Karena Kena Kutukan Raksasa Penculik Penari Rejang
Krama Adat Sanggulan, Desa Banjar Anyar Pantang Makan Sayur Timbul
Setelah dibakar di dalam goa, raksasa buka rahasia bahwa dirinya hanya bisa dibunuh dengan ranting pohon timbul. Namun, raksasa memberikan kutukan atas kematiannya, di mana krama Sanggulan secara turun te-murun dilarang makan sayur timbul
TABANAN, NusaBali
Krama Desa Adat Sanggulan di Desa Banjar Anyar, Kecamatan Kediri, Tabanan memiliki kepercayaan yang pantang dilanggar. Karena mendapat kutukan dari raksasa penculik penari rejang zaman dulu, hingga kini krama Desa Adat Sanggulan tidak berani mengkonsumsi sayur timbul.
Versi Bendesa Adat Sanggulan, I Ketut Suranata, pantangan untuk memakan sayur timbul ini berawal dari sejarah kutukan raksasa yang dulu menghuni sebuah goa di Banjar Sanggulan, Desa Banjar Anyar. Kala itu, setiap karya pujawali di Pura Peneduhan, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari goa, selalu digelar tarian rejang.
Anehnya, penari rejang yang posisinya paling belakang, kerap hilang secara misterius. Rentetan peristiwa aneh berbau magis itu membuat prajuru Desa Adat Sanggulan kala itu kehabisan akal untuk mencari penyebab hilangnya penari di posisi paling belakang tersebut.
Sampai akhirnya prajuru dan krama desa mencari akal, di mana saat digelarnya kembali pujawali berikutnya di Pura Peneduhan, penari rejang yang berposisi paling belakang diberikan tanda, yakni membawa gabah. Ternyata, penari yang membawa gabah itu mendadak hilang.
Setelah diselidiki, ternyata gabah yang dibawa penari berposisi paling belakang tersebut ditemukan berceceran di seputaran goa berpenghuni raksasa. Goa itu sendiri memiliki panjang sekitar 50 meter, yang tembus sampai di Sungai Yeh Panahan, masih wilayah Banjar Sanggulan, Desa Banjar Anyar. Goa tersebut memiliki tinggi 30 meter dan lebar sekitar 30 meter.
Raksasa penghuni goa itulah yang diyakini menculik penari rejang berposisi paling belakang. "Ternyata, ada raksasa penghuni goa yang menjadi penyebab penari selalu hilang," papar Ketut Suranata saat ditemui NusaBali di Desa Adat Sangulan, Minggu (28/3) lalu.
Mendapati kenyataan tersebut, prajuru dan krama Desa Adat Sanggulan kala itu sepakat untuk membunuh raksasa penghuni goa. Hanya saja, raksasa berjenis kelamin laki-laki tersebut tidak bisa dibunuh dengan senjata tajam. Pada akhirnya, goa dibakar dengan alang-alang, agar raksasa kepanasan dan mau keluar.
Benar saja, raksasa tersebut merasa kepanasan, sehingga kemudian bernegosiasi dengan penduduk. Dalam negosiasi tersebut, si raksasa buka rahasia bahwa dirinya hanya bisa dibunuh menggunakan ranting pohon timbul. Namun, si raksasa memberikan kutukan atas kematiannya, di mana krama Sanggulan secara turun temurun dilarang mengkonsumsi sayur timbul.
"Saat itu pula, leluhur kami memukuli raksasa tersebut dengan ranting pohon timbul hingga mati. Tapi, sejak itu pula penduduk Sanggulan menjalani kutukan raksasa berupa pantangan memakan satur timbul," terang Suranata.
Menurut Suranata, seluruh krama Desa Adat Sanggulan hingga kini pantang melanggar larangan memakan sayur timbu;. Bahkan, krama istri yang sudah menikah ke luar Sanggulan pun tetap tidak berani mengkonsumsi sayur timbul. “Jika pantangan dilanggar, akibatnya bisa fatal,” kata Suranata.
