Hanya Dikerjakan Generasi Tua, Kini di Ambang Kepunahan
Nasib Produksi Gerabah di Banjar Binoh, Desa Ubung Kaja
DENPASAR, NusaBali
Gerabah merupakan warisan budaya. Gerabah dahulu difungsikan dalam berbagai hal seperti penampung air atau juga bisa sebagai sarana keagamaan.
Namun kini, gerabah seperti ditinggalkan. Eksistensinya tak seperti dulu, di mana saat ini sudah tersedia perangkat yang fungsinya sama dan dengan bahan baku yang sangat beragam.
Salah satu lokasi produksi gerabah di Kota Denpasar ada di Banjar Binoh Kaja, Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Produsen gerabah di sini saat ini bisa dibilang langka, bahkan di ambang kepunahan. Hanya tersisa tiga tempat dari yang awalnya puluhan, bahkan ratusan.
Nyoman Sulasmi, 51, wanita yang masih mempertahankan kerajinan ini. Usaha yang diberi nama UD Sari Merta ini adalah warisan dari orangtuanya. Sulasmi yang asli Banjar Binoh Kaja mempekerjakan beberapa pekerja yang semuanya berasal dari dua banjar yakni Binoh Kaja dan Binoh Kelod.
Yang membuat mengernyitkan dahi adalah para pekerja di tempat Sulasmi adalah semuanya perempuan dengan usia uzur.
“Saya dari kecil sudah ada usaha ini. Sekarang saya yang melanjutkan. Memang gerabah ini tidak ada yang melirik, terutama generasi sekarang. Anak saya saja, enggan terlibat langsung. Kalau dulu, setiap rumah pasti ada yang bikin gerabah,” ungkap Sulasmi, Senin (19/4).
Lain lagi yang dituturkan Wayan Sukerni, 48. Sukerni mengaku sudah ikut bekerja di tempat Sulasmi sejak dirinya masih duduk di bangku SD. Dia diajak oleh ibunya yang juga masih aktif sebagai pekerja di UD Sari Merta. “Dulu diajak ibu saya. Kalau ibu saya sudah kerja di sini dari zaman penjajahan Belanda,” tutur Sukerni.
Yang membuat kagum, para ibu-ibu perkasa ini dalam membuat kerajinan tanah liat seperti pani, paso, cobek, gebeh, dan tipluk tanpa menggunakan cetakan. Artinya, dikerjakan manual menggunakan tangan.
Lama pembuatannya tergantung bentuk yang dibuat. Untuk gerabah bisa memakan waktu satu jam, sedangkan yang kecil seperti tipluk atau cobek, sekitar 10 menit. Sukerni menuturkan, anak-anaknya juga enggan mengikuti jejaknya bekerja di dunia gerabah ini. “Pernah saya ajak sekali ke sini. Katanya menyi (kotor) karena pembuatannya masih manual,” ucapnya. “Kalau ibu saya itu, umurnya sudah 80 tahun lebih. Dia masih kuat kerja, katanya malah sakit kalau diam di rumah,” imbuhnya. Sukerni mengaku dia bekerja di UD Sari Merta sebagai buruh borongan.
Harga dari beberapa kerajinan ini juga tidak seberapa. Satu pani dihargai Rp 8.000, cobek hanya Rp 2.000, dan gebeh Rp 30.000. Harga tersebut baru harga mentahnya saja. “Yang penting ada penghasilan di hari tua. Tergantung tenaga juga, kalau sedang fit, bisa banyak setiap harinya,” kata Sukerni.
Sulasmi menambahkan, untuk bahan-bahan tanah liat ini didapatkan di wilayah Darmasaba, Badung. Pemasaran gerabah lebih banyak di lokal Bali seperti di Singapadu, Klungkung, Batubulan, Kerobokan, dan Kapal. Untungnya, dalam masa pandemi ini, pesanan gerabah miliknya masih lancar. “Ada yang dipakai pot, ada juga yang dipakai sarana upakara. Astungkara sampai saat ini masih lancar,” tandasnya. *mis
1
Komentar