Miliki Al Quran Bertulis Tangan yang Usianya 200 Tahun dan Pintu Ukiran Bali
Masjid Agung Jami Singaraja, Masjid Tua Hadiah dari Raja Buleleng
Selain pintu dan ukiran daun jendela hingga ventilasi udara, tukang ukir kerajaan juga diinstruksikan membuatkan sebuah mimbar yang juga berukiran Bali.
SINGARAJA, NusaBali
Masjid Agung Jami’ Singaraja yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Kampung Kajanan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng merupakan salah satu masjid yang paling menonjol di wilayah Kota Singaraja. Ukuran bangunan yang cukup luas dengan arsitektur bangunan yang kental dengan budaya Bali membuat masjid ini tersohor. Lahan di bawah masjid ini disebut adalah hadiah pemberian Raja I Gusti Ngurah Ketut Jlantik keturunan raja pertama Buleleng I Gusti Ngurah Panji Sakti.
Tidak susah mencari masjid ini. Lokasinya tak lebih dari 700 meter ke arah selatan kawasan Eks Pelabuhan Buleleng dan masih dalam komplek Pasar Anyar Buleleng. Masjid besar ini berada di antara permukiman padat menduduk di pinggir jalan sebelah barat, Jalan Imam Bonjol. Di pintu gerbang masjid ini memiliki pintu kayu berukiran khas Bali, yang menjadi ciri khas.
Humas Ta’mir Masjid Agung Jami’ Singaraja, Muhammad Agil, 32, Sabtu (24/4) menjelaskan dari penuturan tetuanya, pendirian Masjid Agung Jami’ tak lepas dari perkembangan Agama Islam di Buleleng. Penyebaran umat muslim di Buleleng terjadi sekitar abad ke 18, melalui perdagangan. Mereka yang datang dari arab sebagian menetap di Buleleng dan memilih wilayah tak jauh dari pesisir Pelabuhan Buleleng. Awalnya peradaban Islam di Kampung Kajanan ini hanya memiliki satu masjid untuk beribadah, yakni Masjid Keramat.
Namun seiring perkembangan zaman, peradaban Agama Islam di Buleleng semakin berkembang dan umatnya semakin banyak. Hingga Masjid Keramat yang berlokasi di Jalan Hasanudin, Kelurahan Kampung Kajanan, tak cukup lagi menampung seluruh umat muslim di Buleleng. Pembangunan Masjid Jami’ diinisiasi oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi, adik dari Raja Buleleng saat itu I Gusti Ngurah Ketut Jlantik atau Anak Agung Padang pada tahun 1830. I Gusti Jelantik Celagi ini adalah salah satu keturunan raja Buleleng pertama yang memilih untuk menjadi mualaf dan memeluk Agama Islam.
“I Gusti Jelantik Celagi kemudian melakukan lobi kepada kakaknya di puri. Dan raja saat itu memberikan hibah lahan seluas 15 are untuk dijadikan Masjid Jami’ ini,” tutur Muhammad Agil. Raja I Gusti Jlantik saat itu juga tak hanya memberikan hibah tanah, tetapi satu pintu berukiran khas Bali langsung dibawanya dari puri. Pintu itu diberikan sebagai pertanda batas area masjid dan simbol kerukunan umat di Buleleng saat itu. “Dari dulu kami muslim di Buleleng dikenal sebutan nyama selam (saudara islam) dari umat Hindu. Sedangkan kami menyebut umat Hindu sebagai semeton Bali,” ucap Muhammad Agil.
Kemurahan hati raja I Gusti Ngurah Jlantik sangat dihargai umat muslim yang berbasis di Kampung Bugis, Kampung Anyar dan Kampung Kajanan. Nama masjid kemudian diberi nama Masjid Agung Jami’ Singaraja. Kata Agung disebut diambil dari nama raja I Gusti Ngurah Jlantik yang juga dikenal dengan nama Anak Agung Padang, sedangkan kata Jami’ artinya bersama. Sehingga Masjid Agung Jami’ Singaraja berarti Masjid bersama pemberian raja.
Pengurus masjid yang saat itu ditunjuk langsung I Gusti Ketut Jelantik Celagi dan Abdulah Masgati. Kerajaan juga mengirimkan bantuan tukang ukir yang karyanya hingga kini masih lestari menjadi sejumlah ornamen Masjid Agung Jami’. Tukang ukir kerajaan saat itu membantu membuat ukiran pintu masjid, jendela hingga ventilasi udara. Hingga kini sejumlah ornamen itu masih terpelihara dengan baik.
“Kalau yang pintu di depan itu belum pernah diganti sama sekali, paling kalau diperbaiki cuman dicat saja. Kalau yang di dalam ini seperti di pintu sudah ada beberapa yang diganti karena dimakan rayap, tetapi ukirannya tetap disamakan dengan aslinya dulu,” imbuh Agil. Selain pintu dan ukiran daun jendela hingga ventilasi udara, tukang ukir kerajaan juga diinstruksikan membuatkan sebuah mimbar yang juga berukiran Bali. Mimbar ini diduplikasi dari mimbar pertama di Masjid Keramat, bentuknya sama persis. Mimbar itu hingga kini masih digunakan khatib saat menyampaikan ceramah pada Salat Jumat atau salat besar lainnya.
