Indeks Demokrasi Bali Turun Peringkat
Peran DPRD Meningkat, Variabel Kebebasan Berpendapat Menurun
DENPASAR, NusaBali
Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Provinsi Bali mengalami penurunan peringkat secara nasional, dari semula posisi kedua anjlok ke urutan empat di bawah DKI Jakarta, Kalimantan Utara, dan Kepulauan Riau.
Salah satu penyebab turunnya IDI Bali adalah menurunnya kebebasan berpendapat, padahal peran DPRD sudah berhasil naik.
Hal ini terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali secara daring (online) di Denpasar, Rabu (21/4) pagi. Dalam diskusi melibatkan para narasumber dari kalangan akademisi, praktisi, politisi, aktivis perempuan, Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, hingga tokoh masyarakat tersebut, dibedah indikator-indikator yang dapat mempengaruhi capaian IDI.
FGD kemarin dikoordinasilan langsung Kepala BPS Provinsi Bali, Hanif Yahya. Dalam FGD kemarin, BPS Provinsi Bali juga menyajikan berita-berita dari Harian Umum NusaBali sebagai media rujukan, yang dikaitkan dengan upaya dan strategi peningkatan IDI Provinsi Bali.
Kepala BPS Provinsi Bali, Hanif Yahya, mengatakan IDI Provinsi Bali meraih capaian tertinggi pada tahun 2018, ketika berhasil tembus peringkat kedua secara nasional di bawah DKI Jakarta. Kala itu, IDI Bali mencapai 82,37 dan hanya diungguli DKI Jakarta yang tembus angka 85,08.
Namun, setahun kemudian yakni pada 2019, capaian IDI Bali mengalami penurunan menjadi peringkat 4 dari 34 provinsi. Artinya, IDI Bali melorot dua tingkat dari semula posisi runner-up, dengan angka 81,38. Bali disalip oleh Provinsi Kalimantan Utara dan Kepaulauan Riau.
Menurut Hanif Yahya, peringkat teratas IDI secara nasional tahun 2019 tetap diduduki DKI Jakarta dengan angka 88,29, disusul Kalimantan Utara (nilai 83,45), Kepulauan Riau (81,64), Bali (nilai 81,38), dan Jawa Tengah (81,16).
Sekadar dicatat, pengukuran IDI dilakukan sejak tahun 2009. Khusus untuk Bali, Harian Umum NusaBali menjadi satu-satunya media yang dijadikan acuan. Pada tahun 2009, angka IDI Bali baru mencapai 70,35. Setahun berikutnya, angka indek demokrasi di Bali naik menjadi 72,44. Pada 2011, kembali naik menjadi 74,20. Namun pada 2012, indek demokrasi di Bali anjlok lagi menjadi 71,75.
Barulah pada 2014, indek demokrasi di Bali sentuh angka 76,83. Setahun berikutnya yakni pada 2015, IDI Bali melonjak lagi jadi 79,83. Angkanya konstan secara beruntun di dua tahun berikutnya, masing-masing 78,95 (pada 2016) dan 78,80 (pada 2017). Sedangkan tahun 2018, indek demokrasi di Bali sentuh angka tertinggi mencapai 82,37.
Dari data periode 2018-2019 yang disajikan BPS Provinsi Bali dalam FGD kemarin, ada beberapa variabel yang menurun dan diperkirakan membuat Bali terlempar dari peringkat kedua ke peringkat empat. Di antaranya, kebebasan berpendapat yang turun dari semula 72,89 (tahun 2018) menjadi 52,06 (tahun 2019). Demikian pula kebebasan berkeya-kinan, turun dari 100,00 menjadi 96,26, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintahan yang turun dari 56,66 menjadi 53,50, serta Pemilu yang bebas dan adil menurun dari 93,67 menjadi 89,64.
Sedangkan variabel yang bertahan alias tidak mengalami perubahan dalam IDI Bali, masing-masing kebebasan berkumpul dan berserikat (dengan angka 67,19), kebebasan dari diskriminasi (100,00), peran partai politik (100,00), dan peradilan yang independen (100,00).
Sebaliknya, variabel yang berhasil mengalami kenaikan adalah hak memilih dan dipilih, dari semula 79,50 naik menjadi 89,69. Selain itu, peran DPRD juga berhasil naik dari semula 58,74 menjadi 63,52. Demikian pula variabel peran birokrasi pemerintahan daerah, yang naik dari 93,99 menjadi 96,39.
Hanif Yahya mengatakan, IDI merupakan angka-angka yang menunjukkan keadaaan demokrasi berdasarkan 3 sapek: kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. "IDI sebagai alat ukur perkembangan demokrasi yang khas dirancang untuk sensivitas terhadap naik turunnya kondisi demokrasi di daerah," papar Hanif Yahya.
Namun, IDI bukan menjadi alat untuk evaluasi kinerja pemerintah, karena komponen IDI tidak mencakup hal itu. "Angka-angka dalam IDI ini tidak sebagai alat evaluasi pemerintahan. FGD yang kita gelar ini diharapkan untuk mendapatkan pendapat dari partisipan. IDI ini ibarat alat ukur general check up kondisi demokrasi daerah dan nasional," tegas Hanif.
Sementara itu, Kepala Badan Kesbanglinmaspol Provinsi Bali, I Gusti Agung Ngurah Sudarsana, mengatakan indek demokrasi di Bali yang mengalami penurunan dengan beberapa variabel penting seperti ‘kebebasan berpendapat, menjadi peringatan dan atensi ke depan. Menurut Sudarsana, pada era kepemimpinan Gubernur Made Mangku Pastika (2008-2013, 2013-2018) ada wadah untuk menyampaikan pendapat bagi siapa pun tentang berbagai masalah pemerintahan.
Wadah itu, kata Sudarsana, antara lain berupa ‘Podium Bali Bebas Bicara Apa Saja’ yang dibuka sepekan sekali (pada hari Minggu) di pojok barat daya Lapangan Puputan Margarana Niti Mandala Denpasar. Selain itu, juga ada program simakrama setiap akhir bulan, di mana Gubernur bertemu dengan masyarakat untuk berdialog.
"Mungkin sekarang ini wadah podium dan simakrama tidak ada, sehingga elemen masyarakat tak punya ruang untuk menyampaikan pendapatnya. Pada akhirnya, banyak yang beralih ke unjukrasa yang tidak pada tempatnya," papar Sudarsana.
Sudarsana juga menegaskan, karena elemen masyarakat tidak memiliki wadah untuk menyampaikan pendapat, terkadang ada penghentian dan pembubaran saat aksi lantaran menganggu ketertiban. "Hal ini bisa mempengaruhi indeks demokrasi kita,” terang mantan Kepala Dinas Tenaga Kerja Provinsi Bali ini. *nat
Komentar