Belum lama ini, kata Suranata, sempat terjadi peristiwa aneh ketika Sekaa Gong Desa Adat Sanggulan ngayah menabuh di luar desa. Mereka tidak mengetahui saat itu ternyata dihidangkan masakan sayur timbul dan telanjur memakanya. Apa yang terjadi? “Setelah tanpa sengaja memakan sayur timbuil, seluruh krama sekaa gong yang mendadak diare,” kenang Suranata.
Atas peristiwa tersebut, menurut Suranata, Desa Adat Sanggulan pun menggelar upacara khusus sebagai simbolik untuk memohon maaf secara niskala di Pura Peneduhan. "Setelah kami memohon maaf, anggota sekaa gong yang sempat memakan sayur timbul ini langsung sembuh.”
Sementara itu, goa bekas hunian raksasa yang mengutuk krama Desa Adat Sanggilan, hingga kini masih ada. Goa ini dikenal angker. Banyak orang yang menjadikan goa ini sebagai tempat untuk semedi. Suranata menyebutkan, Desa Adat Sanggulan berencana menata areal goa tersebut untuk diarahkan sebagai objek wisata spiritual.
Sedangkan Pura Peneduhan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari goa bekas hunian raksana, merupakan Pura Pemaksaan yang diempon oleh 60 kepala keluarga (KK). Pura Peneduhan, yang lokasinya jauh dari pemnukiman penduduk, dikenal sebagai tempat suci favorit untuk memohon jodoh dan berkah keturunan.
Menurut Suranata, banyak orang sudah membuktikan kemurahan Ida Bhatara yang berstana di Pura Peneduhan. Mereka tangkil pada malam hari untuk mohon jodoh atau keturunan, di mana doanya terkabulkan.
Suranata mengatakan, Desa Adat Sanggulan sudah siap-siap berbenah untuk mengembangkan wisata religi di kawasan Pura Peneduhan dan goa bekas hunian raksasa tersebut. Saat ini, sudah dibuat Patung ‘Ki Bendesa’ di pintu masuk Desa Adat Sanggulan.
Ki Bendesa adalah tokoh Desa Adat Sanggulan masa silam yang terkenal sakti dan dan berhasil melindungi desanya dari gangguan Kerajaan Mengwi. “Setiap ada orang yang ingin merebut kewilayahan Desa Adat Sanggulan, maka Ki Bendesa menjadi garda terdepan untuk melawannya,” cerita Suranata. *des
Versi Bendesa Adat Sanggulan, I Ketut Suranata, pantangan untuk memakan sayur timbul ini berawal dari sejarah kutukan raksasa yang dulu menghuni sebuah goa di Banjar Sanggulan, Desa Banjar Anyar. Kala itu, setiap karya pujawali di Pura Peneduhan, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari goa, selalu digelar tarian rejang.
Anehnya, penari rejang yang posisinya paling belakang, kerap hilang secara misterius. Rentetan peristiwa aneh berbau magis itu membuat prajuru Desa Adat Sanggulan kala itu kehabisan akal untuk mencari penyebab hilangnya penari di posisi paling belakang tersebut.
Sampai akhirnya prajuru dan krama desa mencari akal, di mana saat digelarnya kembali pujawali berikutnya di Pura Peneduhan, penari rejang yang berposisi paling belakang diberikan tanda, yakni membawa gabah. Ternyata, penari yang membawa gabah itu mendadak hilang.
Setelah diselidiki, ternyata gabah yang dibawa penari berposisi paling belakang tersebut ditemukan berceceran di seputaran goa berpenghuni raksasa. Goa itu sendiri memiliki panjang sekitar 50 meter, yang tembus sampai di Sungai Yeh Panahan, masih wilayah Banjar Sanggulan, Desa Banjar Anyar. Goa tersebut memiliki tinggi 30 meter dan lebar sekitar 30 meter.
Raksasa penghuni goa itulah yang diyakini menculik penari rejang berposisi paling belakang. "Ternyata, ada raksasa penghuni goa yang menjadi penyebab penari selalu hilang," papar Ketut Suranata saat ditemui NusaBali di Desa Adat Sangulan, Minggu (28/3) lalu.