Menurut Agil, keunikan lainnya dari Masjid Agung Jami’ Singaraja ini dengan keberadaan Al Quran tua yang berusia 200 tahun lebih. Istimewanya Al Quran ini adalah hasil tulis tangan I Gusti Ngurah Jelantik Celagi, saat mendalami ilmu agama. Al Quran itu pun masih tersimpan apik di dalam masjid. Pengurus masjid memberikan kotak khusus untuk menjaganya tetap utuh.
Al Quran bertulis tangan diceritakan turun temurun oleh pengurus masjid, dikerjakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik Gelagi sejak tahun 1820. Saat itu dia yang berguru kepada salah satu kiai asal Lombok, mendapatkan tugas menuliskan seluruh jus dan ayat yang dipelajarinya dalam sebuah buku. Hingga akhirnya Al Quran bertulis tangan itu memiliki 606 halaman dengan 30 jus, 114 surah dan 1.000 lebih ayat.
Secara kasat mata tampilan Al Quran istimewa itu memang sudah sangat usang. Sehingga pengurus masjid tak lagi memanfaatkannya dalam pengajian sehari-hari dan hanya disimpan sebagai warisan berharga Masjid Agung Jami’. Al Quran yang memiliki panjang 33 centimeter dan lebar 21,5 centimeter tersusun dari kertas berbahan kulit domba yang zaman itu diimpor dari Belanda. Sedangkan sampul Al Qurannya terbuat dari kulit lembu yang juga diimpor dari India. Sedangkan tinta yang dipakai menulis Al Quran saat itu disebut-sebut berasal dari pewarna alam.
Pengurus masjid selama ini hanya melakukan perawatan dengan bahan-bahan alami, seperti menambahkan tembakau kering atau rempah-remaph agar kitab tua itu tak dimakan rayap. “Kalau perlakuan khusus paling hanya dikasih rempah-rempah, setiap bulan rutin dilihat fisiknya dibersihkan kotaknya saja,” kata Muhammad Agil.
Ketelatenan perawatan Al Quran tua dan bersejarah itu, membuat seluruh ayat, surah dan jus masih bisa dibaca. Pengurus masjid pun hingga kini masih mempertahankan tinggalan-tinggalan kuno yang menyiratkan sejarah pembangunan Masjid Jami’ masa lalu. Meskipun dari arsitektur Masjid Agung Jami’ sudah berulang kali disesuaikan, namun sejumlah ornamen kenang-kenangan Raja Buleleng masih tetap dipertahankan, mempertegas sikap toleransi antar umat beragama. *k23
Tidak susah mencari masjid ini. Lokasinya tak lebih dari 700 meter ke arah selatan kawasan Eks Pelabuhan Buleleng dan masih dalam komplek Pasar Anyar Buleleng. Masjid besar ini berada di antara permukiman padat menduduk di pinggir jalan sebelah barat, Jalan Imam Bonjol. Di pintu gerbang masjid ini memiliki pintu kayu berukiran khas Bali, yang menjadi ciri khas.
Humas Ta’mir Masjid Agung Jami’ Singaraja, Muhammad Agil, 32, Sabtu (24/4) menjelaskan dari penuturan tetuanya, pendirian Masjid Agung Jami’ tak lepas dari perkembangan Agama Islam di Buleleng. Penyebaran umat muslim di Buleleng terjadi sekitar abad ke 18, melalui perdagangan. Mereka yang datang dari arab sebagian menetap di Buleleng dan memilih wilayah tak jauh dari pesisir Pelabuhan Buleleng. Awalnya peradaban Islam di Kampung Kajanan ini hanya memiliki satu masjid untuk beribadah, yakni Masjid Keramat.
Namun seiring perkembangan zaman, peradaban Agama Islam di Buleleng semakin berkembang dan umatnya semakin banyak. Hingga Masjid Keramat yang berlokasi di Jalan Hasanudin, Kelurahan Kampung Kajanan, tak cukup lagi menampung seluruh umat muslim di Buleleng. Pembangunan Masjid Jami’ diinisiasi oleh I Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi, adik dari Raja Buleleng saat itu I Gusti Ngurah Ketut Jlantik atau Anak Agung Padang pada tahun 1830. I Gusti Jelantik Celagi ini adalah salah satu keturunan raja Buleleng pertama yang memilih untuk menjadi mualaf dan memeluk Agama Islam.
