Korban Fintech Ilegal Banyak Bergelar S-2
JAKARTA, NusaBali
Anggota Dewan Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan atau OJK, Tirta Segara, mengatakan masyarakat yang terjebak pinjaman online dan investasi ilegal tak hanya berasal dari kelompok berpendidikan rendah.
Ia menyebut banyak orang bergelar sarjana, bahkan master atau lulusan S-2, menjadi korban perusahaan financial technology (fintech) ilegal.
"Kami melihat ada yang ingin cepat kaya, tapi enggak melalui kerja keras. Dari hasil temuan,
bukan hanya masyarakat yang pendidikan rendah yang jadi korban, tapi juga banyak yang sarjana, S-2,” ujar Tirta dalam webinar yang ditayangkan di akun YouTube Infobank seperti dikutip Tempo, pada Senin (19/4).
Menurut Tirta, korban fintech ilegal umumnya merupakan kelompok yang kurang bijak mencari pendanaan. Meski mempunyai latar belakang pendidikan tinggi, tak menjamin seseorang memiliki tingkat literasi keuangan yang memadahi.
Berdasarkan catatan OJK, tingkat literasi keuangan di Indonesia tidak sebanding dengan pertumbuhan inklusi digital. Per 2019, tingkat literasi masyarakat terhadap keuangan baru mencapai 38 persen, sedangkan pertumbuhan inklusi keuangan sudah melesat sebesar 76 persen.
Tingkat literasi masyarakat terhadap produk investasi atau pasar modal pun lebih rendah, yakni hanya 5 persen.
Di samping itu, masyarakat umumnya tak memahami konsep underlying investasi dan prinsip korelasi antara risiko dan imbal hasil. Lantaran mengesampingkan prinsip ini, masyarakat terbuai dengan janji bunga tinggi serta imbal hasil tanpa risiko.
“Mereka hanya percaya web dan transaksi virtual. Mereka tidak paham investasi mereka ditanam di mana. Banyak juga yang tidak paham dengan bunga majemuk,” ujar Tirta.
Kondisi tersebut membuat praktik fintech ilegal masih terus bermunculan kendati telah diberantas oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK.
Berdasarkan data OJK, selama pandemi Covid-19, praktik fintech ilegal justru tumbuh subur karena terjadi akselerasi pada perkembangan teknologi digital. Sepanjang 2020 hingga Februari 2021, SWI telah menghentikan 390 kegiatan investasi ilegal atau lebih dari satu kegiatan dalam satu hari.
SWI juga menyetop lebih dari 1.200 fintech ilegal. Ini berarti ada 3-4 perusahaan yang ditutup saban hari. Selain itu, SWI menghentikan operasional 92 perusahaan gadai ilegal.
Tirta menjelaskan, modus operasi fintech ilegal terus berkembang. Saat ini, satu perusahaan yang memiliki satu rumah toko atau ruko sudah bisa memperluas operasinya di berbagai daerah.
Penawaran investasi ilegal bahkan dilakukan di lintas perbatasan atau cross boarder hingga ke luar wilayah Tanah Air. Walhasil, OJK sulit mengambil tindakan hukum. *
"Kami melihat ada yang ingin cepat kaya, tapi enggak melalui kerja keras. Dari hasil temuan,
bukan hanya masyarakat yang pendidikan rendah yang jadi korban, tapi juga banyak yang sarjana, S-2,” ujar Tirta dalam webinar yang ditayangkan di akun YouTube Infobank seperti dikutip Tempo, pada Senin (19/4).
Menurut Tirta, korban fintech ilegal umumnya merupakan kelompok yang kurang bijak mencari pendanaan. Meski mempunyai latar belakang pendidikan tinggi, tak menjamin seseorang memiliki tingkat literasi keuangan yang memadahi.
Berdasarkan catatan OJK, tingkat literasi keuangan di Indonesia tidak sebanding dengan pertumbuhan inklusi digital. Per 2019, tingkat literasi masyarakat terhadap keuangan baru mencapai 38 persen, sedangkan pertumbuhan inklusi keuangan sudah melesat sebesar 76 persen.
Tingkat literasi masyarakat terhadap produk investasi atau pasar modal pun lebih rendah, yakni hanya 5 persen.
Di samping itu, masyarakat umumnya tak memahami konsep underlying investasi dan prinsip korelasi antara risiko dan imbal hasil. Lantaran mengesampingkan prinsip ini, masyarakat terbuai dengan janji bunga tinggi serta imbal hasil tanpa risiko.
“Mereka hanya percaya web dan transaksi virtual. Mereka tidak paham investasi mereka ditanam di mana. Banyak juga yang tidak paham dengan bunga majemuk,” ujar Tirta.
Kondisi tersebut membuat praktik fintech ilegal masih terus bermunculan kendati telah diberantas oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK.
Berdasarkan data OJK, selama pandemi Covid-19, praktik fintech ilegal justru tumbuh subur karena terjadi akselerasi pada perkembangan teknologi digital. Sepanjang 2020 hingga Februari 2021, SWI telah menghentikan 390 kegiatan investasi ilegal atau lebih dari satu kegiatan dalam satu hari.
SWI juga menyetop lebih dari 1.200 fintech ilegal. Ini berarti ada 3-4 perusahaan yang ditutup saban hari. Selain itu, SWI menghentikan operasional 92 perusahaan gadai ilegal.
Tirta menjelaskan, modus operasi fintech ilegal terus berkembang. Saat ini, satu perusahaan yang memiliki satu rumah toko atau ruko sudah bisa memperluas operasinya di berbagai daerah.
Penawaran investasi ilegal bahkan dilakukan di lintas perbatasan atau cross boarder hingga ke luar wilayah Tanah Air. Walhasil, OJK sulit mengambil tindakan hukum. *
Komentar