Mendapati kenyataan tersebut, prajuru dan krama Desa Adat Sanggulan kala itu sepakat untuk membunuh raksasa penghuni goa. Hanya saja, raksasa berjenis kelamin laki-laki tersebut tidak bisa dibunuh dengan senjata tajam. Pada akhirnya, goa dibakar dengan alang-alang, agar raksasa kepanasan dan mau keluar.
Benar saja, raksasa tersebut merasa kepanasan, sehingga kemudian bernegosiasi dengan penduduk. Dalam negosiasi tersebut, si raksasa buka rahasia bahwa dirinya hanya bisa dibunuh menggunakan ranting pohon timbul. Namun, si raksasa memberikan kutukan atas kematiannya, di mana krama Sanggulan secara turun temurun dilarang mengkonsumsi sayur timbul.
"Saat itu pula, leluhur kami memukuli raksasa tersebut dengan ranting pohon timbul hingga mati. Tapi, sejak itu pula penduduk Sanggulan menjalani kutukan raksasa berupa pantangan memakan satur timbul," terang Suranata.
Menurut Suranata, seluruh krama Desa Adat Sanggulan hingga kini pantang melanggar larangan memakan sayur timbu;. Bahkan, krama istri yang sudah menikah ke luar Sanggulan pun tetap tidak berani mengkonsumsi sayur timbul. “Jika pantangan dilanggar, akibatnya bisa fatal,” kata Suranata.
Belum lama ini, kata Suranata, sempat terjadi peristiwa aneh ketika Sekaa Gong Desa Adat Sanggulan ngayah menabuh di luar desa. Mereka tidak mengetahui saat itu ternyata dihidangkan masakan sayur timbul dan telanjur memakanya. Apa yang terjadi? “Setelah tanpa sengaja memakan sayur timbuil, seluruh krama sekaa gong yang mendadak diare,” kenang Suranata.
Atas peristiwa tersebut, menurut Suranata, Desa Adat Sanggulan pun menggelar upacara khusus sebagai simbolik untuk memohon maaf secara niskala di Pura Peneduhan. "Setelah kami memohon maaf, anggota sekaa gong yang sempat memakan sayur timbul ini langsung sembuh.”
Sementara itu, goa bekas hunian raksasa yang mengutuk krama Desa Adat Sanggilan, hingga kini masih ada. Goa ini dikenal angker. Banyak orang yang menjadikan goa ini sebagai tempat untuk semedi. Suranata menyebutkan, Desa Adat Sanggulan berencana menata areal goa tersebut untuk diarahkan sebagai objek wisata spiritual.
Sedangkan Pura Peneduhan yang berjarak sekitar 1 kilometer dari goa bekas hunian raksana, merupakan Pura Pemaksaan yang diempon oleh 60 kepala keluarga (KK). Pura Peneduhan, yang lokasinya jauh dari pemnukiman penduduk, dikenal sebagai tempat suci favorit untuk memohon jodoh dan berkah keturunan.
Menurut Suranata, banyak orang sudah membuktikan kemurahan Ida Bhatara yang berstana di Pura Peneduhan. Mereka tangkil pada malam hari untuk mohon jodoh atau keturunan, di mana doanya terkabulkan.
Suranata mengatakan, Desa Adat Sanggulan sudah siap-siap berbenah untuk mengembangkan wisata religi di kawasan Pura Peneduhan dan goa bekas hunian raksasa tersebut. Saat ini, sudah dibuat Patung ‘Ki Bendesa’ di pintu masuk Desa Adat Sanggulan.
Ki Bendesa adalah tokoh Desa Adat Sanggulan masa silam yang terkenal sakti dan dan berhasil melindungi desanya dari gangguan Kerajaan Mengwi. “Setiap ada orang yang ingin merebut kewilayahan Desa Adat Sanggulan, maka Ki Bendesa menjadi garda terdepan untuk melawannya,” cerita Suranata. *des
1
Komentar