“I Gusti Jelantik Celagi kemudian melakukan lobi kepada kakaknya di puri. Dan raja saat itu memberikan hibah lahan seluas 15 are untuk dijadikan Masjid Jami’ ini,” tutur Muhammad Agil. Raja I Gusti Jlantik saat itu juga tak hanya memberikan hibah tanah, tetapi satu pintu berukiran khas Bali langsung dibawanya dari puri. Pintu itu diberikan sebagai pertanda batas area masjid dan simbol kerukunan umat di Buleleng saat itu. “Dari dulu kami muslim di Buleleng dikenal sebutan nyama selam (saudara islam) dari umat Hindu. Sedangkan kami menyebut umat Hindu sebagai semeton Bali,” ucap Muhammad Agil.
Kemurahan hati raja I Gusti Ngurah Jlantik sangat dihargai umat muslim yang berbasis di Kampung Bugis, Kampung Anyar dan Kampung Kajanan. Nama masjid kemudian diberi nama Masjid Agung Jami’ Singaraja. Kata Agung disebut diambil dari nama raja I Gusti Ngurah Jlantik yang juga dikenal dengan nama Anak Agung Padang, sedangkan kata Jami’ artinya bersama. Sehingga Masjid Agung Jami’ Singaraja berarti Masjid bersama pemberian raja.
Pengurus masjid yang saat itu ditunjuk langsung I Gusti Ketut Jelantik Celagi dan Abdulah Masgati. Kerajaan juga mengirimkan bantuan tukang ukir yang karyanya hingga kini masih lestari menjadi sejumlah ornamen Masjid Agung Jami’. Tukang ukir kerajaan saat itu membantu membuat ukiran pintu masjid, jendela hingga ventilasi udara. Hingga kini sejumlah ornamen itu masih terpelihara dengan baik.
“Kalau yang pintu di depan itu belum pernah diganti sama sekali, paling kalau diperbaiki cuman dicat saja. Kalau yang di dalam ini seperti di pintu sudah ada beberapa yang diganti karena dimakan rayap, tetapi ukirannya tetap disamakan dengan aslinya dulu,” imbuh Agil. Selain pintu dan ukiran daun jendela hingga ventilasi udara, tukang ukir kerajaan juga diinstruksikan membuatkan sebuah mimbar yang juga berukiran Bali. Mimbar ini diduplikasi dari mimbar pertama di Masjid Keramat, bentuknya sama persis. Mimbar itu hingga kini masih digunakan khatib saat menyampaikan ceramah pada Salat Jumat atau salat besar lainnya.
Menurut Agil, keunikan lainnya dari Masjid Agung Jami’ Singaraja ini dengan keberadaan Al Quran tua yang berusia 200 tahun lebih. Istimewanya Al Quran ini adalah hasil tulis tangan I Gusti Ngurah Jelantik Celagi, saat mendalami ilmu agama. Al Quran itu pun masih tersimpan apik di dalam masjid. Pengurus masjid memberikan kotak khusus untuk menjaganya tetap utuh.
Al Quran bertulis tangan diceritakan turun temurun oleh pengurus masjid, dikerjakan oleh I Gusti Ngurah Jelantik Gelagi sejak tahun 1820. Saat itu dia yang berguru kepada salah satu kiai asal Lombok, mendapatkan tugas menuliskan seluruh jus dan ayat yang dipelajarinya dalam sebuah buku. Hingga akhirnya Al Quran bertulis tangan itu memiliki 606 halaman dengan 30 jus, 114 surah dan 1.000 lebih ayat.
Secara kasat mata tampilan Al Quran istimewa itu memang sudah sangat usang. Sehingga pengurus masjid tak lagi memanfaatkannya dalam pengajian sehari-hari dan hanya disimpan sebagai warisan berharga Masjid Agung Jami’. Al Quran yang memiliki panjang 33 centimeter dan lebar 21,5 centimeter tersusun dari kertas berbahan kulit domba yang zaman itu diimpor dari Belanda. Sedangkan sampul Al Qurannya terbuat dari kulit lembu yang juga diimpor dari India. Sedangkan tinta yang dipakai menulis Al Quran saat itu disebut-sebut berasal dari pewarna alam.
Pengurus masjid selama ini hanya melakukan perawatan dengan bahan-bahan alami, seperti menambahkan tembakau kering atau rempah-remaph agar kitab tua itu tak dimakan rayap. “Kalau perlakuan khusus paling hanya dikasih rempah-rempah, setiap bulan rutin dilihat fisiknya dibersihkan kotaknya saja,” kata Muhammad Agil.
Ketelatenan perawatan Al Quran tua dan bersejarah itu, membuat seluruh ayat, surah dan jus masih bisa dibaca. Pengurus masjid pun hingga kini masih mempertahankan tinggalan-tinggalan kuno yang menyiratkan sejarah pembangunan Masjid Jami’ masa lalu. Meskipun dari arsitektur Masjid Agung Jami’ sudah berulang kali disesuaikan, namun sejumlah ornamen kenang-kenangan Raja Buleleng masih tetap dipertahankan, mempertegas sikap toleransi antar umat beragama. *k23
Komentar