Sudah Divaksin?
“Sudah divaksin?”
“Belum. Kamu?”
“Sudah dong. Nih... lihat,” ujar seseorang sembari mengangkat lengan baju kiri dengan bangga, memperlihatkan otot yang masih ditempel plester habis disuntik.
“Kapan?”
“Tiga hari lalu,” ujarnya semangat, kian gembira, mengusap-usap lengan berplester yang sengaja ia biarkan untuk dipamerkan ke hampir semua kenalan.
Begitulah percakapan yang paling sering dilontarkan orang-orang belakangan ini: di kantor, warung-warung, swalayan, di jalan-jalan, di mana saja, oleh kalangan pejabat tinggi hingga buruh dan pemulung barang bekas. Sehari-hari tiada perbincangan tanpa kabar vaksinasi, mengalahkan percakapan tentang wabah corona sebelumnya.
Orang-orang memang jauh lebih suka ngomongin vaksin tinimbang membahas cerita corona yang melelahkan, membingungkan, dan selalu sama artinya dengan kecemasan, kepiluan, kematian yang semakin dekat, atau maut yang selalu mengintip setiap waktu di sembarang tempat. Jika bercakap-cakap tentang suka-duka vaksinasi covid, itu membangkitkan semangat hidup, keyakinan menyongsong masa depan, pemulihan ekonomi, atau bebas bepergian ke mana pun suka. Vaksinasi diyakini memberi peluang besar untuk kembali hidup merdeka.
Bagi kaum lansia, vaksinasi berarti kesempatan menikmati panjang umur. Banyak lansia yang mengalami suka duka ketika berusaha gigih untuk bisa divaksin. Sebagian besar karena menderita penyakit bawaan, sehingga tidak divaksin. Suatu hari di RS Universitas Udayana di Jimbaran, Badung, seorang nenek riang gembira bersama anak dan suaminya mendaftar untuk divaksin. Si nenek menyapa ramah orang-orang sekitarnya.
“Mau vaksinasi juga ya?” tanyanya pada seorang wanita berambut sepinggang yang duduk di sebelahnya. Wanita itu mengangguk. “Sama kalau begitu. Saya juga mau vaksinasi, sama anak dan suami,” ujar si nenek bahagia.
Wanita yang diajak bicara tersenyum, tapi ia tahu senyumnya tak bisa tampak karena tertutup masker. Ia kemudian mengangguk dan mengerdipkan kedua mata. “Biar kita sehat dan bebas corona ya, Bu,” ujar perempuan itu menyenangkan si nenek.
Setengah jam kemudian nenek itu diukur tekanan darahnya sebelum divaksinasi. “Ibu punya riwayat tensi tinggi nggih?” tanya petugas.
Si nenek bengong. “Nggih, tapi saya sudah minum obat, seperti saran dokter.” Ia menjelaskan tadi pagi tensinya 150/80. Sekarang tensi nenek itu 190/110, tidak berubah tekanan darahnya kendati ia sudah duduk tenang setengah jam, sehingga tidak memenuhi syarat divaksin. “Ibu datang dua minggu lagi, nggih,” saran petugas itu ramah.
Si nenek sangat kecewa, raut mukanya tadi sumringah langsung kuyu. Ia merunduk memandangi ubin rumah sakit yang bersih mengkilat.
“Kalau dua minggu lagi tensi Ibu gak juga turun, bagaimana?” tanya wanita berambut sepinggang itu, yang bersiap diukur tensinya.
“Ya, saya gak usah vaksinasi saja. Habis, bagaimana? Serahkan saja nasib dan hidup sama Hyang Widhi.”
Tanpa disadari, vaksinasi covid punya kisah-kisah tersendiri. Ada sebuah keluarga yang cuma sang ayah ngotot tidak mau vaksinasi. Alasannya ia tak mau sakit dan mati karena divaksin covid. Anak-anak dan bininya tertawa mendengar alasan itu. “Sesuka papa sajalah,” ujar si istri.
Ada sepasang pengantin baru yang sepakat tak usah ikut vaksinasi. Mereka khawatir kalau-kalau salah seorang demam, sakit, dan mati setelah divaksin. “Ya kalau kita mati berdua, gak apa-apa. Kalau salah satu yang mati? Aku gak mau kita berpisah,” ujar pengantin wanita, memeluk suaminya di ranjang. Kendati si suami menjelaskan vaksinasi aman-aman saja, si istri bersikukuh tetap tidak sudi vaksinasi. “Pokoknya tidak mau.”
“Memangnya kenapa?”
“Karena aku betapa sayang kamu.”
Seperti juga wabah, vaksinasi menampilkan aneka cerita tentang watak dan prilaku manusia. Tentang ketidakberdayaan, takut kehilangan, juga ego bagaimana kebimbangan berhadapan dengan ketidakmengertian. Jika ada yang bertanya “sudah divaksin?” itu bisa bermakna “Covid-19 ini serius lho”. Bisa juga berarti “aku ikut-ikutan aja”, atau “aku cari aman”.
Pandemi dan vaksinasi membuktikan siapa yang panik menghadapi situasi, siapa yang santai dan bahkan cuek saja, siapa pula yang ingin segera meraup rezeki kembali. Karena jika vaksinasi cepat beres, segera bisnis pariwisata dibuka kembali. Maka sapaan “sudah divaksin?” pun bergema menjadi ajakan “ayo divaksin!”. *
Aryantha Soethama
1
Komentar