media sosial yang menggelar kegiatan sastra, seperti pembacaan puisi hingga melakukan diskusi via zoom mengenang almarhum Umbu. “Ada yang baca puisi, ada juga organisasi Satu Pena yang anggotanya para penulis, cendikiawan, sastrawan, akan menyelenggarakan zoom diskusi dengan dua topik. Salah satunya, obituari Umbu Landu Paranggi,” papar Warih.
Para sahabat sastrawan di Bali juga rencananya akan membuat kegiatan untuk mengenang Umbu. Namun, saat ini mereka masih fokus pada kepastian upacara terakhir yang dilaksanakan untuk Umbu. “Setelah ada kepastian, pasti teman-teman sastrawan di Bali akan mengadakan kegiatan, seperti pembacaan karya-karya Umbu, obituari. Sebenarnya, sudah ada pembicaraan-pembicaraan seperti itu. Tapi, kita masih fokus soal kepastian dan keputusan upacara terakhir untuk Umbu,” tandas kurator sastra yang juga pengeloka Bentara Budaya Denpasar ini.
Umbu Landu Paranggi sendiri menghembuskan napas terakhir dalam perawatan di RS Bali Mandara, Selasa dinihari pukul 03.55 Wita. Sebelum berpulang, mahaguru penyarir kelahiran Waikabubak, Sumba Barat, 10 Agustus 1943, ini sempat selama 3 hari dirawat di rumah sakit, sejak Sabtu (3/4) sore.
Umbu adalah pendiri Persada Studi Klub (PSK) Jogjakarta, juga membentuk ‘Komunitas Penyair Malioboro’ tahun 1970-an, hingga dijuluki ‘Presiden Malioboro’. Dari komunitas inilah lahir sastrawan seperti Iman Budhi Santosa, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), Linus Suryadi AG, hingga Ragil Suwarno Pragolapati.
Tahun 1979, Umbu pindah ke Bali dan mengisi rubrik sastra di media cetak lokal Bali Post. Sedangkan dalam 4 bulan terakhir sejak awal Desember 2020, Umbu mendandani Rubrik Budaya di edisi Minggu Harian Umum NusaBali. *ind
Komentar